Selasa, 13 April 2010

Artikel Peringatan Ultah Prof. Herman J. Waluyo

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERNALAR DAN KREATIVITAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

(Suatu Alternatif) [1])

Oleh:

St.Y. Slamet [2])

A. Pendahuluan

Upaya peningkatan kualitas manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia yang akan melaksanakan pembangunan pada masa yang akan datang. Upaya tersebut merupakan salah satu aspek pembangunan sosial budaya melalui sektor pendidikan.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai masyarakat Indonesia merupakan tujuan yang kompleks. Tujuan yang kompleks tersebut tentu saja merupakan tugas besar bagi masyarakat, khususnya para pendidik. Bagaimana wujud pendidikan yang dapat menghasilkan manusia seutuhnya dengan pengertian seperti di atas?

Sehubungan dengan tujuan itu, saya ingin mengangkat ciri ”kepribadian yang mandiri” sebagai pangkal tolak pembahasan saya. Ciri mandiri atau kemandirian meliputi berbagai aspek di antaranya kemandirian secara moral, menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru, melihat permasalahan, serta menemukan cara pemecahan yang nalar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, berpikir secara nalar dan kreatif.

Sifat mandiri itu sangat diperlukan, mengingat semakin kompleksnya permasalahan, serta semakin cepatnya perubahan yang terjadi pada kurun zaman yang akan datang. Dengan kemandirian yang dimilikinya itu, seseorang diharapkan tidak saja mampu menyesuaikan diri dengan perubahan itu, melainkan juga mampu mengarahkan perubahan itu sesuai dengan tujuannya sendiri.

Namun, kemandirian semacam yang dimaksudkan di atas tidaklah lahir dengan sendirinya. Sifat itu harus ditumbuhkan dan dibina sejak usia dini melalui upaya pendidikan. Lalu, pertanyaan yang timbul sekarang, bagaimana wujud pendidikan yang dapat menghasilkan pribadi yang mandiri itu? Selanjutnya, karena kemandirian di sini saya terjemahkan sebagai kemampuan bernalar dan kreativitas maka masalah yang saya bahas ialah bagaimana menumbuhkan kemampuan bernalar dan kreativitas melalui jalur pendidikan formal?

Dalam upaya membahas masalah di atas akan diutarakan hal-hal berikut:

(1) Hakikat Kemampuan Bernalar dan Kreativitas

(2) Bahasa sebagai Sarana Berpikir

(3) Pengembangan Kegiatan Terpadu Melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

(4) Strategi Kemampuan Bernalar dan Kreativitas

(5) Tantangan dan Kendala

(6) Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) sebagai Langkah Awal.

B. Hakikat Kemampuan Bernalar dan Kreativitas

Sebagai sebuah kegiatan berpikir, penalaran itu antara lain bersifat logis. Kegiatan berpikir bersifat logis adalah suatu kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Logika menurut Leonard adalah ilmu bernalar secara tepat. Hal ini berarti bahwa ilmu bernalar berusaha dan menyatakan kaidah-kaidah sesuai dengan kegiatan berpikir yang dapat dinilai baik atau buruk, benar atau salah, atau masuk akal atau tidak (Leonard, 1997). Hal yang sama juga dikemukakan Copi (1978) yang menyatakan bahwa logika adalah studi tentang metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dan penalaran yang tidak benar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Oleh sebab itu, bisa saja terjadi, suatu kegiatan berpikir dinyatakan logis ditinjau dari suatu logika tertentu, tetapi menjadi tidak logis jika ditinjau dari sudut logika yang lain.

Pencapaian pengetahuan melalui penalaran terjadi secara tak langsung, yaitu melalui mediasi. Ciri mediasi ini membedakan penalaran dari jenis pemikiran asosiatif dan persepsif. Ciri lain yang penting ialah bahwa penalaran dilakukan secara sadar dengan tujuan tertentu.

Vinacke (1974) mengemukakan bahwa secara tradisional pemikiran mencakup penalaran dan imajinasi. Pemikiran mengacu kepada pemecahan masalah secara logis. Pemecahan masalah ini memerlukan penataan dan penataan kembali pengalaman masa lampau serta pengetahuan yang sudah diperoleh, tidak hanya sekedar memberikan respons yang sudah menjadi kebiasaan.

Penalaran mempunyai peranan penting dalam pemecahan masalah. Untuk keperluan analisis yang saya bahas dalam uraian ini, saya menggarisbawahi pengertian penalaran sebagai kegiatan berpikir yang dilakukan dengan sadar, secara sistematis terarah dan bertujuan dalam menghasilkan kesimpulan yang sahih dan benar. Salah satu jenis penalaran yang penting ialah penalaran ilmiah. Penalaran ini merupakan sintesis antara penalaran induktif yang empiris dan penalaran induktif yang rasional (Suriasumantri, 1997), serta bersifat logis dan analisis. Sifat logis menunjukkan bahwa penalaran dilakukan menurut pola pemikiran (logis) tertentu, sedangkan sifat analisis menunjukkan bahwa penalaran dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai konsekuensi digunakannya pola pemikiran itu.

