Senin, 29 Maret 2010

Dasar-Dasar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

BAB I
PERKEMBANGAN DAN PEMEROLEHAN BAHASA

Pendahuluan
Bab ini akan dibahas dua masalah pokok yang menyangkut tentang bahasa anak, yaitu masalah perkembangan bahasa dan pemerolehan bahasa. Hal-hal yang berkaitan dengan perkem­bangan bahasa, terutama mengenai perkembangan bahasa anak usia sekolah dasar meliputi (1) hakikat perkembangan bahasa; (2) perkembangan bahasa anak; (3) perkembangan komunikasi lisan; (4) perkembangan komunikasi tulis; dan (5) perkembangan mem­baca dan menulis. Di samping itu siswa usia sekolah dasar khu­sus­nya pada kelas awal mempunyai latar belakang penguasaan bahasa yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Dalam interaksi pembelajaran, peranan bahasa lisan tidak dapat diabaikan, meski para siswa telah duduk di kelas yang lebih tinggi. Pada masa-masa awal guru tidak perlu tergesa-gesa meng­ajar­kan bahasa tulis, sehingga peranan bahasa lisan sangat menon­jol. Di dalam komunikasi tertulis pun masih diperlukan kejelasan lewat bahasa lisan. Pemahaman masalah-masalah tersebut sangat membantu yang bersangkutan dalam mempelajari hal-hal lainnya.
Pemerolehan bahasa dan perkembangan bahasa anak tidak mudah dibedakan secara jelas. Hal ini mengingat bahwa dalam proses perkembangan bahasa yang sifatnya alami itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari lingkungan sosialnya. Biasa­nya tekanan pemerolehan bahasa adalah pada sifat formal bimbingan yang diterima oleh anak. Bimbingan formal ini biasa­nya diartikan pembelajaran di sekolah. Perbedaan individual dalam pemerolehan bahasa sangat penting bagi pelaksaan pem­be­lajaran bahasa anak, khususnya pada waktu mereka belajar membaca dan menulis permulaan. Itulah sebabnya pembaca, maha­siswa, guru atau siapa saja yang bergerak dalam bidang pengajaran perlu menguasai konsep yang terkait dengan perkem­bangan bahasa dan pemerolehan bahasa anak.

A. Perkembangan Bahasa
1. Hakikat Perkembangan Bahasa
Di dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan per­kem­bangan bahasa adalah perkembangan bahasa anak, khu­susnya pada masa kanak-kanak dan masa usia sekolah dasar. Seperti kita ketahui bahwa pada saat anak-anak memasuki sekolah dasar, kemam­­puan berbahasa mereka sangat beragam. Hal ini dika­renakan oleh berbagai hal, di antaranya keadaan lingkungan sosial ekonomi keluarga, lingkungan anak, pergaulan anak, dan faktor lingkungan keluarga asal anak itu sendiri. Anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi orang tuanya tinggi, akan berbeda cara ber­bahasanya dengan anak yang berasal dari tingkat sosial eko­nominya rendah atau menengah. Anak yang lingkungannya ber­ba­hasa Indonesia sebagai bahasa per­tama, berbeda dengan anak yang lingkungannya berba­hasa daerah sebagai bahasa pertama­nya. Anak yang masuk sekolah dasar berasal dari taman kanak-kanak berbeda kelancaran berbahasanya dengan anak yang ber­asal bukan atau belum dari taman kanak-kanak..
Bambang Kaswanti Purwo (1990: 116-117), hasil pene­li­tiannya ter­hadap anak-anak yang bahasa pertamanya meng­gunakan baha­sa Inggris, menyatakan bahwa pada mulanya anak berbahasa dengan menggunakan kalimat yang terdiri dari satu kata saja. Kata itu ucapannya seder­hana, maknanya konkret dan mengacu pada benda, keja­dian, dan orang yang ada di sekitarnya.
Madora Smith (1926), menyatakan bahwa anak usia 2,5 dan 4,5 tahun merupakan masa tepatnya pengem­bangan kosakata, rata-rata sampai 4 kata baru dikuasai pada masa itu. Pengamatan Clark (1981/1982) pada usia 2 dan 6 tahun anak cenderung men­cip­takan kata-kata baru untuk mengisi kekosongan apa belum tahu atau lupa kata yang semestinya dipakai. Anak mengucapkan kata “pourer” seharusnya “cup”, kata “plantman” seharusnya “gar­dener”. Anak-anak Jawa mengatakan “tepas jalan” untuk menya­takan “penahan debu/kotoran di belakang ban mobil”, kata “tepas banyu” untuk menyebut “dayung”.
Untuk bahasa tulis pun, pada masa prasekolah anak sudah mulai mengenal, tentu saja pada masyarakat yang sudah tidak buta tulis (aksara). Dalam masyarakat seperti ini anak sudah menger­ti bahwa namanya dapat dituliskan pada kertas, selain dilisankan. Anak umur 3 tahun dapat membedakan antara gambar dan tulisan. Sewaktu dido­ngengkan ibu, ia tahu bahwa yang diba­ca ibunya bukan gambar melainkan tulisan. Hal ini dapat ia buk­tikan ketika tulisan cerita tersebut ditutup dengan jarinya, ibu tidak dapat meneruskan ceritanya.
Pada saat memasuki taman kanak-kanak, anak-anak sudah memi­liki sejumlah besar kosakata (bahasa ibunya), dan hampir selu­ruh kaidah dasar tatabahasa dikuasainya. Anak dapat mem­buat kalimat tanya, berita, negatif, maje­muk, dan sejumlah kon­struk­si yang lain. mereka dapat bergurau, bertengkar, berdialog dengan teman-temannya dan berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru. Anak sudah mempelajari hal-hal yang di luar kosakata dan tata bahasa. Mereka sudah dapat menggunakan bahasa dalam konteks sosial yang beraneka ragam. Misalnya, mere­­ka dapat berbicara ‘bahasa bayi’ pada bayi, dapat menyata­kan lelucon dengan sesama teman, membuat teka-teki dengan kakaknya, dapat berkata kasar pada teman-temannya, dan dapat berkata dengan nada halus, sopan, tinggi kepada orang tuanya.
Seberapa banyak penguasaan bahasa (bahasa Indo­nesia) bagi anak yang baru masuk sekolah dasar, tentulah bermacam ragam sejalan dengan berbagai hal yang telah diungkapkan di atas. Dengan bekal pengetahuan bahasa yang ada pada anak tersebut, guru bertugas untuk mengem­bangkan penguasaan dan keteram­pilan berbahasa mereka. Sesuai dengan tingkat dan kematangan berbahasa si anak, agar anak terampil berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Keterampilan berbahasa seseorang meliputi keteram­pilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Setiap keterampilan ter­sebut erat sekali berhubungan dengan ketiga keterampilan ber­baha­sa yang lain dengan cara ber­ane­ka ragam.
Untuk memperoleh keterampilan berbahasa, mula-mula anak pada masa kecil belajar menyimak, kemudian baru belajar berbi­cara. Selanjutnya baru belajar keteram­pilan membaca dan menulis setelah mereka masuk seko­lah.
Keempat keterampilan berbahasa (menyimak, berbi­cara, mem­ba­ca, dan menulis) tersebut sangat erat kaitan­nya dengan pro­ses berpikir seseorang dalam mendasari suatu bahasa. Baha­sa seseorang mencerminkan pemi­kir­an­nya, semakin terampil sese­orang dalam berbahasa, sema­kin jelas dan cerah jalan pikirannya. Keterampilan berbahasa tersebut dapat diperoleh dan dikuasai dengan cara praktek dan banyak latihan. Melatih terampil berba­hasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Damson et al., 1963:27).
Pada waktu mulai masuk sekolah dasar, anak-anak dihadap­kan pada tugas utama mempelajari bahasa tulis. Hal ini hampir tidak mungkin kalau mereka belum menguasai bahasa lisan. Per­kembangan bahasa anak pada periode usai sekolah dasar ini meningkat dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Kemampuan mereka menggunakan bahasa berkembang.
Pada usia remaja, terjadi perkembangan bahasa yang penting. Tahap ini merupakan umur yang sensitif untuk belajar bahasa. Remaja menggunakan gaya yang khas dalam berbahasa, sebagai bagian dari terbentuknya iden­titas diri (Gleason, 1985:6).
Akhirnya, pada usia dewasa terjadi perbedaan-perbe­daan yang sangat besar antara individu yang satu dengan yang lain dalam perkembangan bahasanya. Hal ini bergan­tung pada tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan. Misal­nya, bahasa seorang guru yang sedang mengajar di depan kelas sangat berbeda dengan bahasa seorang mandor tebu yang sedang mengarahkan tugas kepada para pekerjanya.
2. Perkembangan Komunikasi Awal
Perhatian dan kegiatan pembelajaran bahasa dikem­bang­kan menjadi pembelajaran keterampilan berbahasa. Pembelajaran bukan lagi ditekankan pada pengetahuan baha­sa, melainkan pada keterampilan berbahasa. Keteram­pilan berbahasa yang dimaksud meli­puti keterampilan menyi­mak, berbicara, membaca, dan menu­lis. Keempat kete­rampilan tersebut diberikan secara terpadu. Dalam hal ini peran guru bahasa sangat menentukan keberhasilan para siswa. Untuk itu guru perlu menyiapkan diri dalam menya­jikan bahan atau materi ajar, menentukan kegiatan apa saja yang dilakukan bersama dengan siswanya, meng­upayakan agar bahan sajiannya mampu meningkatkan kete­rampilan khusus tertentu. Alat dan sarana penunjang yang sesuai dengan bahan yang diajar­kan. Semuanya dira­mu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Kurikulum dan silabus bahasa Indonesia sekolah dasar ber­titik tolak pada pemikiran antara lain (1) hakikat bahasa Indo­nesia; (2) ragam bahasa Indonesia; (3) hakikat pengajaran bahasa Indonesia; (4) fungsi komunikasi; (5) kreativitas siswa; dan (6) keber­maknaan.
a. Hakikat Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai baha­sa nasional dan bahasa negara. Kedudukan bahasa Indo­nesia seba­gai bahasa negara ia berfungsi sebagai baha­sa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, sebagai pengem­bang kebu­da­yaan, sebagai pengem­bang ilmu pe­nge­tahuan dan tek­no­logi, serta sebagai alat perhu­bung­an dalam kepentingan peme­rintahan dan kenegaraan. Selan­jut­nya, fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yaitu sebagai lambang kebang­gaan nasional, sebagai alat pemersatu berbagai suku bang­sa dengan latar belakang sosial budaya dan baha­sa, sebagai pengembang kebu­daya­an, sebagai pengem­bang ilmu pengetahuan dan tek­no­logi, serta sebagai alat perhubungan dalam kepentingan peme­rin­tahan dan kenegaraan.
b. Ragam Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai ragam lisan dan tulisan yang kedua-duanya digunakan dalam situasi formal (resmi) dan situasi nonformal. Guru selayaknya memperkenalkan baha­sa Indonesia kepada siswa adalah ragam lisan yang for­mal dan ragam tulis formal dan tak formal.
c. Hakikat Pengajaran Bahasa Indonesia
Pengajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya ada­lah pengajaran keterampilan berbahasa, bukan penga­jaran tentang bahasa. Tata bahasa, kosakata, dan sastra disajikan dalam konteks, yaitu dalam kaitannya dengan keterampilan tertentu yang tengah diajarkan, bukan sebagai pengetahuan tata baha­sa, teori pengembangan kosa­kata, teori sastra sebagai pendu­kung atau alat pen­jelas.
Keterampilan-keterampilan berbahasa yang perlu dite­kan­kan pengajaran berbahasa Indonesia adalah kete­rampilan reseptif (keterampilan mendengarkan dan membaca) dan kete­rampilan produktif (keteram­pilan menulis dan berbicara). Peng­ajaran berbahasa diawa­­li dengan pengajaran keteram­pilan reseptif, sedang­­kan keterampilan produktif dapat turut ter­ting­katkan pada tahap-tahap selanjutnya. Seterusnya, pening­­katan keduanya itu menyatu sebagai kegiatan berba­hasa yang terpadu.
d. Fungsi Komunikasi Bahasa
Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat komu­ni­kasi seseorang, anak belajar bahasa karena dide­sak oleh kebu­tuhannya untuk berkomunikasi dengan orang-orang di seki­tar­nya. Oleh karena itu, sedini mungkin anak-anak diarahkan agar mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk keperluan berkomunikasi dalam berbagai situasi, yaitu mampu menyapa, bertanya, menjawab, menye­butkan, mengungkapkan pendapat dan perasaan, dan sebagainya.
Di dalam pengajaran bahasa Indonesia, materi baha­sa disa­jikan secara bermakna sebagai suatu kebu­tuhan, yaitu dalam konteks penggunaannya dalam komu­nikasi, bukan seba­gai butir yang terpotong-potong, melainkan kalimat yang saling berkaitan dan bermakna.
e. Kreativitas Siswa
Pada tahap-tahap awal perkembangan bahasa anak khu­sus­nya anak kelas I, kreasi siswa akan muncul melalui ber­macam-macam kegiatan dan permainan yang menarik. Siswa yang senang bermain dibimbing agar kreatif menyusun kata dan kalimat sederhana sendiri dari huruf-huruf yang sudah diperkenalkan.
Melalui kegiatan menarik lainnya, misalnya pajang­an kelas terus-menerus, siswa secara kreatif mam­pu menarik sim­pulan berdasarkan keadaan khu­sus ke keadaan umum (secara induktif). Secara kreatif pula mencoba menyusun kalimat-kali­mat sendiri, yang akhirnya akan dapat mengembangkan dan menyusun kalimat menjadi paragraf, dan seterusnya.
f. Kebermaknaan
Pembelajaran bahasa disajikan secara bermakna sebagai suatu kebutuhan, yaitu dalam konteks peng­gunaannya dalam komunikasi, bukan sebagai butir yang terpotong atau terlepas satu dengan lainnya, melain­kan kalimat yang dijalin membentuk suatu keutuh­an. Kebermaknaan suatu kalimat mengait pada konteks pemakaiannya. Konteks yang dimaksud adalah konteks yang wajar, bukan konteks yang dibuat-buat. Konteks yang wajar adalah konteks yang memang terdapat pada interaksi antarpenutur yang berkomu­nikasi.
Memperhatikan hal di atas, maka selayaknya guru memahami bagaimana memilih atau menata bahan pembelajaran sehingga mencapai sasaran belajar secara lebih efektif dan efisien. Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan guru di dalam memilih dan menata bahan pembelajaran sehingga tujuan atau sasaran dapat tercapai, adalah pendekatan komunikatif, minat dan kebutuhan siswa, dan keragaman kecerdasan sis­wa.
Penekanan utama dalam pembelajaran dengan pendekatan komunikatif adalah mengaitkan keteram­pilan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa. Baha­sa diajarkan sebagaimana yang digunakan di dalam berkomunikasi. Pengetahuan bahasa(tata bahasa dan kosakata) bukan merupakan tujuan percapaian berba­hasa. Pertama-tama yang perlu ditekankan adalah kemam­puan komunikatif.
Pada tahun-tahun pertama sekolah dasar adalah saat pertama kalinya anak-anak secara resmi belajar bahasa Indonesia. Kebanyakan anak memiliki kera­gaman latar belakang bahasa ibu, dan berapa per­sen­kah siswa kelas I yang telah berkesempatan mendapat pendidikan taman kanak-kanak. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan guru dalam memilih bahan pelajaran dan menatanya.
Pengorganisasian pendekatan dan pembelajaran di dalam suatu kurikulum atau silabus perlu dibahas dan dikembangkan dengan memperhatikan rambu-rambu sebagai dasar pemikiran dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Rambu-rambu tersebut antara lain (1) peng­organisasian materi; (2) pendekatan; (3) menempat­pusat­kan siswa; (4) mengembangkan bahan secara ter­padu; dan (5) pembelajaran sastra. Hal-hal di atas pem­bahasannya dapat dilihat di bawah ini.
1) Pengorganisasian materi
Pengeorganisasian materi tidak melalui pokok bahasan, akan tetapi secara tematis. Tema dimak­sudkan agar mampu menciptakan suasana berbaha­sa yang wajar. Tema tersebut berfungsi sebagai pemersatu kegiatan berbahasa seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, serta butir-butir kebahasaan seperti tata bahasa atau struktur baha­sa, kosakata, dan kesusasteraan. Tema-tema pembe­lajaran bahasa menganut asas kesederhanaan, keber­­maknaan, dan kekomunikasian, kewajaran konteks, keluwesan, (disesuaikan dengan kebu­tuhan siswa dan lingkungan/tempat), dan kesinam­bungan berbagai segi dan keterampilan berbagai segi berbahasa.
2) Pendekatan
Pendekatan pembelajaran lebih ditekankan pada pen­dekatan komunikatif, yaitu keterampilan meng­gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berbagai keperluan yang menyangkut ber­bagai masalah. Dalam hal ini termasuk mengguna­kan berbagai bentuk dan cara untuk berbagai pen­dengar dan pembaca. Pembelajaran berbahasa ber­tujuan untuk mencapai keterampilan berbahasa untuk kegiatan di luar konteks, yang biasa diguna­kan untuk berkomunikasi.
Pendekatan komunikatif dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas bila siswa terlibat aktif. Siswa tidak saja dilibatkan saat pembelajaran berlang­sung, melainkan sejak awal dalam tahap memilih tema dan menentukan topik sajian bahan pem­belajaran. Dengan demikian, siswa dapat merasa­kan bahwa kegiatan belajar yang dilakukan menjadi milik dan tanggung jawabnya. Tingkat keaktifan siswa yang paling tinggi adalah kemandirian dalam belajar, keingintahuan yang lebih banyak, kehausan mencari informasi baru, dan kelincahan mencari peme­cahan masalah yang lain. pembelajaran bahasa untuk meningkatkan kemampuan menentukan masa­lah, merumuskan, menganalisis, menyim­pul­kan, dan memecahkan masalah.
3) Menempatpusatkan siswa
Selama ini guru selalu sebagai pusat perhatian dan pusat informasi siswa. Di dalam proses belajar-mengajar guru terlalu aktif, sedangkan siswa pasif banyak berperan sebagai pendengar. Menempatkan siswa sebagai pusat kegiatan berarti sudut pandang kegiatan belajar-mengajar diambil dari segi siswa. Di antaranya pemilihan bahan, penetapan teknik pembelajaran yang dilaksanakan bukan atas dasar pertimbangan dari segi guru, melainkan dari segi siswa. Titik tolaknya bukan pada apa yang perlu diajarkannya, melainkan pada apa yang perlu dipe­laja­ri para siswa dan bagaimana mereka bela­jar.
Di sinilah terjadi pergeseran dari pengajaran bahasa ke pembelajaran bahasa. Titik kegiatan bagaimana meli­batkan siswa secara aktif dalam proses belajar, bagaimana menumbuhkembangkan daya kreatif dalam diri para siswa.
4) Mengembangkan bahan secara terpadu
Prinsip penyusunan bahan pembelajaran adalah keterpaduan. Artinya, keempat keterampilan berba­hasa tidak dikembangkan secara terpisah, melain­kan secara terpadu dan dalam pelaksanaannya dikait­kan dengan tema yang dipilih.
Pembelajaran kosakata ditekankan pada peningkat­an pengalaman berbahasa siswa yang bervariasi yang dilakukan dengan berbagai kegiatan secara umum. Pengembangan kosakata juga dilaksanakan dengan berbagai teknik permainan bahasa, misal­nya, teka-teki, perbandingan, pengubahan susunan huruf, kata tertentu menjadi kata baru, teknik sosia­tif, penggunaan kamus, penyusunan kamus seder­hana, dan sebagainya.
Pembelajaran struktur bahasa tidak lagi menyerap pengetahuan tentang struktur tata bahasa, melain­kan melatih siswa menggunakan struktur bahasa yang tepat dalam konteks yang sesuai dengan tema secara wajar dan logis, tidak menggunakan kalimat-kalimat lepas. Dalam kegiatan menyimak, berbica­ra, membaca atau menulis, tata bahasa diselipkan kegiatan menggunakan struktur bahasa.
5) Pembelajaran sastra
Sastra diajarkan bukan sebagai pengetahuan, nama-nama pengarang dan karyanya yang harus dihafal. Akan tetapi sastra disajikan kepada siswa sebagai karya untuk dinikmati dan dihayati keindahan baha­sanya dan diambil nilai-nilai moralnya. Penga­laman siswa membaca karya sastra akan menum­buhkan apresiasi yang mendalam daripada sekedar menghafal ciri-ciri dan unsur karya sastra.
Pembelajaran karya sastra sekolah dasar di kelas I dan II dapat dilakukan dengan kegiatan deklamasi, menyanyikan syair lagu, menceritakan nilai-nilai moral yang dikandungnya, atau mende­ngar­kan dan menikmati puisi serta cerita yang dibawakan oleh temannya atau guru.
Memperhatikan uraian di atas, maka dapat dinya­takan bahwa bahasa lisan mutlak perlu dipe­lajari dan diajarkan kepada siswa sekolah dasar, agar siswa-siswa pada kelas awal memiliki pema­haman dan pengalaman serta keterampilan berba­hasa lisan yang memadai sesuai dengan tingkat dan perkembangan mereka.
Belajar bahasa lisan pada dasarnya adalah belajar bahasa sesuai dengan konteks dan situasi yang wajar. Keterampilan yang perlu dikembang­kan dalam masa ini adalah keterampilan menyimak dan berbicara. Banyak ahli menyatakan bahwa menyi­mak dan berbicara merupakan kegiatan komu­nikasi dua arah yang langsung, merupakan komunikasi tatap muka (face to face).
Menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat reseptif. Menyimak adalah kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, menginterpretasi, meng­identifikasi, menilai, dan mereaksi terhadap makna yang terkandung di dalam bahan simakan. Kegiatan menyimak sangat fungsional di dalam kehidupan sehari-hari. Menyimak berperan sebagai landasan belajar bahasa, penunjang keterampilan berbahasa yang lain, seperti keterampilan berbicara, membaca, dan menulis; memperlancar komunikasi lisan; dan menambah informasi.
Sebagai suatu kegiatan berbahasa yang resep­tif, menyimak merupakan suatu proses yang ber­tahan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: mende­ngar, memahami, menginterpretasi, mengevaluasi, dan menanggapi. Untuk dapat menyimak dengan baik diperlukan sejumlah kemampuan penunjang. Kemampuan-kemampuan penunjang tersebut anta­ra lain kemampuan memusatkan perhatian, ke­mam­puan linguistik dan nonlinguitik, kemampuan menilai, dan kemampuan menanggapi.
Pada umumnya, menyimak dilakukan manusia dengan tujuan untuk memperoleh informasi, fakta, dan inspirasi; membedakan bunyi bahasa dengan tepat; menikmati dan menghargai pembicaraan; menilai hasil simakan; dan meningkatkan keteram­pilan berbahasa.
Berbicara merupakan kegiatan berbahasa lisan yang bersifat produktif. Berbicara adalah kegiatan mengekspresikan gagasan, perasaan, dan kehendak pembicara yang perlu diungkapkan kepada orang lain dalam bentuk ujaran. Kerenanya, dalam peris­tiwa berbicara, pembicara merupakan faktor yang utama dalam menciptakan kegiatan yang komuni­katif.
Menurut tujuannya peristiwa berbicara dilak­sanakan dalam usaha untuk menciptakan suasana yang komunikatif. Di dalam berbicara pesan pem­bicara hendaknya dapat diterima oleh penyimak sebagai kesan sesuai yang diharapkan pembicara. Tingkat kekomunikatifan pembicaraan ditentukan oleh pembicara dan penyimak.
Kegiatan berbicara dapat efektif, apabila pem­bicara menguasai bahasa yang sama-sama dikuasai oleh penyimak. Pembicara harus mampu meng­ungkapkan gagasan, perasaan, dan kehendaknya dalam bahasa ujaran yang efektif. Untuk itu diper­lukan kemampuan linguistik, yang berupa bentuk-bentuk fonologis, morfologis, sintaksis, diksi, serta kemampuan nonlinguistik, yang berupa mimik dan unsur kinesik yang lain dapat menunjang kefektifan pembicaraan.
Menurut peristiwa komunikasinya, berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang situasional. Arti­­nya, berbicara tidak dapat dipisahkan dari situasi lingkungan tempat komunikasi berlangsung. Situasi lingkungan komunikasi mencakup sosial dan geografis. Atas dasar ini, berbicara bukan semata-mata kegiatan komunikasi verbal (kebaha­sa­an), tetapi juga nonverbal. Dalam hal ini, faktor situasi memiliki pengaruh yang besar baik terhadap pembicara, penyimak, maupun bahasa yang digu­na­kan. Berbicara dan menyimak merupakan kegiat­an berbahasa yang resiprokal dan keduanya sangat berkaitan erat. Keeratan hubungan di antara kedua­nya tersebut seperti dinyatakan oleh HG.Tarigan (1983:3):
a) Ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui me­nyi­mak dan meniru (imitasi). Oleh karena itu, model atau contoh yang disimak atau direkam oleh anak sangat penting dalam penguasaan serta kecakapan berbicara.
b) Kata-kata yang dipakai serta dipelajari oleh anak biasanya ditentukan oleh perang­sang (sti­muli) yang ditemuainya (misalnya kehidupan desa, kota) dan kata-kata yang paling banyak memberi bantuan atau pelayanan dalam pe­nyam­paian gagasan-gagasannya.
c) Ujaran anak mencerminkan pemakaian bahasa di rumah dalam masyarakat tempatnya hidup. Dalam hal ini misalnya terlihat nyata dalam ucap­an, intonasi, kosakata, pemakaian kata-kata, dan pola-pola kalimat.
3. Perkembangan Bahasa Anak
Pada tahap usia sekolah, perkembangan bahasa anak yang paling jelas tampak ialah perkembangan semantik dan pragmatik (Owens, 1992:354-355). Di samping memahami bentuk-bentuk baru, anak belajar menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lebih efektif termasuk bagaimana perkembangan komunikasi awal. Perkembangan bahasa anak lainnya berupa perkembangan morfologis, perkem­bangan sintaktik, dan perkembangan fonologis. Dalam buku ini, perkembangan komunikasi awal, semantik dan prag­matik anak akan dibicarakan lebih lanjut seperti di bawah ini.