Kemampuan berpikir secara nalar bukan merupakan kemampuan statis dibawa sejak lahir. Kemampuan itu berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan kemampuan berpikir secara nalar itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa teori yang berkaitan dengan anak usia SD.

Teori Piaget tentang prkembangan kognitif sampai sekarang menempati kedudukan yang penting. Meskipun telah banyak pendapat lain yang berkembang pada akhir-akhir ini, teori Piaget masih cukup dominan. Agaknya, hal ini disebabkan oleh cakupannya yang luas yaitu perkembangan sejak masa bayi sampai dewasa. Teori Piaget mengacu kepada topik-topik yang selama berabad-abad merupakan permasalahan orang tua, guru, serta para ahli filsfat. Pada tahapan yang lebih khusus teori-teori itu membicarakan perkembangan konsep tentang waktu, ruang, bilangan, dan lain-lain yang merupakan pemerolehan intelektual yang mendasar dalam kehidupan manusia. Pada sisi ini teori Piaget sampai sekarang masih merupakan pencapaian intelektual yang sangat bermakna.

Secara umum, inti teori Piaget membahas perkembangan intelegensi anak. Menurut Piaget (1976) perkembangan kognitif itu mengikuti empat tahapan, yaitu sensor motoris (0-2 tahun), praoperasional (2-6 tahun), operasional konkret (7-11 tahun atau 12 tahun), dan operasional formal (di atas 11 atau 12 tahun). Dalam setiap tahapan selalu terjadi perubahan-perubahan pemahaman tentang berbagai konsep yang penting seperti konservasi, klasifikasi, dan hubungan atau relasi.

Perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses penting yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asumsi mengacu kepada cara anak menginterpretasikan informasi yang diterimanya menurut struktur mental yang dimilikinya. Akomodasi adalah cara yang ditempuh anak untuk memahami dunia dengan mengubah struktur mental yang dimilikinya guna merespons pengalaman baru. Ekuilibrasi merupakan tiga tahapan yang mencakup asimiliasi dan akomodasi: pertama, anak berada pada keadaan ekuilibrum (keseimbangan); kedua, ketika anak menerima informasi baru dan mengalami kegagalan untuk mengakumulasikannya, ia menjadi sadar akan kekurangan pemahaman yang dimilikinya; akhirnya struktur mentalnya menyesuaikan diri dengan informasi baru itu dengan membentuk keadaan ekuilibrum yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan cara demikian kemampuan kognitifnya berkembang.

Pada tahap perkembangan sensoris motoris seorang anak “mempelajari” gerakan-gerakan yang makin lama makin kompleks. Ia juga mempelajari konservasi sederhana; ia menyadari ketepatan suatu objek. Ia juga mulai memahami klasifikasi dan hubungan sederhana. Selanjutnya pada tahap praoperasional ia mempelajari fungsi-fungsi semiotik yang memungkinkannya mempelajari bahasa dan kegiatan mental lainnya. Menurut Piaget (1976), anak praoperaional biasanya belum dapat memahami konservasi, pengelompokan, dan relasi karena masih lebih terikat persepsi daripada transformasi, pada sifatnya egosentrik, dan masih terpaku pada satu dimensi saja. Namun, pada akhir tahap ini pula ia mencapai kemajuan yang sangat pesat dalam pemerolehan bahasa.

Baru pada tahap operasional konkret, anak dapat memahami konsep-konsep yang tidak dapat dipahaminya pada tahap sebelumnya karena ia telah mencapai kemampuan operasi yang sesungguhnya. Operasi-operasi ini memungkinkannya memahami konsep-konsep serta melakukan transformasi. Operasi ini dapat dibolak-balik dan digabungkan menjadi sistem operasi yang lebih banyak berpikir secara induktif.

Tahap terakhir perkembangan kognitif ialah tahap operasional. Pada tahap ini ia tidak saja telah mampu memahami konsep-konsep yang abstrak. Ia tidak lagi terikat pada keadaan “di sini” dan “sekarang”. Ia lebih dapat membedakan dengan tegas antara kenyataan dan kemungkinan serta harapan. Dengan demikian, mereka pun mampu berpikir secara nalar di samping secara induktif.