a. Perkembangan Semantik dan Bahasa Figuratif
1) Perkembangan semantik
Keseluruhan proses perkembangan semantik yang mulai pada tahun-tahun awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan dengan keseluruhan proses kognitif (Owens, 1992:374). Dalam proses pening­kat­an jumlah kosakata dan makna lewat konteks sese­orang menyusun kembali aspek-aspek kebaha­saan yang telah dikuasainya. Susunan baru yang dihasilkannya itu tercermin dalam cara seseorang menggunakan kata-kata. Sebagai dampaknya ialah adanya perkembangan penggunaan bahasa figur­atif.
Pada usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan makna kata. Secara horizontal, anak-anak semakin mampu memahami dan dapat meng­gunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Penam­bahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata-kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens, 1992:375).
Di kelas-kelas awal, juga terjadi perkembangan dalam penggunaan istilah-istilah yang menyatakan tempat. Penggunaan istilah-istilah yang umum ber­kurang dan terjadi peningkatan penggunaan istilah-istilah yang menunjukkan tempat yang bersifat khas. Berdasarkan istilah umum “ini” dan “itu”, anak kemudian memahami dan dapat mengguna­kan istilah-istilah jauh, dekat, kiri, kanan, bawah, muka , atas, belakang, dan sebagainya.
Kemampuan anak dalam mengidentifikasikan kata-kata meningkat. Ada dua cara dalam hal ter­sebut. Pertama, secara konseptual dari definisi ber­da­sar pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan yang kompleks.
Kemampuan anak membuat definisi sangat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Apabila anak banyak memperoleh kesempatan untuk ber­cakap-cakap dengan orang tua atau saudara-sau­dara­nya, dia memperoleh tantangan untuk menje­laskan maksudnya kepada orang lain. Demikian juga kalau di sekolah anak banyak diberi kesem­patan untuk praktik berbahasa, anak akan dapat mengembangkan potensi berbahasanya dengan baik, termasuk kemampuannya dalam membuat definisi.
2) Bahasa dan proses figuratif
Anak-anak usia sekolah juga mengembangkan bahasa figuratif yang memungkinkan penggunaan bahasa secara kreatif. Bahasa figuratif menggu­nakan kata-kata secara imajinatif. Yang termasuk bahasa figuratif, yaitu ungkapan, metafora, kiasan, dan peribahasa.
Ungkapan adalah pernyataan pendek yang telah digunakan bertahun-tahun dan tidak dapat diana­lisis secara gramatikal. Misalnya, rumah makan, kamar mandi, makan hati, ringan tangan, buah hati, memotong jalan, dan sebagainya.
Metafora dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan benda yang sebenarnya dengan khayalan. Dalam metafora perbandingan dinyatakan secara implisit, misalnya, “Suaranya membelah bumi”. Sebaliknya, kiasan adalah per­ban­dingan secara eksplisit, biasanya dinyatakan dengan kata ‘seperti” atau “bagaikan”, misalnya, “dua anak kembar itu bagaikan pinang dibelah dua”.
Sementara penggunaan metafora dan kiasan menurun, pemahaman meningkat. Anak usia seko­lah (5 dan 7 tahun) lebih suka menghubungkan dua istilah daripada menyamakannya. Pemahamannya hanya secara fisik, misalnya ”kepala dingin” diarti­kan kepala bersuhu rendah, tidak panas. Sebaliknya pada usia 8 dan 9 tahun anak mulai dapat meng­hargai proses psikologis, sehingga pemahamannya tidak hanya secara fisik. Namun, masih sering ter­jadi kesalahan penafsiran metafora, karena anak belum sepenuhnya memahami dimensi psikologis.
Peribahasa adalah pernyataan pendek yang sudah dikenal yang berisi kebenaran yang terteri­ma, pikiran yang berguna, atau nasihat. Misalnya, “Malu bertanya sesat di jalan”, “Menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri”.
Anak berusia 6, 7, dan 8 tahun menafsirkan bahasa secara literal. Perkembangan pemahaman ber­langsung terus sampai periode adolesen dan dewasa. Ketepatan pemahaman ungkapan dan peri­bahasa meningkat secara perlahan-lahan pada masa akhir kanak-kanak dan masa adolesen. Perkem­bangan ini bervariasi antara anak yang satu dengan yang lain, antara lain bergantung pada pengalaman belajarnya.
Bahasa figuratif lebih mudah dipahami dalam konteks daripada secara terpisah oleh anak ado­lesen. Makna bahasa figuratif disimpulkan oleh anak dari penggunaan yang berulang-ulang dalam konteks yang berbeda-beda. Kejelasan metaforik, yakni hubungan antara literal dan figuratif, memu­dahkan penafsiran. Sebagai contoh “tutup mulut” lebih mudah dipahami daripada “makan hati”.
b. Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik (penggunaan bahasa) merupakan hal yang paling penting dalam bidang dan pertumbuhan bahasa pada tahap usia sekolah. Pada masa sebelumnya anak belum memiliki keterampilan berbicara secara sistematis.
Pada usia sekolah, proses kognitif meningkat sehing­ga memungkinkan anak menjadi komunikator yang lebih efektif. Secara umum, anak kurang dapat menerima pandangan orang lain. Apabila anak telah memperoleh struktur bahasa yang lebih banyak dia dapat lebih berkonsentrasi pada pendengar. Kemam­puan menerima pandangan orang lain ini memung­kinkan pendengar menggunakan dan memahami kata “itu” dan “ini” dengan tepat.
Anak-anak mulai mengenal adanya berbagai pan­dangan mengenai topik. Mereka dapat mendes­krip­sikan sesuatu, tetapi deskripsi yang mereka buat lebih bersifat personal dan tidak mempertimbangkan makna informasi yang disampaikannya bagi pendengar. Infor­masi tersebut bisanya tidak selalu benar, karena ber­campur dengan hal-hal yang ada dalam khayalan (Owens, 1992:358). Anak usia 5 dan 6 tahun meng­hasilkan berbagai macam cerita. Cerita-cerita anekdot yang paling banyak meraka hasilkan. Isinya tentang hal-hal yang terjadi di rumah, tetangga sekitar, atau di masyarakat lainnya.
Kemampuan membuat cerita tersebut seharusnya sudah diperkenalkan pada usia prasekolah, meskipun masih sangat sederhana, yakni selama kegiatan meng­asuh anak, bermain dan membacakan cerita kepada anak-anak. Dengan demikian, ketika memasuki sekolah dasar, anak-anak tidak mearasa asing lagi dengan cerita-cerita tersebut. Apabila hal ini dibina terus, diha­rapkan kemampuan verbal anak-anak menjadi semakin baik. Lebih dari itu, mereka diharapkan melatih meng­eks­presikan pikiran dan perasaannya secara sistematis dan santun.
Perbedaan perkembangan bahasa antara anak laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan di bawah ini. Pada waktu duduk di sekolah dasar, bahasa anak laki-laki dan perempuan mulai mencerminkan perbe­daan. Perbedaan ini dapat dilihat pada kosakata yang digu­nakan dan gaya bercerita mereka. Perubahan status wani­ta dalam masyarakat mungkin mengurangi per­bedaan ini, namun demikian, perbedaan tersebut tetap ada.
Penggunaan kosakata antara anak laki-laki dan perem­puan pun banyak menunjukkan perbedaan. Per­bedaan kosakata yang digunakan oleh anak laki-laki dan perempuan pada umumnya ada pada diksi atau pilihan katanya. Pada umumnya anak perempuan meng­hindari bahasa yang berisi umpatan dalam per­cakapan dan cenderung menggukan kata-kata yang lebih sopan, misalnya silakan, terima kasih, selamat jalan, hati-hati di jalan, Puji Tuhan dan sebagainya.
Perbedaan yang cukup besar juga dapat dilihat pada ekspresi emosional atau rasa sayang. Wanita cen­derung menggunakan ekspresi: “Oh sayangku”, “Ya Allah”, “Adikku yang manis”, dan sebagainya, sedang­kan anak laki-laki cenderung menggunakan umpatan: “bedebah”, “sialan”, “Awas”, dan sebagainya. Bahkan anak-anak kelas satu sekolah dasar sudah menunjuk­kan adanya perbedaan tersebut. Namun, apabila anak laki-laki maupun anak perempuan sama-sama mem­per­oleh pendidikan agama yang kuat, baisanya umpat­an-umpatan itu tidak digunakan. Sebagai gantinya anak-anak akan terbiasa menggunakan kata-kata ”astagfirullah” (astaga), “Ya, Tuhan”, dan sebagainya.
Di dalan gaya bercerita, wanita cendrung menggu­nakan cara-cara tidak langsung dalam meminta perse­tujuan dan lebih banyak mendengarkan, sedangkan anak laki-laki cenderung memberitahu. Misalnya, “Adik ikut kakak ya, ibu tidak marah kan?” Pertanyaan “Ibu tidak marah kan?” secara langsung berarti “Boleh­lah?”. Wanita menganggap bahwa perannya dalam percakapan adalah sebagai fasilitator, sedangkan anak laki-laki sebagai pemberi informasi.
Anak laki-laki biasanya kurang banyak berbicara dan lebih banyak berbuat. Tindakan (kadang kekeras­an) dan percakapan digunakannya untuk berjuang agar tidak dikuasai oleh anak lain atau kelompok lain.
Anak perempuan biasa berpasangan dengan teman akrabnya, dan saling menceritakan rahasianya. Masalah-masalah pribadinya dikemukakan kepada teman­nya dan biasanya temannya juga menyetujuinya dan dapat memahami masalah tersebut.
c. Perkembangan Kemampuan Awal
Pada saat anak masuk sekolah dasar keragaman kemampuan anak masih menonjol. Keragaman tersebut berupa keragaman kemampuan berbahasa, keragaman pengetahuan dan pengalaman berbahasa ibu, maupun keragaman dalam berbahasa Indonesia. Di samping itu, ada keraganam pengalaman belajar anak karena ada anak yang berasal dari taman kanak-kanak dan ada yang bukan dari taman kanak-kanak.
Berdasarkan hal itu, maka guru tidak perlu terge­sa-gesa membelajarkan berbahasa Indonesia dengan meng­gunakan buku. Penggunaan buku bahasa Indo­nesia sebaiknya ditangguhkan hingga sekitar 4 sampai 10 minggu atau tergantung situasi setelah anak masuk sekolah. Hal ini dimaksudkan agar anak yang baru masuk sekolah tidak merasa dibebani. Selain itu pula suasana kelas dimanfaatkan untuk menciptakan homo­ginitas pengetahuan dan pengalaman anak yang semu­la heterogen. Pada saat-saat seperti ini, guru masih melan­jutkan suasana yang biasa didapatkan anak sema­sa di taman kanak-kanak, yaitu suasana bermain, menyanyi, dan sosialisasi. Bahkan aspek sosialisasi ini masih berlanjut sampai siswa duduk di kelas III seko­lah dasar. Dalam suasana sosialisasi ini, keterampilan menyimak dan berbicara perlu mendapatkan porsi yang besar dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Banyak hal yang harus disimak para siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Di dalam kelas mere­ka menyimak penjelasan guru, perintah guru, pen­dapat atau pembicaraan teman sebaya, dan sebagainya. Di luar kelas mereka menyimak nasihat, cerita, pengu­muman, siaran radio, televisi, percakapan teman, dan seba­gainya. Di samping menyimak, berbicara juga mendapat perhatian guru dalam masa awal sekolah dasar. Mereka perlu dituntun untuk dapat melahirkan buah pikiran, perasaan, dan kehendak dengan bahasa yang sederhana, sopan dan jelas dengan bahasa lisan yang baik. Kedua, keterampilan berbahasa lisan ini akan dibicarakan perkembangan menyimak dan ber­bicara terutama dari segi tujuan, bahan, metode pembe­lajarannya, dan rencana pembelajaran.
d. Kegiatan Menyimak Siswa Kelas-kelas Awal
1) Menyimak
Sebagian besar kegiatan berbahasa dalam pembe­la­jaran siswa kelas I adalah berupa menyimak. Misal­nya, sewaktu guru atau temannya bercerita, mem­ba­ca, atau mengungkapkan pendapatnya secara lisan dapat diperoleh melalui menyimak ini.
Guru hendaknya memberikan porsi kesempatan yang besar dan luas untuk kegiatan menyimak ini sehingga keterampilan menuturkan, membaca, dan menulis dapat berjalan dengan baik. Pada minggu per­tama ketika siswa duduk di kelas I, guru hen­daknya memperhatikan apakah pendengaran sis­wa­nya dalam keadaan baik atau tidak. Siswa yang alat pendengarannya kurang baik, sebaiknya ditem­patkan di bagian depan.
2) Tujuan menyimak
Tujuan menyimak dapat dirumuskan sebagai beri­kut:
a) Mendapatkan informasi, data, dan fakta
b) Membedakan bunyi-bunyi bahasa
c) Mendapat model lafal, tekanan kata, pemeng­galan kalimat, intonasi kalimat, dan pola dasar kali­mat yang baik
d) Memperlancar komunikasi
e) Menunjang keterampilan berbicara dan memba­ca.
3) Bahan pembelajaran menyimak
Seperti telah diutarakan di atas, bahwa bahan pem­be­lajaran bahasa menganut prinsip keterpaduan seca­ra tematis. Tema-tema bahan pembelajaran dapat disusun sendiri sesuai dengan lingkungan dan situasi sekolah, misalnya tema tentang keluar­ga, hiburan, pertanian, lalu lintas, pendidikan, kese­hatan, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, maka bahan pembelajaran menyimak dapat meli­puti semua aspek yang terdapat dalam pembe­la­jaran bahasa Indonesia, seperti membaca, kosakata, struktur, menulis, membaca, pragmatik, berbicara, apresiasi bahasa, dan sastra.
Membaca sebagai bahan pembelajaran menyimak, dapat dilaksanakan dengan cara mengubah dari waca­na tertulis menjadi wacana lisan (dibacakan oleh guru atau siswa). Para siswa menyimak dengan baik wacana yang dibacakan tersebut. Pada akhir pembelajaran, siswa diminta untuk menger­jakan tugas yang telah disiapkan guru.
Kosakata sebagai bahan pembelajaran menyimak, dimaksudkan untuk mengembangkan perben­da­haraan kata siswa. Siswa diarahkan untuk menge­nal, mengetahui makna, dan menggunakan kata baru yang disimaknya tersebut.
Struktur sebagai bahan pembelajaran menyimak, dimaksukan untuk mengembangkan untuk me­ngem­bangkan pengetahuan siswa mengenai fono­logi, morfologi, sintaksis, dan ejaan bahasa Indo­nesia yang baik.
Menulis sebagai bahan pembelajaran menyimak, untuk memberikan dasar-dasar bagaimana cara menu­lis yang baik dan benar. Siswa disuruh menyi­mak apa yang diucapkan guru atau teman, kemu­dian disuruh menulis apa yang disimaknya.
Pragmatik sebagai bahan pengajaran menyimak, dapat dilaksanakan dengan cara mendengarkan ucap­an-ucapan yang diungkapkan oleh teman/ guru (sapaan, pernyataan, pertanyaan, dsb.) kemu­dian siswa disuruh menirukan ungkapan yang baru saja disimaknya.
Apresiasi sastra sebagai bahan pembelajaran menyi­mak untuk menumbuhkan rasa keindahan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra.
Keterpaduan bahan pembelajaran tersebut dapat pula dilakukan dengan cara lintas bidang studi, misalnya dengan Pendidikan Kesenian, IPA, IPS, Matematika, dan sebagainya. Banyak materi yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dan melatih keterampilan menyimak dalam pembe­lajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas awal sekolah dasar.


4) Metode pembelajaran menyimak
Terdapat banyak metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran menyimak ini. Guru hendak­nya dapat memilih secara tepat metode mana yang akan dilaksanakan sesuai dengan yang dikuasainya. Suatu metode yang kurang dikuasai akan memba­wa dampak kurang tercapainya tujuan yang dite­tap­kan. Pada hakikatnya semua metode itu baik dan netral, tetapi hasilnya bisa berlainan tergantung pada guru yang menggunakannya. Beberapa ciri metode pembelajaran yang baik antara lain:
a) Menantang atau merangsang siswa untuk bela­jar
b) Mengaktifkan siswa dalam belajar
c) Mengembangkan kreativitas siswa, penampilan secara individu atau kelompok
d) Memudahkan siswa memahami materi pem­belajaran
e) Mengarahkan aktivitas belajar siswa ke arah tujuan
f) Mudah dipraktikkan, tidak menuntut peralatan yang rumit.
Ada sebelas metode dalam pembelajaran menyi­mak. Metode-metode tersebut sebagai berikut: (1) metode simak-ulang ucap; (2) simak-kerjakan; (3) simak-terka; (4) simak-tulis; (5) memperluas kalimat; (6) bisik berantai; (7) menjawab pertanyaan; (8) identifikasi tema/kata kunci/ kalimat topik; (9) menyelesaikan cerita; (10) parafrase; dan (11) merangkum. Metode-metode menyimak tersebut dapat dibicarakan lebih lanjut seperti di bawah ini.
a) Metode simak-ulang ucap
Metode ini biasanya digunakan dalam memper­kenal­kan bunyi bahasa dan cara mengucapkannya. Guru sebagai model membacakannya atau memutar rekaman bunyi bahasa tertentu, seperti fonem, kata, kalimat, kata mutiara, semboyan, puisi pendek dengan intonasi yang jelas dan tepat. Siswa meniru ucapan guru. Peniruan ini dapat dilakukan secara individual, kelompok atau klasikal.
Misalnya:
Guru : ini ibu
Siswa : ini ibu (menirukan ucapan guru)
Guru : i, n, i, i, b, u
Siswa : i, n, i, i, b, u
b) Metode Simak-Kerjakan
Metode ini dilaksanakan dengan cara guru meng­ungkapkan kalimat perintah, selanjutnya siswa me­nger­jakan perintah yang diucapkan guru.
Misalnya:
Guru : Toni, ambil dan tunjukkan kepada temanmu huruf /b/ !
Siswa : Mengambil dan menunjukkan huruf /b/ kepada temannya sesuai dengan perintah guru.
c) Metode Simak-Terka
Guru mempersiapkan deskripsi sesuatu benda tanpa menyebut namanya. Deskripsi tersebut dikomu­ni­kasikan kepada siswa, dan siswa mendengarkan dan menerka benda apa yang dimaksud oleh guru.
Misalnya:
Guru : Bentuknya bulat, kecil, panjang, serta lurus. Bagian depan dibuat runcing. Bisa untuk menu­lis.
Siswa : pensil
d) Metode Simak-Tulis
Metode simak-tulis dikenal sebagai “dikte/imlak”. Guru mempersiapkan bahan-bahan yang akan didik­tekan oleh guru.
Misalnya:
Guru : Tulislah kata/kalimat: “ini nana” !
Siswa : Mendengarkan dengan cermat, kemudian menu­lis, “ini nana”
e) Metode Memperluas Kalimat
Guru mengucapkan kalimat sederhana. Siswa meni­rukan ucapan guru. Guru mengucapkan kata atau kelom­pok kata. Siswa menirukan ucapan guru. Selan­jutnya siswa disuruh menghubungkan ucapan yang per­tama dan kedua sekaligus, sehingga menjadi kali­mat yang panjang.
Misalnya:
Guru : Kakak belajar
Siswa : Menirukan “Kakak belajar”
Guru : memerintah menyambungkan kalimat
Siswa : di kamar belajar
Guru : (memerintah menyambungkan kalimat)
Siswa : Kakak belajar di kamar belajar
f) Metode Bisik Berantai
Guru membisikkan kalimat kepada seorang siswa. Siswa tersebut membisikkan kalimat tersebut kepada siswa ketiga, dan seterusnya, sampai anak terakhir. Guru memeriksa apakah kalimat pesan tersebut sampai kepada siswa terakhir dengan benar.
Misalnya:
Guru : Ayah sudah pulang
Siswa 1 : Ayah sudah pulang
Siswa 2 : Ayah sudah pulang
Siswa 3 : ……………………..
Siswa 4 : ……………………..
Siswa terakhir : Ayah sudah pulang
Guru : Mengecek ucapan kalimat siswa terakhir
g) Metode Menjawab Pertanyaan
Guru memberikan suatu cerita sederhana dengan cara diceritakan secara lisan. Siswa menyimak cerita dengan seksama. Setelah selesai cerita, guru membe­srikan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan isi cerita. Contohnya: Silakan mencari sendiri.
h) Metode Identifikasi Tema/Kalimat Topik/Kata Kunci.
Model metode mengidentifikasi tema, kalimat topik, dan kata kunci ini pada prinsipnya sama. Perbe­daannya terletak pada materi yang harus diidentifikasi. Identifikasi tema, untuk sebuah wacana/cerita. Siswa disuruh menerka tema topik/judulnya atau kalimat topik, sebuah paragraf. Sedangkan kata kunci untuk sebuah kalimat.
Apabila hal ini belum dapat dilaksanakan, guru dapat melatih siswa dengan cara memberikan perta­nyaan-pertanyaan yang memancing ke arah pengiden­tifikasian yang tepat. Hal ini juga baik untuk mengem­bangkan diskusi kelas/kelompok, yang berarti pula memu­puk kerjasama antarsiswa. Untuk contoh, sila­kan Anda mencari cerita sederhana yang terdiri dari bebe­rapa paragraf. Selanjutnya, silakan ambil salah satu paragraf untuk didiskusikan kalimat topiknya. Beri­kutnya, ambil salah satu kalimat, kemudian tentu­kan ber­sama siswa kata kuncinya. “Ayah pulang dari kantor pukul 16.00”. Kata kunci kalimat tersebut adalah “Ayah – pulang”.
i) Metode Menyelesaikan cerita
Guru bercerita, siswa mengikuti cerita tersebut dengan seksama. Pencerita pertama (guru) berhenti, ceri­tanya baru sebagian. Cerita dilanjutkan oleh salah satu anak. Anak pencerita kedua tersebut, berhenti. Ceri­ta disuruh melanjutkan anak yang lain, dan sete­rus­nya, sampai cerita itu merupakan suatu keutuhan.
Cerita seperti ini seolah memaksa siswa untuk menyi­mak dengan teliti jalan ceritanya, sambil meng­hayati cerita tersebut. Mengapa? Karena siswa harus menyelesaikan cerita secara bergiliran.
Misalnya:
“Siti suka sekali makan rujak. Suatu hari, ketika hari masih pagi, Siti menguliti mangga mentah, nanas, jambu, dan sebagainya. Kemudian ia membuat sambal. Kemudian diaduknya buah-buahan tersebut dengan sambal. Seterusnya ia makan dengan lahapnya” (Ini cerita guru). Selanjutnya guru menyuruh salah satu siswa meneruskan cerita tersebut.


Siswa 1:
Siti terlalu banyak makan rujak. Tidak lama kemudian perutnya terasa sakit. Sebentar-sebentar terasa hendak ke belakang”. Guru menyuruh berhenti siswa ke-1 tersebut. Selanjutnya siswa kedua melanjutnya cerita­nya.
Siswa 2:
Ibunya mengetahui bahwa Siti sakit akibat makan rujak. Ibunya memarahi Siti, yang sudah berkali-kali diingatkan oleh ibunya, agar tidak terlalu banyak makan rujak. Guru menyuruh berhenti cerita anak kedua, dan menunjuk anak ketiga meneruskan cerita tersebut.
Siswa 3:
Siti dibawa ke Puskesmas, untuk mendapatkan pengo­batan dari dokter. Di sana Siti dinasihati oleh Bapak dokter agar tidak terlalu banyak makan rujak. Guru menyuruh berhenti cerita anak ketiga, dan menyuruh anak keempat untuk meneruskan cerita tersebut. Demi­kian seterusnya.
Hal ini akan membuat siswa merasa turut ber­gembira dapat bercerita kepada teman-teman sekelas­nya. Apabila anak tidak mau, guru hendaknya bisa memberikan dorongan yang membesarkan hati anak, sehingga ia mau bercerita di depan teman-teman seke­lasnya.
j) Metode Parafrasa
Parafrasa berarti alih bentuk. Dalam pembelajaran bahasa, parafrasa biasanya diwujudkan dalam peng­alihan bentuk dari puisi ke bentuk prosa atau sebalik­nya, yaitu memprosakan puisi. Kadang-kadang sebalik­nya.
Guru mempersiapkan puisi sederhana yang sekira­nya sesuai dengan siswanya. Puisi tersebut dibacakan kepada siswa dan siswa menyimak dengan seksama. Pembacaan puisi tersebut hendaknya dengan jeda yang jelas dan intonasi yang tepat. Setelah selesai, siswa disu­ruh menceritakan isi puisi dengan bahasanya sen­diri dalam bentuk prosa. Contoh: Silakan mencari sendiri.


k) Metode Merangkum
Merangkum berarti menyingkat atau meringkas bahan simakan. Dengan kata lain menyimpulkan bahan simakan secara singkat dan dengan kata-kata sendiri. Siswa mencari intisari bahan yang disimaknya. Bahan yang disimak sebaiknya wacana pendek dan seder­ha­na, sesuai dengan tingkat kematangan anak.
Berikut diberikan contoh perencanaan dan per­siap­an pembelajaran menyimak, serta kegiatan belajar-mengajarnya.