Bagaimana kemampuan berpikir secara nalar untuk anak usia SD? Yang dimaksud dengan anak usia SD di sini ialah usia antara 6 sampai 12 tahun. Dengan demikian, mungkin anak usia SD mengalami dua tahapan perkembangan, yaitu pada awal masa sekolah ia berada pada akhir tahapan praoperasional kemudian berkembang ke arah tahapan operasional konkret. Mungkin juga ia berada pada awal tahapan operasional formal. Bagaimanapun juga ia telah memiliki kemampuan-kemampuan kognitif dasar yang dicapainya pada tahapan praoperasional dan telah memiliki kemampuan berbahasa yang “sempurna” dalam arti telah menguasai kaidah-kaidah dasar bahasa ibunya. Pada umur antara 4-7 tahun, di dalam ia berbicara ia tidak lagi bersifat egosentrik. Semuanya itu merupakan modal dasar untuk perkembangan selanjutnya. Piaget menganggap bahwa tahap praoperasional merupakan tahap peletakan dasar-dasar operasi yang memungkinkan anak menggambarkan peristiwa-peristiwa secara internal. Pada tahap operasional anak mampu memanipulasikan gambaran internal ini. Dengan demikian ia menyadari akan potensi pemikiran yang luwes dan kuat.

Hal yang pokok pada tahapan operasional konkret ialah pemerolehan berbagai operasi yang disebut juga tindakan terinternalisasikan. Operasi ini meningkatkan kemampuan berpikir anak. Dengan kemampuan itu pada tahap ini ia dapat memahami serta memecahkan soal-soal yang tidak dapat dipahami atau dipecahkan pada tahap sebelumnya. Berikut ini akan dikemukakan uraian tentang berbagai kemampuan yang telah dikuasai anak.

1. Konservasi

Pada tahap praoperasional dan awal operasional konkret anak menyadari bahwa kualitas tertentu pada objek bersifat tetap meskipun bentuknya berubah. Pada akhir tahapan operasional konkret anak menyadari bahwa pada objek banyak dimensi yang bersifat tetap meskipun mengalami transformasi yang mengubah bentuk atau rupanya.

Menurut Piaget pada tahapan operasional konkret penalaran anak tidak hanya mengenai satu dimensi objek, tetapi masih belum dapat secara konsisten (ajek) menggunakan cara berpikir yang baru dan kerap kali masih ragu-ragu, serta belum mantap dalam menggunakan cara memecahkan persoalan.

2. Klasifikasi dan Hubungan

Piaget mengemukakan bahwa pada tahapan operasional konkret, anak menganggap kelas dan hubungan sebagai bagian kebulatan suatu sistem. Pada umur antara 9-10 tahun ia telah dapat memecahkan soal tentang klasifikasi ganda dengan baik.

Menurut teori Piaget penalaran anak sesuai dengan tahapan yang dialaminya. Jika seorang anak memiliki penalaran operasiaonal konkret, dapat dikatakan bahwa di dalam banyak hal ia menerapkan ciri-ciri tahapan itu. Seorang anak yang berumur 8 tahun secara ideal akan memahami semua konsep tahapan operasional konkret, yaitu konservasi kuantitas zat cair, klasifikasi, serasi, dan seterusnya, dan akan gagal dalam memahami soal-soal konsep untuk tahapan operasional, seperti berpikir tentang semua gabungan yang mungkin ada, konservasi gerak dan sebagainya. Secara teoretis konsep tentang konservasi bilangan, konservasi kuantitas zat padat, dan konservasi berat dikuasai anak secara serentak; seorang anak akan memahami semua konservasi bilangan sekitar umur 6 tahun, konservasi kuantitas zat padat sekitar umur 8 tahun, dan konservasi berat sekitar umur 10 tahun.

Tingkat konsistensi penalaran anak dalam berbagai soal bergantung kepada siapa, mengenai apa, dan bila kita melakukan observasi. Dalam hal ini faktor-faktor kepribadian, topik, kondisi fisik dan lingkungan, kondisi psikis, serta nilai-nilai yang berlaku turut mempengaruhi. Dapatkah kita melakukan percepatan dalam perkembangan kognitif? Piaget mengemukakan bahwa hal itu tidak mungkin. Namun, penelitian Muuss memperlihatkan bahwa sampai batas-batas tertentu percepatan dapat dilakukan, antara lain dengan berbagai variasi teknik instruksinal.

C. Bahasa sebagai Sarana Berpikir

Batas bahasaku adalah batas duniaku (Wittgenstein, 1992). Manusia untuk dapat melakukan kegiatan berpikir dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dengan menguasai bahasa maka seseorang akan menguasai pengetahuan.