Pembelajaran Menyimak
1) Perencanaan dan Persiapan
Agar proses belajar mengajar berlangsung secara efektif diperlukan perencanaan dan persiapan pembe­lajaran yang matang antara lain:
(a) Melihat kurikulum (silabus) mata pelajaran
(b) Memilih sumber yang menarik minat siswa (buku, lingkungan)
(c) Menyiapkan alat bantu
(d) Menentukan keadaan kelas (klasikal, berkelompok, berpasangan, perorangan)
(e) Menentukan waktu
(f) Menyusun Rencana Pembelajaran (RP).
2) Kegiatan Belajar-Mengajar Menyimak
Agar kegiatan belajar-mengajar (KBM) menyimak tersebut merangsang minat siswa hendaknya guru mencip­ta­kan semua kegiatan belajar-mengajar yang menye­nang­kan siswa.
Contoh:
a) Kegiatan belajar-mengajar (Berbisik)
(1) Guru membisikkan kalimat pada seorang siswa (misalnya Ibu pergi ke Pasar Rebo)
(2) Siswa membisikkan lagi kepada seorang kawan di sam­pingnya.
(3) Secara estafet kalimat itu dibisikkan lagi kepada sis­wa yang lain
(4) Siswa yang paling akhir disuruh mengucapkan kalimat itu keras-keras
(5) Dan dapat bervariasi lainnya.
b) Kegiatan belajar-mengajar II (Mengikuti petunjuk)
(1) Siswa disuruh mempersiapkan sehelai kertas, guru menjelaskan kepada siswa bahwa ia telah meng­gam­bar sebuah rumah. Mereka disuruh meniru gam­bar itu dengan jalan mengikuti langkah-lang­kah menggambar yang disampaikan secara lisan.
(2) Gambarlah sebuah persegi panjang pada kertasmu!
(3) Gambarlah di dalam bangun itu bangun trapesium!
(4) Di tengah ada sebuah pintu
(5) Di kiri kanan pintu ada jendela
(6) Guru memerintahkan pada siswa membandingkan gambar.
c) Kegiatan belajar-mengajar III (Dikte)
(1) Guru menyiapkan kalimat-kalimat dari buku teks (buku pelajaran)
(2) Siswa menyiapkan kertas/pensil
(3) Siswa disuruh memperhatikan dan mendengarkan baik-baik
(4) Guru mengucapkan kalimat-kalimat dengan jelas
(5) Tiap kalimat hanya diucapkan satu kali kemudian siswa disuruh menulisnya
(6) Setelah selasi, pekerjaan siswa diperiksa guru.
e. Kegiatan Berbicara
Siswa kelas I sekolah dasar yang masih polos, sebe­narnya suka berbicara. Guru hendaknya meng­arah­­kan mereka ke hal-hal yang positif. Guru hen­dak­nya menjadi penyimak baik apabila seorang siswa sedang mengungkapkan perasaannya, mengajukan pen­dapatnya, gagasannya dan pesannya.
Apabila siswa yang bersangkutan berhasil dengan baik, berikan pujian agar yang bersangkutan bertambah semangat belajarnya. Di samping itu juga perlu diberi­kan dorongan atau semangat kepada siswa yang masih mengalami gangguan atau kesulitan berbicara.
Guru hendaknya mampu mengatasi hal-hal yang kurang tepat, misalnya, siswa suka menertawakan te­man­nya yang sedang berbicara. Apabila hal ini tidak dapat diatasi, dapat dibayangkan akibat yang kurang baik bagi siswa yang bersangkutan pada masa-masa yang akan datang.
1) Tujuan
Pembelajaran berbicara pada tahap-tahap awal sekolah dasar ini tentulah masih sangat bersahaja, tidak seperti mereka yang telah menduduki kelas yang lebih tinggi. Adapun tujuan pembelajaran berbicara di kelas-kelas awal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Belajar melahirkan buah pikiran dan perasaan sendiri dengan bahasa yang sederhana, sopan, dan jelas
(2) Melatih anak melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauannya dengan bahasa sederhana yang baik dan benar
(3) Siswa mampu mengungkapkan kata dengan lafal yang benar
(4) Siswa mampu mengucapkan atau mengatakan kalimat dengan intonasi yang wajar dan sesuai dengan konteksnya
(5) Siswa mampu berinteraksi dan menjalin hubung­an dengan orang lain secara lisan
(6) Siswa memiliki kepuasan dan kesenangan ber­bicara
2) Bahan Pembelajaran berbicara
Prinsip keterpaduan bahan pembelajaran ma­sih perlu memdapat perhatian dalam pembe­lajaran berbicara ini. Demikian pula pengemasan bahan pembelajaran berbicara yang bersifat tematis. Untuk itu setiap aspek dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas awal sekolah dasar ini hen­daknya mengacu kepada tema-tema yang telah dite­rapkan dalam kurikulum. Berbagai aspek bahan pembelajaran bahasa Indonesia yang dapat diman­faatkan dalam pembelajaran berbicara di antaranya membaca, kosakata, struktur, menulis, pragmatik, apresiasi sastra, dan sebagainya.
Penyampaian bahan dengan menggunakan prin­sip keterpaduan dengan maksud agar bahan pembelajaran bahasa Indonesia dapat dikaitkan anta­ra satu aspek dengan aspek yang lain. Demi­kian pula dalam keterpaduan pembelajaran tersebut juga mengaitkan bidang studi bahasa Indonesia dengan bidang studi lainnya, yang memiliki sang­kut paut dengan tema yang diajarkan.
Membaca sebagai bahan pembelajaran berbi­ca­ra, dapat dilaksanakan dengan cara bertumpu pada bahan bacaan sederhana, kemudian siswa diminta untuk menceritakan kembali isi bacaan tersebut. Pada tahap awal, sebelum siswa dapat membaca, hal itu dapat dilakukan oleh guru dan siswa menyi­mak, kemudian siswa disuruh untuk menyatakan kembali isi bacaan tersebut sesuai dengan hasil penyi­makan mereka.
Kosakata sebagai bahan pembelajaran berbicara, dapat dilaksanakan dengan cara bertumpu pada bahan bacaan sederhana di atas. Guru dapat meng­ambil beberapa kata yang terdapat dalam bacaan. Selanjutnya, siswa diminta untuk menyatakan arti­nya atau mencari kata lainnya, bahkan dapat kira­nya siswa mencari lawan kata dari kata yang dicari siswa tadi atau kata yang mendapat penekanan dari guru.
Struktur sebagai bahan pembelajaran berbicara, dapat dilakukan seperti pada metode struktural ana­li­sis sintesis (SAS). Mula-mula guru meng­ucap­kan sebuah kata atau beberapa buah kata, kemu­dian siswa diminta untuk menganalisis unsur-unsur dari kata tersebut. Misalnya, rangkaian kata “Bapak” dan “Tani”. Selanjutnya, masing-masing kata tersebut dapat diuraikan lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Berikutnya, siswa disu­ruh untuk membangun unsur-unsur tersebut men­jadi bangunan lain dengan menggunakan unsur-unsur yang tersedia.
Menulis sebagai bahan pembelajaran berbicara, dilaksanakan dengan cara guru menyuruh menulis pengalaman siswa. Bisa juga guru memperlihatkan serentetan gambar yang saling berkaitan kepada sis­wa. Guru meminta agar siswa menceritakan rang­kaian gambar tersebut dengan kata dan kalimat sendiri. Akhirnya siswa diminta untuk membaca atau mengkomunikasikan hasil tulisan tersebut kepa­da teman-teman sekelasnya.
Pragmatik sebagai bahan berbicara, dapat diam­bil dari pengalaman siswa sehari-hari. Beberapa anak disuruh bermain drama sederhana, bagaimana cara ia menyapa, meminta tolong, bertelepon, men­ja­wab pertanyaan sesuatu atau bacaan, dan seba­gainya. Kewajaran dan kesesuaian penggunaan baha­sa dengan konteks perlu mendapat perhatian di sini.
Apresiasi sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara, dapat dimanfaatkan karya-karya sastra sederhana. Siswa disuruh membawakan sajak-sajak sederhana di depan kelas. Selanjutnya, siswa me­main­kan drama sederhana secara berkelompok. Menceritakan kembali cerita-cerita sederhana yang dibacanya kemudian disuruh menanggapinya juga merupakan bahan apresiasi sastra.
3) Metode Pembelajaran Berbicara
Setelah bahan pembelajaran ditentukan dan dikem­bangkan maka bahan tersebut disampaikan kepada siswa dengan cara tertentu. Cara penyam­paian bahan tersebut biasa dikenal umum sebagai metode. Jika metode dikaitkan dengan pengalaman belajar yang telah dirancang menjadi kenyataan dalam pelaksanaan bahan belajar tertentu. Hal yang sama berlaku juga bagi pengajaran berbicara agar siswa dapat berlatih berbicara. Tanpa berlatih demi­kian tidak mungkin keterampilan berbicara dikua­sai oleh anak didik atau siswa.
Inti dari seluruh proses pendidikan, hasil akhir, dan seluruh rencana pendidikan letaknya dekat dengan cara guru mengajar yang sangat ber­pe­ngaruh kepada cara siswa belajar. Syarat minimal yang harus dipenuhi oleh guru keterampilan ber­bi­cara ialah penguasaan materi tentang keterampilan berbicara, serta dapat mengajarkannya kepada sis­wa. Cara pembelajaran keterampilan berbicara merupakan hal yang penting bagi seorang guru. Guru yang mengajarkan keterampilan berbicara. Hen­daknya jangan tenggelam dalam cara yang rutin monoton, dan tanpa bervariasi.
Metode pembelajaran berbicara yang baik sela­lu memenuhi berbagai kriteria. Berbagai kriteria yang harus dipenuhi oleh metode berbicara antara lain:
(1) Relevan dengan tujuan pembelajaran
(2) Memudahkan siswa untuk memahami materi pembelajaran
(3) Mengembangkan butir-butir keterampilan pro­ses
(4) Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang
(5) Merancang siswa untuk bisa belajar
(6) Mengembangkan penampilan siswa
(7) Tidak menuntut peralatan yang rumit
(8) Mengembangkan kreativitas siswa
(9) Mudah melaksanakan
(10)Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan (Djago Tarigan, 1990:280).

Berbagai metode pembelajaran berbicara dapat diikuti pada penjelasan berikut ini.
a) Metode ulang-ucap
Model ucapan adalah suara guru atau rekaman suara guru. Model ucapan guru yang diperdengarkan kepada siswa harus dipersiapkan dengan teliti. Materi diambil dari kurikulum/silabus yang relevan. Suara guru harus jelas, intonasinya tepat, dan kecepatan ber­bicara normal. Model ucapan diperdengarkan di maka kelas. Siswa menyimak dengan teliti, kemudian meng­ucapkan kembali sesuai dengan model guru. Materi pembelajaran dapat berupa kata, kalimat sederhana, atau ucapan puisi sederhana, dan sebagainya.
Misalnya:
Guru : “ini mama”
Siswa : “ini mama” (bisa ditirukan secara individual, kelompok, atau klasikal).
b) Metode lihat-ucap
Guru memperlihatkan gambar atau benda tertentu kemu­dian menyebut nama benda atau gambar ter­se­but. Benda atau gambar yang diperlihatkan atau dipilih guru harus cermat disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan siswa. Penunjukan gambar dapat dimak­sud­kan untuk mengganti benda yang sulit atau tidak mungkin dibawa ke dalam kelas.
Misalnya:
Guru : menunjukkan buah rambutan
Siswa : “ini rambutan”
Guru : memperlihatkan gambar kerbau
Siswa : “ini kerbau”
c) Metode memerikan
Memerikan berarti menjelaskan, menerangkan, melu­kiskan, tau mendeskripsikan sesuatu. Siswa disu­ruh memperhatikan sesuatu benda atau gambar, kesi­bukan lalu lintas, pemandangan atau gambar yang lain. selanjutnya, siswa diminta memerikan apa yang diper­lihatkan guru kepada mereka. Tentu saja pemberian ini sesuai dengan kemampuan dan tingkat keterampilan berbahasa siswa.
Misalnya:
Guru : memperlihatkan tiga anak bermain kelereng di halaman sekolah
Siswa : Ali, Tono, dan Joko bermain kelereng. Mereka bermain di halaman sekolah. Mereka bermain sebelum masuk kelas, dan seterusnya.
d) Metode menjawab pertanyaan
Siswa-siswa yang mengalami kesalahan, kesulitan, atau merasa malu untuk berbicara atau bercerita dapat dibimbing atau dipancing dengan pertanyaan guru, sehingga yang bersangkutan menjawab pertanyaan guru. Pertanyaan ini bisa bermacam-macam sesuai dengan tema yang sedang diajarkan.
Misalnya: Untuk memperkenalkan diri siswa, guru dapat mengajukan sejumlah pertanyaan kepada siswa yang bersangkutan mengenai: nama orang tuanya, ala­matnya, umurnya, jumlah keluarganya, dan seba­gai­nya.
e) Metode bertanya
Melalui pertanyaan siswa dapat menyatakan keingin­tahuannya terhadap segala sesuatu yang diingin­kan. Tingkat atau ragam pertanyaan yang diuta­rakan mengindikasikan tingkat kematangan dan kecer­dasan siswa. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang sis­te­matis siswa dapat menemukan apa yang diingin­kannya. Anak kecil yang belajar mengenai lingkungan­nya sering bertanya berbagai hal. Anak yang cerdas tidak hanya menamakan nama benda, tetapi menanya­kan pula berbagai hal tentang benda tersebut.
Misalnya: Pertanyaan berbagai hal tentang benda tersebut di antaranya mengenai gunanya, cara mem­buat­nya, di mana benda itu dijual, terbuat dari apa, dan sebagainya. Untuk contoh benda tersebut silakan Anda membuat sendiri.
f) Metode pertanyaan menggali
Salah satu cara agar siswa banyak dan terampil ber­bicara ialah dengan pertanyaan menggali. Jenis perta­nyaan ini merangsang siswa banyak berbicara. Per­tanyaan menggali juga dapat dimanfaatkan untuk menge­tahui keluasan dan kedalaman siswa terhadap suatu hal atau masalah.
Misalnya: Guru memperlihatkan sebuah tas kepada para siswa. Guru menanyakan sejumlah pertanyaan kepada siswa, sehubungan dengan tas tersebut, seperti namanya, gunanya, dibuat dari apa, bagaimana cara membuatnya, dan sebagainya.
g) Metode melanjutkan
Dua, tiga, atau empat siswa bersama-sama mem­buat cerita secara spontan. Boleh juga, kalau diperlu­kan, guru melibatkan diri dalam kegiatan ini. Salah satu siswa, bila perlu guru, memulai cerita kemudian dite­ruskan oleh siswa kedua, ketiga, dan seterusnya sam­pai cerita selesai. Pada akhir kegiatan, cerita dipe­rik­sa apakah jalan cerita sistematis, logis, dan ter­padu.
h) Metode menceritakan kembali
Guru mempersiapkan cerita atau bahan bacaan. Cerita tersebut dikomunikasikan kepada siswa, atau bacaan disuruh membaca siswa dengan seksama. Selan­jutnya, guru meminta siswa untuk menceritakan kem­bali isi cerita atau isi bacaan tersebut dengan kata-kata atau kalimat sendiri. Siswa yang lain diminta untuk menyimak bila temannya sedang bercerita. Kegiatan ini bisa dilaksanakan secara bergantian.
i) Metode percakapan
Percakapan atau dialog merupakan pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu masalah antara dua atau lebih pembicara (Greene & Patty dalam Djago tarigan 1990:200). Dalam dialog tersebut terkandung dua kegiatan, yaitu menyimak dan berbicara silih ber­ganti. Suasana dialog biasanya berjalan akrab, spontan, dan wajar. Topik dialog adalah hal yang diminati ber­sama. Topik dialog merupakan pengembangan kete­ram­pilan berbahasa, khususnya keterampilan berbi­cara.
j) Metode parafrasa.
Parafrasa merupakan alih bentuk, misalnya dari puisi ke prosa, atau sebaliknya. Dalam prakteknya, kegiatan memprosakan puisi ini lebih sering daripada mem­­puisi­kan prosa. Apabila seseorang siswa dapat mem­­pro­sakan puisi dengan baik berarti siswa yang ber­sang­kutan dapat mengapresiasi puisi tersebut dengan baik. Hasil apresiasi tersebut diungkapkan kem­bali dalam bentuk lisan berupa prosa. Tentu saja puisi yang dieks­presi disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Guru dapat membantu memba­cakan puisi dengan suara dan intonasi yang jelas dan tepat, dalam kece­patan yang normal.
k) Metode reka cerita gambar
Guru memperlihatkan sebuah gambar atau serang­kaian gambar. Siswa disuruh memperhatikan dan meng­hayati gambar atau serangkaian gambar tersebut dengan cermat dan mereka-reka dalam benaknya peris­tiwa atau cerita tentang gambar tersebut. Hasil cerita antara siswa yang satu dengan yang lain tentunya ber­beda, sesuai dengan kemampuan berpikir mereka. Guru hendaknya bersikap toleransi terhadap cerita sis­wa sepanjang masih berkaitan dengan gambar yang disajikan. Berilah pujian dan bimbingan seperlunya.
l) Metode bercerita
Kegiatan bercerita menuntun siswa ke arah per­kem­bangan yang baik. Lancar bercerita berarti lancar berbi­cara. Dalam bercerita siswa dilatih berbicara jelas, into­nasi tepat, urutan cerita sistematis, menguasai pen­de­­ngar/massa, dan berpenampilan menarik. Bahan ceri­ta dapat berupa pengalaman, kenangan, peristiwa yang dili­hat, dan sebagainya.
m) Metode memberi petunjuk
Memberi petunjuk adalah menjelaskan cara penger­­jaan sesuatu, arah, proses, tempat, dan sebagai­nya. Petun­juk harus jelas dan tepat. Hal ini akan terca­pai bila pemberi petunjuk terampil menggunakan baha­sa lisan. Dengan kata lain memberi petunjuk akan jelas bila dengan menggunakan berbicara. Siswa yang sering memberi petunjuk secara lisan akan terampil berbicara. Untuk itu guru hendaknya memberi kesempatan yang luas untuk memberi petunjuk, kepada para siswanya.
n) Metode melaporkan
Melaporkan berarti menyampaikan gambaran, lukis­an, atau peristiwa terjadinya sesuatu hal. Masalah yang dilaporkan dapat bermacam-macam atau berane­ka ragam. Misalnya: upacara bendera, pertandingan kas­ti, peresmian proyek, dan sebagainya. Melaporkan juga dapat berupa perjalanan, pembacaan buku. Bahasa lapor­an termasuk ragam jurnalistik yang singkat, jelas, sederhana, lugas, menarik, dan baku.
o) Metode wawancara
Wawancara atau interviu adalah percakapan da­lam bentuk tanya jawab. Pewawancara dapat seorang wartawan, mahasiswa, siswa, penyiar radio/ televisi, dan sebagainya. Orang yang diwawancarai adalah para ahli, tokoh, pakar, juara dalam bidangnya masing-masing. Dengan casar ini siswa dilatih untuk terampil berbicara.
q) Metode bermain peran
Dalam bermain peran siswa berlaku, bertindak, dan berbahasa seperti peran orang yang dibawakan­nya. Dari segi bahasa, siswa harus mengenal dan meng­gunakan ragam-ragam bahasa. Bermain peran dan dra­ma­tisasi memang mirip, tetapi keduanya berbeda. Demi­kian pula dengan bermain sosiodrama. Bermain peran lebih sederhana dalam segala hal daripada dra­matisasi dan sosiodrama.
r) Metode diskusi
Diskusi merupakan kegiatan dua atau lebih indi­vidu yang berinteraksi secara verbal dan tatap muka, mengenai tujuan yang sudah tertentu dengan cara tukar-menukar informasi untuk memecahkan masalah (Fim, 1964:4). Pada hakikatnya diskusi adalah bentuk percakapan dalam bentuk lanjut. Cara, isi, dan bobot pembicaraan lebih kompleks dan lebih tinggi dari per­cakapan biasa. Diskusi merupakan sarana yang baik untuk mengembangkan keterampilan berbicara.
s) Metode bertelepon
Bertelepon adalah percakapan dua arah/pribadi dalam jarak jauh. Berbicara dengan telepun mengguna­kan bahasa yang jelas, singkat, dan lugas. Faktor waktu harus diperhitungkan dalam peristiwa ini, sebab akan meng­ganggu orang lain dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, bertelepun hanya digu­nakan dalam hal-hal yang penting.
Misalnya: Berita mendadak, kebakaran, kecelaka­an, perampokan, dan sebagainya. Teknik bertelepun dapat dimanfaatkan sebagai teknik berbicara: singkat dan seperlunya.
t) Metode dramatisasi
Dramatisasi atau bermain drama adalah memen­taskan lakon atau sandiwara. Dramatisasi memerlukan skenario yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, guru dan siswa harus mempersiapkan nas­kah perlengkapan dan sebagainya sebelumnya. Seperti dinyatakan di atas, bahwa dramatisasi lebih kompleks dari bermain peran. Lewat dramatisasi siswa dilatih dalam bentuk bahasa lisan, yang berarti melatih ber­bicara.