Tiada kemanusiaan tanpa bahasa, tiada peradaban tanpa bahasa tulis. Manusia tidak berpikir hanya dengan otaknya (Laird, 1989). Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan bahasa bagi perkembangan manusia. Bahasa juga memberikan urunan yang besar dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa. Dengan bantuan bahasa, anak tumbuh dari suatu organisme biologis menjadi suatu pribadi di dalam kelompok, yaitu suatu pribadi yang berpikir, merasa berbuat, serta memandang dunia dan kehidupan sesuai dengan lingkungan sosialnya.

Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasanya. Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan bastrak, seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mugkin dapat dilakukan. Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini maka manusia tidak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.

Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistematis. Tranformasi objek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat perbendahaan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa (informatif dan emotif) ini tercermin dalam bahasa yang kita gunakan. Artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif.

Bahasa mengkomunikasikan tiga hal, yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap. Seperti yang dinyatakan Kneller (dalam Kemeny, 1990) bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbatas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Namun, dalam praktiknya hal ini sukar untuk dilaksanakan. Berbeda dengan informasi yang terdapat dalam buku pedoman telepon dari Telkom misalnya, informasi atau petunjuk nomor telepon yang ada di dalamnya mudah dicari.

Max Muller (dalam Sabarti, Maidar, dan Sakura, 1999) mengatakan bahwa tak ada bahasa tanpa nalar dan tak ada nalar tanpa bahasa. Yang jelas, sulit sekali memisahkan kegiatan penalaran dan bahasa sebagai sasarannya.

Huxley (dalam Suriasumantri, 1997) mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran pemakainya mempunyai kekuatan membentuk pikiran itu serta meyalurkan perasaan, mengerahkan kehendak dan perbuatan. Sampai tingkat tertentu, bahasa mengendalikan pemikiran. Pengaruh tersebut sangat kuat pada usia muda.

Secara umum Halliday (1978) mengemukakan sejumlah fungsi bahasa, di antaranya adalah sebagai sarana untuk menafsirkan pengalaman, untuk mengklasifikasikan fenomena yang tak terbatas jumlahnya. Baik di dalam maupun di sekitar manusia serta untuk menyatakan berbagai relasi khusus yang mendasar sifatnya.

Mengenai bahasa anak-anak, Halliday (1978) menunju tujuh fungsi awal yaitu fungsi-fungsi instrumental, regulatoris, interaksional, personal, penjelajahan, imajinatif, dan informatif. Fungsi-fungsi itu menunjukkan bahwa anak dapat menggunakan bahasa, baik sebagai sarana berpikir secara nalar maupun secara kreatif.

Fungsi-fungsi di atas mudah terpenuhi karena bahasa merupakan sistem simbol. Simbol-simbol yang pada dasarnya berupa bunyi bahasa itu teryata sangat praktis, dapat dikombinasikan menjadi “kata-kata baru”. Gabungan kata-kata menghasilkan frasa dan kalimat yang tak terbilang jumlahnya. Dengan satu kalimat, anak dapat menggambarkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang mungkin hanya dapat diandalkan. Anak bahkan dapat bermain dengan bunyi-bunyi dan kata-kata.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa materi bahasa dapat digunakan sebagai materi berpikir secara nalar maupun secara kreatif. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dapat dijadikan sarana pengembangan kemampuan bernalar dan secara kreatif. Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan sebuah gagasan kecil seperti yang diuraikan berikut ini.

D. Pengembangan Kegiatan Terpadu Melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Pengembangan kemampuan bernalar dan kreativitas dapat dilakukan melalui kegiatan terpadu antara “membaca - sambil berpikir – dan menulis”.

Kegiatan ini dilandasi dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Berpikir nalar bersifat konvergen, menuju kepada suatu kebenaran, bersifat biologis dan analitis, serta menggunakan pola berpikir deduktif dan induktif, sedangkan berpikir kreatif adalah berpikir secara bebas, divergen, lancar, rasional, terinci, dan sensitif.

2. Pengembangan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif di SD merupakan tahap awal, pengembangan yang memberikan kemampuan intelektual, sikap, serta nilai-nilai dasar yang diperlukan untuk pengembangan selanjutnya.

3. Semua pokok bahasan dalam pembelajaran bahasa dapat digunakan sebagai sarana pengembangan. Namun, yang paling potensial ialah pokok bahasan membaca dan menulis.

4. Kegiatan membaca sambil berpikir yang dipadukan dengan kegiatan menulis kreatif harus dapat mendorong tumbuhnya motivasi membaca, serta berkembangnya sikap dan nilai-nilai intelektual, sosiokultural, dan moral.

5. Kegiatan berpikir yang dilakukan sambil membaca mencakup kegiatan berpikir secara nalar dan kreatif.

6. Sikap dan nilai-nilai intelektual, sosiokultural, dan moral yang perlu dikembangkan di SD ialah sikap positif dalam berbahasa, jujur, ingin tahu, rendah hati, kritis, terbuka, luwes, cermat, serta kebiasaan menunda penghakiman.