Berikut diberikan contoh perencanaan dan persiapan pembe­lajaran berbicara, serta kegiatan belajar-mengajarnya.
Pembelajaran Berbicara
1) Perencanaan dan Persiapan
Agar proses belajar-mengajar berlangsung efektif, langkah-langkah persiapannya sebagai berikut:
a) Mempelajari kurikulum/silabus bahasa Indonesia sesuai dengan kelas yang diajarkan
b) Memcari sumber bahan pembelajaran, dari lingkungan nyata, buku sumber/paket, dan sebagainya
c) Menentukan bahan pembelajaran
d) Mengadakan alat peraga
e) Merencanakan organisasi kelas dalam bentuk jalur-jalur komunikasi antara siswa dan guru. Misalnya, peren­canaan waktu yang memadai dalam komunikasi antara guru, siswa dalam kelas.
f) Membuat persiapan mengajar atau rencana pembela­jaran untuk memudahkan guru dalam menciptakan proses belajar-mengajar yang baik dan teratur.
2) Kegiatan belajar-Mengajar Berbicara
a) Guru memasang gambar rumah berukuran besar di papan tulis
b) Guru membagikan lembaran tugas kepada masing-masing kelompok (guru-siswa) 10 menit
c) Siswa menjawab pertanyaan yang terdapat pada lem­baran tugas (siswa-siswa) 15 menit
d) Dengan menunjukkan gambar, siswa menjawab perta­nyaan:
(1) Bagaimana sebaiknya ruang belajar?
(2) Bagaimana sebaiknya ruang tamu?
(3) Bagaimana sebaiknya ruang tidur? Dan sebagainya (siswa-siswa)
(4) Bagaimana guru memulai cerita?
4. Perkembangan komunikasi tertulis awal
Pembelajaran membaca dan menulis merupakan bidang garapan yang penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Oleh karena itu kemampuan membaca dan menulis yang baik harus ditanamkan sejak dini. Untuk kelas-kelas awal sekolah dasar membaca dan menulis ini dikenal dengan membaca menulis permulaan yang biasa disingkat MMP.
Kemampuan membaca dan menulis menjadi dasar utama, tidak saja bagi pembelajaran bahasa Indonesia sen­diri, tetapi juga untuk keperluan pembelajaran bidang-bidang studi lainnya. Dengan berusaha membaca dan menulis, siswa akan memperoleh pengetahuan dan kete­ram­pilan yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan per­kembangan daya nalar, sosial, dan kreasinya. Mengingat pentingnya peranan membaca dan menulis tersebut untuk siswa, maka guru seharusnya berusaha meningkatkan pen­dekatan, metode, dan teknik pembelajaran membaca dan menulis permulaan (MMP).
Sesuai dengan perkembangan kejiwaan siswa kelas-kelas awal, pembelajaran membaca dan menulis permu­laan bertujuan agar siswa terampil membaca dan menulis sederhana. Di samping itu, juga bertujuan ingin mengem­bangkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperlukan siswa untuk menghadapi pelajaran di kelas-kelas tinggi baik pada pembelajaran bahasa Indonesia mau­pun pembelajaran bidang studi yang lain. untuk itu, prinsip keterpaduan dalam pembelajaran sangat diper­lukan. Adanya perluasan mata pelajaran membawa kon­sekuensi munculnya istilah dan ungkapan-ungkapan baru sangat diperlukan pengetahuan dan keterampilan bahasa yang memadai.
Pada dasarnya membelajarkan membaca dan menulis permulaan itu adalah memberi bekal pengetahuan dan keterampilan kepada siswa untuk menguasai teknik-teknik membaca dan menangkap isi bacaan dengan baik dan dapat menuliskannya dengan baik dan benar.
Pada tahap awal, pembelajaran komunikasi tertulis, yaitu membaca dan menulis dibedakan menjadi dua macam, yaitu membaca permulaan dan menulis permu­laan yang diajarkan di kelas-kelas awal (kelas I dan II) seko­lah dasar serta membaca dan menulis lanjut diajarkan dikelas-kelas tinggi (Kelas III, IV, V, dan VI) sekolah dasar. Membaca dan menulis permulaan di kelas I sekolah dasar dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, membaca dan menulis permulaan tanpa buku yang diberikan ber­kisar antara 4 sampai 10 minggu. Waktu 4 sampai 10 ming­gu tersebut bergantung pada situasi dan kondisi siswa. Mungkin siswa kelas I tersebut berasal dari bukan taman kanak-kanak atau sebaliknya, atau sebagian besar berasal dari taman kanak-kanak, dan sebagainya, semakin singkat waktu membaca dan menulis tanpa buku akan semakin baik, sehingga sisa waktu semester pertama dapat diper­gunakan untuk pembelajaran komunikasi tulis, yaitu pem­belajaran dengan buku.
5. Perkembangan Membaca dan Menulis
a. Perkembangan membaca
Kemampuan awal dalam membaca mungkin diper­oleh lewat interaksi sosial, yaitu lewat hubungan antarsesama, bukan lewat pembelajaran secara formal. Dalam kegiatan membacakan suatu cerita anak yang dila­kukan oleh nenek, kelihatan sekali baik nenek mau­pun anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Nenek menggunakan berbagai teknik agar anak memusatkan perhatian bahkan mau mengajukan pertanyaan, dan mendorong agar anak mencoba membaca sendiri.
Guru atau orang tua sebaiknya memperkenalkan buku-buku cerita kepada anak-anak sedini mungkin. Pada mulanya memang anak hanya memperhatikan hal-hal yang dilihatnya menarik saja, misalnya, gam­bar-gambar cerita yang beraneka warna yang ada dalam buku tersebut. Namun, apabila orang tua kadang-kadang membacakan cerita yang ada di sam­ping gambar-gambar tersebut, hal itu secara tidak lang­sung mengajarkan kepada anak tentang susunan atau urutan ceritanya.
Acara-acara televisi ada yang bermanfaat untuk pengembangan kemampuan baca tulis (literasi) anak. Lewat kegiatan-kegiatan acara televisi misalnya, acara “Sesame street” tersebut anak-anak secara tidak lang­sung mempelajari urutan tulisan-tulisan yang mengan­dung informasi yang mereka peroleh.
Ada beberapa tahapan (fase) perkembangan mem­ba­ca. Tahap pramembaca, yang terjadi pada saat di taman kanak-kanak (praekolah) atau sebelum umur 6 tahun, anak-anak mempelajari perbedaan huruf dan per­bedaan angka yang satu dengan yang lainnya, sehing­ga kemudian mereka dapat mengenal setiap huruf dan setiap angka. Kebanyakan anak dapat menge­nal nama mereka jika ditulis. Biasanya, dengan belajar lewat lingkungan misalnya, tanda-tanda dan nama benda yang dilihatnya, kata-kata yang dikenal­nya sedikit-demi sedikit akan lepas dari konteksnya sehingga akhirnya anak dapat mengenal kata-kata ter­sebut dalam bentuk tulisan.
Pada tahap pertama, yaitu anak berumur 6-7 tahun (kira-kira kelas I sekolah dasar), anak memusatkan pada kata-kata lepas dalam kalimat sederhana atau ceri­ta sederhana. Agar mereka dapat membaca, mereka perlu mengetahui sistem tulisan, cara mencapai kelan­caran membaca, terbebas dari kesalahan membaca. Untuk itu mereka harus dapat mengintegrasikan bunyi dan sistem tulisan. Selanjutnya, pada umur berikutnya (7-8 tahun) anak telah memperoleh pengetahuan ten­tang huruf, suku kata, kata yang diperlukan untuk mem­baca. Pengetahuan ini kebanyakan negara banya yang diperoleh di sekolah.
Pada tahap kedua, sekitar anak duduk di kelas tiga dan empat, mereka dapat menganalisis kata-kata yang diketahuinya menggunakan pola tulisan dan kesim­pulan yang didasarkan konteksnya.
Tahap ketiga, siktar anak kelas lima sekolah dasar sampai kelas dua SMP tampak adanya perkembangan pesat dalam membaca yaitu tekanan membaca tidak lagi pada pengenalan tulisan tetapi pada pemahaman.
Tahap keempat, yakni akhir SMP sampai dengan SMA/SMK. Mereka menggunakan keterampilan ting­kat tinggi, misalnya, penyimpulan dan pengenalan pandangan penulis untuk meningkatkan pemahaman.
Akhirnya, tahap kelima, tingkat perguruan tinggi dan seterusnya, orang dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dengan pengetahuan yang dimilikinya dan menanggapi secara kritis bahan bacaan (Owens, 1992 : 400-401).
b. Perkembangan menulis
Pada umumnya antara perkembangan membaca dan perkembangan menulis itu sejalan. Artinya, kedua per­kembangan tersebut sejalan dan sejajar, karena bisa­nya kegiatan membaca itu dibarengi dengan kegiatan menulis. Dengan kata lain biasanya penulis yang baik ada­lah pembaca yang baik atau sebaliknya. Proses menu­lis dekat dengan menggambar, karena keduanya mewakili simbol tertentu. Namun, menulis berbeda dengan menggambar, dan hal ini diketahui oleh anak ketika berumur sekitar tiga tahun (Gibson dan Lewin dalam Owens, 1992:403).
Pada awalnya, anak mulai dengan menggambar, kemu­dian menulis dengan membuat corat-coret tak ber­aturan (cakar ayam), barulah membuat bentuk-ben­tuk huruf. Kata-kata yang dikenalnya dengan baik, ter­masuk nama dirinya menolong anak belajar mengenal huruf yang berbeda melambangkan bunyi-bunyi yang berbeda.
Bunyi-bunyi dalam nama huruf dicocokkan dengan bunyi yang didengarnya. Pada mulanya anak hanya memperhatikan huruf pertama pada setiap kata, huruf-huruf lain dalam setiap kata kurang mendapat perhatian anak. Hal ini sama dengan huruf tahap awal membaca, anak juga hanya memperhatikan huruf per­tama. Berdasarkan hal ini, apabila anak dihadapkan pada cerita yang ditulis dengan menggunakan huruf yang besar ukurannya pada setiap awal kata pertama setiap paragraf, mereka akan akan mudah mengenal huruf yang satu dengan yang lainnya. Anak-anak seolah menulis suku kata, tanpa vokal dan juga tanpa antara. Misalnya, kata “mata” ditulis “mt” atau “sepa­tu” ditulis “spt”, dan sebagainya. Dengan bimbingan guru anak-anak dapat mengenal sistem atau aturan tulis­an yang berlaku.
Efek samping dari hal di atas, banyak kesalahan ejaan yang terjadi di kelas-kelas rendah sekolah dasar yang bersifat fonologis, yakni berupa penghilangan, peng­gantian, atau penambahan fonem khususnya pada bunyi klaster, dan penggantian bunyi berdasarkan per­samaan fonologis (misalnya, kata lari diganti tari). Mung­kin ada kesamaan dalam hal kesalahan ejaan dan ucapan anak-anak.
Menulis tidak hanya melibatkan ejaan, melainkan menulis itu pekerjaan yang kompleks anak-anak yang baru belajar menulis sering lupa akan kebutuhan mem­baca. Anak berumur enam tahun kurang sekali mem­per­hatikan format, jarak tulisan ejaan, dan tanda baca. Apabila salah satu segi diutamakan, segi lainnya mem­bu­ruk. Misalnya, pergantian menulis huruf ke huruf cetak, dan sebagainya, ejaan dan struktur kalimat banyak yang salah.
Anak-anak kelas I dan II sekolah dasar belum mem­­perhatikan pembaca, masih bersifat egosentrik. Baru sekitar kira-kira di kelas 4, mereka terjadi peru­bahan. Mereka mulai memperhatikan reaksi pembaca. Mereka mulai merevisi (memperbaiki) dan menyunting tulisannya *Bertlet dalam Owens, 1992:406). Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan sintaktik (unsur kata dalam kalimat) yang mereka kuasai. Pada umumnya periode usia sekolah terjadi perkembangan kemam­puan menggunakan kalimat dengan lengkap baik seca­ra lisan maupun tertulis. Terjadi pula peningkatan peng­gunaan klausa dan frasa yang kompleks serta peng­gunaan kalimat yang bervariasi. Dengan demi­kian, pada usia sekolah ini merupakan masa usia yang sebaik-baiknya dalam perkembangan kemampuan meng­gunakan kalimat secara lengkap baik secara lisan maupun tertulis.

B. Pemerolehan Bahasa
1. Hakikat Pemerolehan Bahasa
Pada bagian ini, yang dimaksudkan dengan pemer­oleh­an bahasa adalah bahasa Indonesia yang bagi keba­nyakan anak Indonesia merupakan bahasa kedua. Biasa­nya tekanan pemerolehan bahasa adalah pada sifat formal bimbingan yang diterima oleh anak. Bimbingan formal ini biasa­nya diartikan pembelajaran di sekolah. Pengertian per­kembangan bahasa dan pemerolehan bahasa tidak mudah dibedakan secara tegas. Hal ini mengingat bahwa dalam proses perkembangan bahasa yang sifatnya alami itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari ling­kungan sosialnya.
Freeman dan Long (1991:299) menyatakan pemer­olehan bahasa lewat pembelajaran maupun yang secara alami memiliki proses dan urutan yang sama. Upayakan pengalaman belajar bahasa yang alami di sekolah dan meng­hilangkan penilaian struktural yang difokuskan pada pembetulan kesalahan bentuk bahasa.
Pengajaran bahasa di sekolah hendaknya diusahakan secara alami, tidak difokuskan pada penilaian kaidah baha­sa. Untuk dapat belajar bahasa diperlukan kesiapan psiko­linguistik. Untuk itu anak-anak hendaknya memperoleh kesem­patan paling tidak mendengar penggunaan bahasa Indonesia di rumah. Sekolah sedapat mungkin menyedia­kan bacaan sebanyak-banyaknya. Dengan menggunakan konteks-konteks berbahasa yang sesungguhnya.

2. Pengaruh Pembelajaran pada Pemerolehan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian Prinemann (1984) dalam Freeman dan Long (1991 terhadap anak-anak Italia ber­umur antara 7-9 tahun yang belajar dengan bahasa Jerman menunjukkan bahwa para murid hanya dapat belajar dari pembelajaran bahasa kedua jika mereka “siap” secara psiko­linguistik. Demikian juga hasil penelitiannya terha­dap pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.
Hal di atas, apabila dianalogikan dengan pembelajar­an bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, maka untuk dapat belajar bahasa Indonesia dengan baik, anak-anak hendak­nya juga memiliki kesiapan psikolinguistik. Untuk itu, anak-anak hendaknya memperoleh kesempatan untuk paling tidak mendengar penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarganya. Lebih bagus lagi kalau di ling­kungan keluarga cukup tersedia koran, majalah, dan buku-buku dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebu­tuhan anak. Mudah-mudahan kondisi seperti ini semakin merata di seluruh Indonesia di lingkungan keluarganya.
Kenyataan yang ada bahwa pada saat ini di daerah terpencil masih banyak orang tua keluarga yang belum berbudaya baca bahkan fasilitas untuk membaca juga belum banyak tersedia, sekolah sedapat mungkin menye­diakan sebanyak-banyaknya bacaan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Masalah ini antara lain, dapat di atasi lewat kerjasama dengan organisasi sosial, misalnya Bazis, LSM, dan sebagainya. Demikian juga minat dan keteram­pilan membaca anak-anak harus dikembangkan terus-mene­rus melalui tugas-tugas membaca secara individual dan kelompok.
3. Pengaruh Pembelajaran pada Proses Pemerolehan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wode (1981 dalam Damiyati dan Budiasih (2001:26) menun­­­jukkan bahwa ada kesamaan yang terjadi secara ala­mi. Penelitian lain yang hasilnya memberikan sugesti dengan dorongan pada guru-guru ialah dilaksanakan oleh Pica (1982). Pica membedakan tiga konteks pemerolehan bahasa, yaitu alami, konteks pembelajaran, dan campuran. Yang terakhir ini ialah kelompok yang memperoleh pem­belajaran bahasa kedua di kelas yang juga secara alami berhadapan dengan lingkungan yang menggunakan baha­sa kedua yang dipelajarai. Hasilnya mendukung hasil pene­litian sebelumnya, yakni menunjukkan adanya kore­lasi yang tinggi antara nilai membuat urutan morfem oleh pembelajar bahasa kedua dalam ketiga konteks tersebut.
Manfaat yang dapat ditarik dari hasil penelitian terse­but dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah., khu­sus­nya bagi anak-anak di kelas rendah sekolah dasar ialah bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tentu juga mempunyai pengaruh yang paling besar dalam pemer­­olehan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kondisi yang sebaik-baiknya perlu diupayakan agar anak-anak mem­­per­oleh pengalaman berbahasa sebayak-banyaknya dengan memperhatikan kaidah bahasa yang berlaku. Namun, jangan sampai pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah menekankan pada penggunaan kaidah semata. Pemer­olehan bahasa yang mendekati pemerolehan bahasa yang alami perlu diusahakan. Caranya dengan menggu­nakan konteks-konteks berbahasa yang sebenarnya, yang dekat dengan kehidupan anak. Mialnya, banyak dimun­culkan topik-topik “membantu ayah dan ibu” , “Mengasuh adik”, “bermain bola”, dan sebagainya.
4. Pengaruh Pembelajaran pada Kecepatan Pemerolehan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian Long (1983) dalam Darmi­yati dan Budiasih (2001:28), mengkaji sebelas hasil pene­litian tentang capaian belajar bahasa kedua, yang meng­gunakan tiga kelompok belajar yaitu memperoleh pem­belajaran saja, yang memperoleh pembelajaran dan juga berada dalam lingkungan yang menggunakan bahasa yang dipelajari, dan yang memperoleh bahasa secara alami tanpa pembelajaran di sekolah. Ia menemukan hasil pene­litian bahwa anak-anak yang menerima pembelajaran baha­sa di sekolah mengalami perkembangan pemerolehan bahasa lebih cepat.



Rangkuman
Pada saat anak masuk sekolah dasar, mereka telah mempu­nyai bekal berbahasa. Namun, bekal mereka tersebut beraneka ragam dan keragaman kemampuan anak tersebut amat menonjol. Keragaman tersebut berupa keragaman kemampuan berbahasa, keragaman pengetahuan dan pengalaman berbahasa ibu, maupun keragaman dalam berbahasa Indonesia. Di samping itu, ada kera­gaman pengalaman belajar anak karena ada anak yang berasal dari taman kanak-kanak dan ada yang bukan dari taman kanak-kanak. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain, keada­an keluarga, sosial ekonomi, lingkungan anak, keluasan pergaulan anak, dan sebagainya. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran keterampilan berbahasa.
Perkembangan berbahasa anak berjalan secara bertahap dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Belajar berbahasa lisan adalah belajar menyimak dan berbicara. Kedua keterampilan ini menjadi dasar belajar keterampilan berbahasa yang lain. Untuk itu, pembelajarannya harus bertitik tolak pada pemikiran: hakikat bahasa Indonesia, ragam bahasa Indonesia, hakikat pengajaran bahasa Indonesia, fungsi komunikasi, kreartivitas siswa, dan keber­maknaan bahan pembelajaran.
Pembelajaran bahasa lisan hendaknya memperhatikan ram­bu-rambu: pengorganisasian materi, pendekatan, penempat pusat­an siswa, keterpaduan bahan, dan pembelajaran sastra.
Perkembangan awal komunikasi anak bermula dengan menyi­mak dan berbicara. Untuk itu, keduanya harus diajarkan kepada siswa dengan sungguh-sungguh oleh guru. Pembelajaran hendaknya dilaksanakan secara terpadu dan memacu pada tema-tema yang terdapat di dalam kurikulum, serta sesuai dengan ting­kat perkembangan anak. Keterpaduan bahan simakan dan pembe­lajaran meliputi berbagai aspek kebahasaan, yaitu membaca, kosa­kata, struktur, menulis, pragmatik, serta apresiasi sastra. Keter­paduan dan tema pembelajaran hendaknya dikaitkan dengan mata pelajaran lain yang diajarkan di sekolah dasar.
Pada tahap usia sekolah, perkembangan semantik dan prag­matik berkembang pesat. Anak-anak memahami bentuk-bentuk baru dan belajar menggunakannya.
Anak laki-laki dan perempuan berbeda perkembangan baha­sanya dalam hal penggunaan kosakata dan gaya bercerita. Perkembangan kosakata berlangsung secara horizontal dan verti­kal. Perkembangan bahasa figuratif yang dialami anak memung­kinkan menggunakan bahasa secara kreatif. Perkembangan tahap pramembaca, terjadi sebelum anak berumur 6 tahun (masa prase­kolah), anak-anak mempelajari huruf dan perbedaan angka. Pada perkembangan membaca berlangsung dalam lima tahap (fase). Tahap ke-1, memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata sederhana. Tahap ke-2, dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahui. Tahap ke-3, tekanan membaca dan pema­haman. Tahap ke-4, dapat menyimpulkan dan mengenal pan­dangan penulis. Akhirnya, tahap ke-5, dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dan menanggapi bahan bacaan secara kritis. Perkembangan menulis mulai dengan menggambar, kemudian menulis “cakar ayam”, baru membuat bentuk-bentuk huruf. Kesalahan ejaan maupun ucapan biasanya berupa pengurangan klaster dan penggantian bunyi berdasarkan fonologis.
Pemerolehan bahasa lewat pembelajaran maupun yang secara alami memiliki proses dan urutan sama. Pemerolehan bahasa adalah bahasa Indonesia yang bagi kebanyakan anak Indonesia merupakan bahasa kedua. Biasanya tekanan pemerolehan bahasa adalah pada sifat formal bimbingan yang diterima oleh anak. Bimbingan formal ini biasanya diartikan pembelajaran di sekolah. Pengertian perkembangan bahasa dan pemerolehan bahasa tidak mudah dibedakan secara tegas. Hal ini mengingat bahwa dalam proses perkembangan bahasa yang sifatnya alami itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari lingkungan sosialnya. Pengajaran bahasa di sekolah hendaknya diusahakan secara alami, tidak difokuskan pada penilaian kaidah bahasa. Untuk dapat belajar bahasa diperlukan kesiapan psikolinguistik. Untuk itu anak-anak hendaknya memperoleh kesempatan paling tidak men­dengar penggunaan bahasa Indonesia di rumah. Sekolah sedapat mungkin menyediakan bacaan sebanyak-banyaknya. Dengan meng­gunakan konteks-konteks berbahasa yang sesungguhnya











BAB II
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA

Tugas utama dan pertama seorang guru adalah mengajar. Untuk melaksanakan tugas tersebut, guru memerlukan pedoman yang dijadikan dasar pegangan agar apa yang dilakukannya sesuai dengan kebijakan pemerintah, dalam hal ini kebijakan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan di dalam proses belajar mengajar, pegangan guru yang utama ialah kurikulum.
Kurikulum disusun berdasarkan suatu pendekatan yang dilandasi pandangan atau filsafat tertentu. Apabila pandangan atau filsafat tertentu berubah, pendekatan berubah, maka kuri­kulum pun akan berubah; dan ini berarti pedoman proses belajar mengajar juga berubah.
Perubahan kurikulum dilakukan untuk menyesuaikan pro­gram pendidikan dengan kebutuhan masyarakat serta mening­katkan mutu pendidikan. Dalam beberapa dasawarsa ini, telah ter­jadi beberapa kali perubahan pendekatan dalam dunia pembe­lajaran, termasuk di dalamnya dunia pembelajaran bahasa. Salah satu perkembangan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa ialah munculnya pendekatan yang dilandasi oleh filsafat pendidikan baha­sa terpadu. Dengan muculnya pendekatan tersebut, maka ber­tambahlah khasanah dalam dunia pendidikan khususnya dalam masalah pembelajaran bahasa.
Dalam beberapa dasawarsa ini telah terjadi beberapa kali peru­bahan kurikulum sebagai akibat adanya perubahan pan­dang­an atau filsafat tertentu, dan perubahan pendekatan pembelajaran. Hal seperti itu terjadi pula pada bidang studi bahasa, termasuk bidang bahasa Indonesia sehingga kita mengenal beberapa macam pendekatan, seperti pendekatan tujuan, pendekatan struktur, pen­dekatan komunikatif, pendekatan pragmatik, dan pendekatan ter­padu.
Berkaitan dengan masalah tersebut, pada bab ini dibicarakan masalah pendekatan dalam pembelajaran bahasa, yang mencakup (1) pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran, (2) beberapa pendekatan dalam pembelajaran bahasa, (3) pendekatan komuni­katif, (4) pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa, dan (5) pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa Indonesia

A. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
1. Pendekatan
Sebenarnya istilah pendekatan, metode, dan teknik mem­punyai makna yang berbeda, walaupun dalam pene­rapannya ketiga-tiganya saling berkaitan. Tentang hal ini, Sabarti (1997) mengutip pendapat Anthony yang mengata­kan bahwa pendekatan ini mengacu pada seperangkat asum­si yang saling berkaitan, dan berhubungan dengan sifat bahasa, serta pengajaran bahasa. Pendekatan meru­pakan dasar teoretis untuk suatu metode. Asumsi tentang baha­sa bermacam-macam, antara lain asumsi yang meng­anggap bahasa sebagai kebiasaan; ada pula yang meng­anggap bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan ada lagi yang menganggap baha­sa sebagai seperangkat kaidah.
Asumsi-asumsi tersebut menimbulkan adanya pende­katan-pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan yang mendasari pendapat bahwa: (10 belajar berbahasa, berarti berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Tekanannya pada pembiasaan; (2) belajar bahasa berarti berusaha memperoleh kemampuan berko­munikasi secara lisan. Tekanan pembelajarannya pada pemer­olehan kemampuan berbicara; dan (3) dalam pem­belajaran bahasa, yang harus diutamakan ialah pemaham­an akan kaidah-kaidah yang mendasari ujaran, tekanan pembelajaran pada aspek kognitif bahasa, bukan pada kemam­puan menggunakan bahasa.