7. Untuk mengetahui pencapaian membaca–sambil berpikir-dan menulis, perlu disusun alat evaluasi yang memenuhi persyaratan dan mudah digunakan.

Susunan kegiatan tidak mencerminkan urutan proses belajar-mengajar. Proses divergen dan konvergen terjadi terus-menerus selama kegiatan. Untuk melaksanakannya dapat digunakan berbagai teknik.

E. Strategi Pengembangan Kemampuan Bernalar

Pengembangan kemampuan bernalar lewat jalur pendidikan formal dapat dilakukan melalui berbagai mata pelajaran dan kegiatan belajar. Sabarti, Maidar, dan Sakura (1999) yang mengembangkan taksonomi pertanyaan berdasarkan atas taksonomi Bloom, menduga bahwa siswa dapat dilatih berpikir jika diberi “pertanyaan-pertanyaan”. Pertanyaan tersebut mencakup semua jenis tugas dan latihan intelektual seperti pemecahan masalah yang ditekankan pada penggunaan gagasan yang tidak berhenti pada taraf ingatan saja. Sesuai dengan taksonomi Bloom, kategori pertanyaan yang dikemukakan Sabarti meliputi pertanyaan ingatan, terjemahan interpretasi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kecuali pertanyaan ingatan, pertanyaan yang lain, jika disususn dengan cermat, dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Kategori tersebut dapat diterapkan pada semua tingkatan sekolah. Perbedaannya terletak pada kompleksitas permasalahan.

Pengembangan kemampuan bernalar secara ilmiah tidak hanya mengenai ranah kognitif saja, melainkan juga secara tak langsung mengenai ranah afektif. Melalui pembiasaan berpikir secara ilmiah diharapkan akan timbul sikap-sikap ilmiah, seperti selalu ingin tahu, rendah hati, objektif, tidak memihak, jujur, tekun, dan cermat.

Pada tahun 2003 dalam rangka penelitian untuk menyusun disertasi saya, saya mencoba mngembangkan model pengajaran untuk meningkatkan kemampuan bernalar secara ilmiah yang saya kaitkan dengan keterampilan menulis. Materi tersebut mencakup konsep-konsep dasar fakta dan bukan fakta, pembagian dan pengelompokan, kesimpulan umum, perbandingan, hubungan sebab akibat, deduksi, induksi, dan salah nalar (Slamet, 2004).

Melalui pembelajaran di sekolah, pengembangan kemampuan berpikir dapat dilakukan lewat program membaca. Stauffer dalam Sabarti, Maidar, dan Sakura (1999) menciptakan kegiatan “directed reading thinking activity” (DRTA) yang digunakan untuk kemampuan berpikir kritis. Program ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa anak-anak dapat:berpikir, bertindak dengan sadar, menyelidik, menggunakan pengalaman dan pengetahuannya, menilai fakta dan menarik menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta, dan menghakimi atau membuat keputusan. Selain itu mereka terlibat secara emosional, memiliki berbagai minat, mampu belajar, dapat membuat generalisasi, dan mampu memahami sesuatu.

Kegiatan DRTA menekankan kegiatan berpikir pada waktu membaca. Anak-anak dilatih memeriksa, membuat hipotesis, menemukan bukti, menunda penghakiman, dan mengambil keputusan berdasarkan atas pengalaman dan pengetahuannya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam pengajaran kelompok dan individual.

Kegiatan DRTA dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Bahan yang digunakan dapat berupa cerita fiktif atau tulisan nonfiktif.

Langkah-langkahnya mencakup:

(1) Pengembangan tujuan membaca. Tujuan membaca setiap individu dan kelompok ditentukan oleh pengalaman, kecerdasan, pengetahuan bahasa, minat serta kebutuhan siswa.

(2) Penyesuaian antara kecepatan membaca dengan tujuan yang ingin dicapai dengan taraf kesulitan bahan. Penyesuaian ini menghasilkan berbagai jenis membaca.

(3) Pengamatan bacaan. Pengamatan ini mencakup kegiatan memperhatikan kesanggupan untuk menyesuaikan kecepatan membaca dengan tujuan dan kesulitan bacaan, konsep, dan keperluan untuk membaca ulang.

(4) Pengembanagn pemahaman

(5) Kegiatan latihan keterampilan dasar yang mencakup diskusi, membaca lebih lanjut, dan menulis.

Strategi Pengembangan Kreativitas

Pengembangan berpikir kreatif harus dimulai sejak usia muda. Seperti telah dikemukakan, kreativitas secara potensial ada pada setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda. Namun, jika tidak dipupuk, potensi itu tidak berkembang.