2. Metode
Metode pembelajaran bahasa ialah rencana pembe­lajaran bahasa, yang mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang akan diajarkan, serta kemungkinan pengadaan remidi dan bagaimana pengembangannya. Bahan ajar disusun secara sistematis agar mudah diserap dan dikuasai oleh anak. Semuanya didasarkan pada pendekatan yang dianut. Melihat hal itu, jelas bahwa suatu metode ditentukan berdasarkan pen­dekatan yang dianut; dengan kata lain pendekatan meru­pa­kan dasar penentu metode yang digunakan.
Metode, mencakup pemilihan dan penentuan bahan ajar, penyusunan serta kemungkinan pengadaan remediasi dan pengembangan bahan ajar tersebut. Dalam hal ini, setelah guru menetapkan tujuan yang hendak dicapai, ia mulai memilih bahan ajar yang sesuai dengan bahan ajar tersebut. Bahan ajar tersebut disusun menurut urutan ting­katan kesukaran, yakni yang mudah berlanjut pada yang lebih sukar. Di samping itu, guru merencanakan pula cara mengevaluasi, mengadakan remidi serta mengembangkan bahan ajar tersebut.
3. Teknik Pembelajaran
Teknik pembelajaran merupakan cara guru menyam­paikan bahan ajar yang sudah disusun (dalam metode), berdasarkan pendekatan yang dianut. Teknik yang digu­nakan oleh guru bergantung pada kemampuan guru itu mencari akal atau siasat agar proses belajar mengajar dapat berjalan lancar dan berhasil dengan baik. Dalam menen­tukan teknik pembelajaran ini, guru perlu mempertim­bang­kan situasi kelas, lingkungan, kondisi siswa, sifat-sifat siswa, dan kondisi-kondisi yang lain. Dengan demikian, tek­nik pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat ber­variasi sekali. Untuk metode yang sama, dapat digunakan teknik pembelajaran yang berbeda-beda, bergantung pada berbagai faktor tersebut.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa teknik pembelajaran adalah siasat yang dilakukan oleh guru dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, untuk dapat mem­peroleh hasil yang optimal. Teknik pembelajaran diten­tukan berdasarkan metode yang digunakan, dan meto­de disusun berdasarkan pendekatan yang dianut. Dengan kata lain, pendekatan menjadi dasar penentuan teknik pembelajaran. Dari suatu pendekatan dapat dite­rapkan teknik pembelajaran yang berbeda-beda pula.

B. Beberapa Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Pendekatan yang telah lama diterapkan dalam pembe­l­ajaran bahasa, antara lain ialah pendekatan tujuan dan pen­dekatan struktural. Kemudian menyusul pendekatan-pende­katan yang dipandang lebih sesuai dengan hakikat dan fungsi bahasa, yakni pendekatan komunikatif dan pendekatan ter­padu.
1. Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan belajar mengajar, yang harus dipikir­kan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan hendak dica­pai. Dengan memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan itu, dapat ditentukan metode yang akan digunakan dan teknik pengajaran yang diterapkan agar tujuan pem­bel­ajaran tersebut dapat tercapai. Jadi, proses belajar mengajar ditentukan oleh tujuan yang telah diterapkan, untuk men­ca­pai tujuan itu sendiri.
Kurikulum 1975 merupakan kurikulum yang ber­orien­­tasi pada pendekatan tujuan. Sejalan dengan hal itu maka bidang-bidang studi pun orientasinya pada pen­dekatan tujuan; demikian pula bidang bahasa. Oleh karena orientasinya pada tujuan, maka pembelajarannya pun dite­kankan pada tercapainya tujuan.
2. Pendekatan Struktural
Pendekatan structural merupakan salah satu pende­katan dalam pembelajaran bahasa, yang dilandasi oleh asum­si yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kai­dah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bah­wa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasa­an kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Oleh sebab itu pem­belajaran perlu dititikberatkan pada pengetahuan ten­tang struktur bahasa yang tercakup dalam fonologi, mor­fologi, dan sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, dan suku kata menjadi sangat penting. Jelas aspek kognitif bahasa diutamakan.
Di samping kelemahan, pendekatan ini juga memiliki kelebihan. Dengan pendekatan struktural, siswa akan men­ja­di cermat dalam menyusun kalimat karena mereka mema­hami kaidah-kaidahnya. Misalnya saja, mereka mung­­kin tidak akan membuat kesalahan seperti kaliamat ini: “Bajunya Tuti basah kuyup”. Atau “Mereka baru jalan-jalan di kota itu”

C. Pendekatan Komunikatif dan Pendekatan Terpadu
1. Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh pemikiran bahwa kemampuan mengguna­kan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Tampak bahwa bahasa tidak dipandang sebagai seperangkat kaidah, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana untuk berkomunikasi. Ini berarti, bahasa ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yakni fungsi komunikatif. Berdasarkan pemikiran bahwa pen­dekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang lebih luas tentang bahasa dan pembelajaran bahasa.
Dalam kegiatan belajar mengajar, kepada siswa diberi­kan latihan, antara lain :
a) Memberi informasi secara terbatas
Contoh:
(1) Mengidentifikasi gambar
(2) Menemukan atau mencari pasangan yang cocok
(3) Menemukan informsi yang ditiadakan
b) Memberikan informasi tanpa dibatasi bebas (tak bebas)
Contoh:
(1) Mengkomunikasikan contoh dan gambar
(2) Menemukan perbedaan
(3) Menyusun kembali bagian-bagian cerita
c) Mengumpulkan informasi untuk memecahkan masalah
d) Menyusun informasi

Contoh:
Kelas sebagai konteks sosal yaitu anak diajak diskusi atau diadakan simulasi dan bermain peran. Permainan peran ini tidak selalu dalam bentuk akting, tetapi dapat juga dalam bentuk debat.
2. Pendekatan Terpadu dalam Pembelajaran Bahasa
Dalam mencapai tujuan pembelajaran, komponen-komponen yang perlu diajarkan kepada anak mencakup: (1) lafal, intonasi, ejaan, dan tanda baca, (2) struktur, dan (3) kata. Dalam penyajiannya ketiga komponen tersebut dike­mas dalam tema-tema yang telah digariskan dan dira­mu dengan butir-butir pembelajaran menjadi jelas, serta ter­padu dengan bidang-bidang lain
Dalam kenyataan, penggunaan bahasa di dalam kehi­dupan sehari-hari, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi tidak formal, tiap-tiap aspek itu tidak pernah berdiri sendiri Misalnya saja kita membaca. Pada waktu kita membaca itu, kita tentu berhadapan juga dengan kosa kata, ejaan, tanda baca, dan struktur. Mungkin juga setelah membaca, kita membuat catatan-catatan atau membuat ikhtisar membuat ringkasan. Demikian juga apabila kita berbicara atau menulis, kita tentu akan berhadapan dengan pilihan kata, ejaan, dan tanda baca; dalam berbicara: into­nasi, tekanan, dan lafal, dsb.
Jadi jelas bahwa aspek-aspek itu, di dalam praktik peng­gunaan bahasa, akan selalu tampil bersama. Melihat kenyataan tersebut maka dalam pembelajaran bahasa dite­rapkan suatu pendekatan yang dalam pelaksanaannya mema­dukan aspek-aspek bahasa. Pendekatan itu disebut pen­dekatan terpadu.
Filsafat bahasa teradu dalam pembelajaran bahasa men­janjikan tidak hanya dalam hal cara guru mengajarkan membaca dan menulis, tetapi juga cara mereka meman­dang diri mereka sendiri. Guru-guru yang menggunakan fil­safat bahasa terpadu, tentu saja memberikan penge­tahuan (kognitif) kepada siswa; tetapi di samping itu, mereka juga menjadi model dalam hal membaca, menulis, dan sebagainya. Dengan demikian, kelas mereka ditandai oleh komunikasi dan interaksi dengan bahasa yang hidup.
Pembelajaran bahasa secara menaruh penghargaan ter­hadap bahasa, dan dengan seksama meningkatkan penguasa­an bahasa anak (Yeager, 1991). Selanjutnya dika­takan bahwa (1) anak banyak bergaul dengan literatur (bacaan), (2) anak merasakan peningkatan dalam belajar­nya, (3) guru-guru berinteraksi dengan anak, dan (4) guru memperlihatkan perhatiannya terhadap becaan dan penu­lis­an pada umumnya.

Rangkuman
Sebenarnya istilah pendekatan, metode, dan teknik mempu­nyai makna yang berbeda, walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan. Pendekatan merupakan dasar teoretis untuk suatu metode. Metode pembelajaran bahasa ialah rencana pembelajaran bahasa, yang mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang akan diajarkan, serta kemung­kinan pengadaan remidi dan bagaimana pengembangan­nya. Selanjutnya, teknik pembelajaran merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar yang sudah disusun (dalam metode), berdasarkan pendekatan yang dianut.
Pendekatan tujuan dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan belajar mengajar, yang harus dipikirkan dan dite­tapkan lebih dahulu ialah tujuan hendak dicapai. Berbeda halnya dengan pendekatan struktural. Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa, yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilan­dasi oleh pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Penggunaan bahasa di dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi tidak formal, tiap-tiap aspek itu tidak pernah berdiri sendiri, melainkan dalam praktik penggunaan bahasa akan selalu tampil secara ber­sama. Dengan kata lain, penggunaan bahasa dalam praktik ber­komunikasi akan tampil secara terpadu.















































BAB III
PEMBELAJARAN MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN


Membaca dan Menulis Permulaan (MMP) merupakan dua aspek kemampuan berbahasa yang saling berkaitan, dan tidak ter­pisahkan. Pada waktu guru mengenalkan menulis, anak-anak ten­tu akan membaca tulisannya. Demikian pula halnya dengan aspek-aspek kemampuan berbahasa yang lain, yakni berbicara dan menyimak. Ke-4 keterampilan tersebut memang berkaitan erat, sehingga merupakan satu kesatuan.
Savage (1989:4) mengatakan bahwa membicarakan dan men­diskusikan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis secara terpisah merupakan hal yang tidak wajar dan terlalu dibuat-buat; sebab sebenarnya keempat kemampuan berbahasa itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun, dalam pem­belajaran kemampuan berbahasa, keempat aspek itu masing-masing dapat memperoleh kesempatan untuk diberi penekanan. Jika pengenalan membaca yang diajarkan, maka pembelajaran dite­kankan pada kemampuan membaca, sedangkan menyimak, berbicara, dan menulis merupakan penunjang. Demikian pula jika kemampuan menulis yang diajarkan, kemampuan-kemampuan yang lain akan berfungsi sebagai penunjang. Sejalan dengan hal itu, pada bab ini pembicaraan mengenai pengenalan membaca dan menulis permulaan disajikan secara terpisah, yakni (1) pem­belajaran membaca permulaan dan (2) pembelajaran menulis per­mu­laan.


A. Pembelajaran Membaca Permulaan
Membaca merupakan salah satu jenis kemampuan berba­hasa tulis, yang reseptif. Disebut reseptif karena dengan mem­baca, seseorang akan dapat memperoleh informasi ilmu penge­tahuan dan pengalaman-pengalaman baru. Semua yang diperoleh melalui bacaan itu akan memungkinkan orang ter­sebut mampu mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pan­dangannya, dan memperluas wawasannya. Dengan demi­kian maka kegiatan membaca merupakan kegiatan yang sangat diperlukan oleh siapa pun yang ingin maju dan mening­katkan diri. Oleh sebab itu, pembelajaran membaca per­mulaan di sekolah dasar mempunyai peranan yang penting.
Pembelajaran membaca di kelas sekolah dasar itu baru merupakan pembelajaran membaca permulaan tahap awal. Kemampuan membaca yang diperoleh anak-anak tersebut akan menjadi dasar pembelajaran membaca permulaan di kelas rendah sekolah dasar.
1. Pentingnya Pembelajaran Membaca Permulaan
Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemam­puan membaca permulaan selanjutnya. Sebagai kemam­puan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan pengenalan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru, sebab jika dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca permulaan anak akan meng­alami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan mem­ba­ca permulaan yang memadai.
Pada hal, seperti telah diuraikan pada awal bab ini, kemampuan membaca sangat diperlukan oleh setiap orang yang ingin memperluas pengetahuan dan pengalaman, mempertinggi daya pikir, mempertajam penalaran, untuk memcapai kemajuan, dan peningkatan diri. Oleh karena itu, bagaimana pun keadaannya guru haruslah berusaha sungguh-sungguh agar ia dapat memberikan dasar ke­mam­puan membaca permulaan yang memadai kepada