Selama dekade terakhir ini di negara kita, perhatian terhadap kemampuan berpikir kreatif makin besar. Di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) misalnya pada tahun 1984 dibuka Pusat Pengembangan Kreativitas Anak, sebagai wadah untuk penyaluran serta peningkatan kreativitas. Akan tetapi perkembangan melalui jalur pendidikan formal belum menampakkan tanda-tanda yang menggembirakan. Dari pengamatan terhadap pelaksanaan pengajaran membaca di SD di wilayah eks-Karesidenan Surakarta dan sekitarnya belum digarap secara nyata (Slamet, 2006).

Sehubungan dengan upaya pengembangan kemampuan berpikir kreatif, Treffinger (1990) mengemukakan model pengembangan berpikir kreatif melalui proses belajar kreatif. Proses belajar ini memungkinkan anak-anak menjadi lebih efisien dalam menghadapi masalah-masalah mereka kelak, yaitu pada waktu orang tua dan guru tidak lagi berada di dekat mereka untuk memberikan pertolongan, dukungan, atau saran-saran. Melalui proses belajar kreatif, anak-anak mempelajari kemampuan-kemampuan dan nilai-nilai yang tetap berharga dan berguna. Dengan demikian, mereka memiliki kemungkinan untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul pada zamannya. Selain itu, proses berpikir kreatif memberikan kegembiraan dan kepuasan batin kepada anak-anak.

Beberapa hal yang penting di dalam proses belajar kreatif :

(1) Respons anak lebih penting daripada bahan atau kurikulum. Dalam hal ini, perlu diperhatikan frekuensi, intensitas, kompleksitas, dan keterarahan respons.

(2) Proses belajar kreatif menghendaki pemudahan penghakiman atau keputusan.

(3) Proses belajar kreatif menghendaki kesinambungan, sebab belajar kreatif bukanlah tinkah laku yang acak-acakan, tak bertujuan, ataupun tak terkendali.

(4) Proses belajar kreatif adalah proses belajar yang sistematis dan terencana.

(5) Proses belajar kreatif menghendaki peran serta sepenuhnya dari anak didik.

Piaget (1976) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan pada dasarnya ialah menghasilkan individu yang kreatif, serta mampu mencipta dan menemukan sesuatu yang baru. Berpikir kreatif merupakan kemampuan yang kerap kali dihubungkan dengan pemikir-pemikir seperti para ilmuwan dan seniman yang telah menciptakan karya besar serta menghasilkan temuan baru yang orisinil dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Sebenarnya, berpikir kreatif bukanlah milik orang-orang tertentu saja. Kemampuan itu ada pada setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda: ada yang kurang kreatif dan ada pula yang sangat kreatif.

Sebagai kemampuan, kreativitas mengandung segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berpikir kreatif adalah sejenis berpikir yang mencakup proses berpikir lancar, luwes, orisinil, terinci, dan sensitif. Ciri efektif muncul sebagai rasa ingin tahu, perasaan tertantang, keberanian mengambil risiko, dan sifat menghargai (Munandar, 1997). Senada dengan pendapat Munandar, Conny Semiawan (1986) memandangnya sebagai salah satu ranah kemampuan manusia yang bersinggungan dengan ketiga ranah lainnya. Dalam hal ini banyak orang yang menganggap kreativitas sebagai sarana kognitif.

Pada hakikatnya, kreativitas merupakan perwujudan kemampuan atau kegiatan berpikir kreatif. Vinacke memandang berpikir kreatif sebagai ciri suatu kepribadian sekaligus sebagai cara berpikir tertentu. Pemikiran kreatif terletak di antara pemikiran artistik dan realistik serta memiliki ciri-ciri pemecahan masalah maupun fantasi. Namun, penyelesaian masalah di sini tidak menuntut penyelesaian yang benar. Pemikiran ini bersifat divergen, lebih menekankan pada kualitas penyelesaian atau jawaban yang mungkin dipikirkan atau diandalkan. Karena itu, sering kita lihat dalam kegiatan berpikir kreatif, meskipun atas dasar data dan informasi yang ada seakan-akan “bermain-main” dengan berbagai gagasan yang timbul. Menurut pandangan tradisional, proses kreativitas mencakup beberapa fase. Wallace menyebutkan ada empat fase, yaitu fase persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi (Vinacke, 1974).

F. Tantangan dan Kendala

Untuk melakukan pembelajaran membaca – sambil berpikir- dan menulis terpadu diperlukan kondisi yang menunjang, di antaranya menyangkut:

(1) Guru SD yang mampu melaksanakan program yaitu yang memiliki kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif.

(2) Materi pembelajaran membaca dan menulis yang disusun secara terpadu yang juga betujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif.

(3) Jumlah siswa di dalam kelas yang memungkinkan guru melaksanakan kegiatan kelompok maupun individual.

(4) Kondisi sosiokultural sebagian besar anak Indonesia dewasa ini kurang mendorong tumbuhnya kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif. Sebagian besar orang tua tinggal di desa-desa dengan latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Kebiasaan membaca belum membudaya di kalangan mereka.

Hal-hal di atas merupakan tantangan bagi pengambil kebijaksanaan, para perencana, dan para pendidik di lapangan. Adalah sangat tepat tindakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan SD melalui Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Diharapkan melalui progam ini dapat dihasilkan guru-guru SD yang memiliki penguasaan kemampuan akademik dan keprofesionalan (Ditjen Dikti, 1996/1997a). Selanjutnya khusus mengenai pembelajaran bahasa Indonesia dinyatakan:

(1) Pembelajaran bahasa Indonesia di SD bertujuan untuk mengembangkan kemampuan (keterampilan) serta sikap berbahasa yang menyangkut fungsinya sebagai alat komunikasi dan penalaran.

(2) Pembelajaran bahasa Indonesia di SD tidak hanya sekadar memberikan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga harus dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa (Diten Dikti, 1996/1997b).

G. Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) sebagai langkah Awal

Seperti telah dikemuakan kondisi sosiokultural tumbuhnya kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif pada anak. Banyak orang tua yang terpaksa menghabiskan hari-harinya di luar rumah untuk mencari nafkah. Mereka tidak mempunyai waktu untuk membaca maupun memberikan pengalaman intelektual kepada anak-anaknya. Kondisi sosiokultural ini sulit diubah. Terobosan yang singkat ialah dengan menjadikan jenjang pendidikan dasar sebagai pusat kebudayaan generasi yang akan datang menjadi pelaksana pembangunan pada abad yang akan datang. Untuk itu diperlukan guru-guru yang berkualitas memadai yang tanggap akan perubahan-perubahan yang terjadi, serta mampu merespons perubahan-perubahan itu secara positif.

Mulai tahun akademik 1990/1991 yang lalu, pengadaan guru SD dilaksanakan melalui Program Diploma Dua (D2) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Mulai dari PGSD inilah upaya peningkatan kualitas lulusan sekolah dasar yang merupakan pengalaman pertama pendidikan dasar, dimulai. Ini berarti bahwa materi serta proses belajar-mengajar, khususnya dalam mata kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia di PGSD harus dapat membekali mahasiswa calon guru dengan kemampuan professional yang memadai, serta mendorong tumbuhnya sikap dan nilai-nilai intelektual dan moral.

H. Penutup

Dari uraian tentang pengembangan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif yang dipaparkan di atas, dapatlah ditarik simpulan sebagai berikut:

(1) Kemampuan bernalar dan kreativitas ada pada semua anak dengan kadar yang berbeda-beda. Kemampuan itu harus dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.

(2) Pengembangan kemampuan bernalar dan berpikir kreatif melalui sekolah dilakukan secara bertahap, terarah, dan terencana sesuai dengan perkembangan anak, tujuan, dan jenjang pendidikan.

(3) Pengembangan kemampuan bernalar dan berpikir kreatif dapat dilakukan melalui bahasa Indonesia. Pokok bahasan yang paling potensial sebagai sarana pengembangan kreativitas dan kemampuan bernalar ialah pokok bahasan membaca dan menulis yang dilaksanakan secara terpadu.

(4) Upaya pengembangan kemampuan bernalar dan berpikir kreatif di SD melalui pembelajaran bahasa Indonesia memerlukan tersedianya guru SD yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan tugas pengembangan itu.

(5) Salah satu alternatif kegiatan yang dapat digunakan sebagai sarana pengembangan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif ialah kegiatan membaca-sambil berpikir-dan menulis.

(6) PGSD merupakan wadah penyiapan tenaga guru SD yang professional melalui proses pembelajaran yang digunakan, mampu mengembangkan kreativitas, kemampuan bernalar, dan mendorong tumbuhnya sikap serta nilai-nilai intelektual, sosiokultural, dan moral pada anak didiknya.

Referensi

Black, Max. 1966. Critical Thinking. New York: LiHefield, Englewood Cliffs.

Cony Semiawan. 1996. Pengembangan Kurikulum Berdiferensiasi, Laporan Penataran Guru Anak Berbakat. Jakarta: Gramedia.

Copi, Irving M. 1978. Introduction to Logic. New York: Mcmillan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996/1997a. Kemampuan Akademik dan Keprofesionalan Guru. Jakarta: Ditjen Dikti JAB -1.

_________. 1996/1997b. Kurikulum Pendidikan Guru Sekolah Dasar Prajabatan: Bahasa Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti JAB-2.

Halliday, MAK. 1978. Language as Social Semiotic: A Social Interpretation of Language as Meaning. London: Edward Arnold.

Jujun Suriasumantri. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Pouler. Jakarta: Sinar Harapan.

Kemeny, John GA. 1990. A Philosopher Looks at Science. New York:Van Nostrand.

Laird, Charlton. 1989. The Miracle of Language. Greenwich: Fawcett.

Leonard, Henry S. 1997. Principles of Reasoning: n Introduction to Logic. Methodology and the Teory of Signs. New York: Dover Publication. Inc.

Piaget, J. 1976. Play, Dreams, and Imitation in Childhood. New York: Norton.

Sabarti Akhadiah, Maidar G. Arsjad, dan Sakura H. Ridwan. 1999. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

St.Y. Slamet. 2004. “Pengaruh Orientasi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran terhadap Keteramplan menulis Bahasa Indonesia”. Disertasi. Jakarta: PPs UNJ.

_________. 2006. “Studi Kemampuan Membaca Kritis dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar”. Jurnal Widyaparwa. Nomor Balai Bahasa Yogyakarta.

Stubbs, Michael. 1993. Discourse Analysis, the Sosiolinguistics Analysis of Nutural Language. Axford: Basil Blackwell.

Treffinger, D.J. 1990. Encouraging Creative Learning for the Gifted and Talented. Vetura: California.

Undang-Undang. Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Utami Munandar, SC. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia.

Vinacke, W.Edgar. 1974. The Psychology of Thinking. New York: McGraw-Hall Book Company.

Wettgenstein, Ludwig. 1992. Tractatus Logoco-Philosophicus. New York: The Humanities Press.

Curriculum Vitae

St.Y.Slamet dilahirkan di Klaten, 08 Desember 1946. Ia merupakan anak kedua dari Wiryosumarto. Menamatkan Sekolah Rakyat Negeri Ngaran tahun 1959, SMP Kanisius Klaten (1963), SPG Negeri Surakarta (1967), PGSLP Negeri Surakarta Jurusan Bahasa Indonesia (1968), Sarjana Muda IKIP Negeri Surakarta Juruan Bahasa dan Sastra Indonesia (1974), Sarjana (S1) pada Jurusan yang sama di IKIP Veteran Sukoharjo (1986), Magister Pendidikan (S2) Jurusan Pendidikan Bahasa di IKIP Negeri Jakarta (1998), dan Doktor (S3) pada jurusan yang sama di Universitas Negeri Jakarta (2004). Pernah menjadi guru SD (1967-1979), guru Bahasa Indonesia SMP dan SMA (1975-1980), dan guru SPG (1980-1990). Menjadi dosen Universitas Sebelas Maret (Prodi PGSD) tahun 1980- sekarang. Sejak tahun 2005 membantu mengajar di Pascasarjana UNS pada Prodi PBI. Ia memperoleh kenaikan jabatan fungsional tertinggi sebagai Guru Besar tetap FKIP dalam Bidang Bahasa Indonesia sejak tanggal 01 Desember 2007. Pernah menjadi Sekretaris Prodi S3 Linguistik UNS (2006-2007) dan Sekretaris Prodi S3 PBI (2008-2012). Ia tercatat sebagai anggota HPBI cabang Surakarta (1991-sekarang) dan pengurus HPBI (2000- sekarang). Anggota Komisariat MLI Cabang UHS (1992-sekarang). Pengurus ISPI Cabang Surakarta (2006-sekarang). Ia juga banyak meneliti bidang bahasa, sastra, dan pengajarannya yang sebagian mendapatkan dukungan dana dari Proyek penelitian Direktorat Pembinaan Penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Dikti. Menulis artikel ilmiah di berbagai jurnal ilmiah, di antaranya Jurnal Paedagogia dan Dwijawacana (FKIP UNS), Jurnal Pendidikan (IKIP PGRI Madiun), Jurnal Widyaparwa (Balai Bahasa Yogyakarta), Jurnal Fenolingua (Unwidha Klaten), Jurnal Widyasari (UKSW Salatiga). Buku-buku yang pernah ditulis di antaranya: Dasar-dasar Keterampilan Berbahasa Indonesia (2006), Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar (2007), Metodologi Penelitian Kuantitatif (2007), Metodologi penelitian Kualitatif (2007), Penulisan Karya Ilmiah (2008), semuanya diterbitkan oleh UNS Press.



[1] ) Artikel Ilmiah dalam rangka Peringatan Ulang Tahun Ke-65 Prof. Dr. Herman J. Waluyo

[2] ) Guru Besar Tetap FKIP Universitas Sebelas Maret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar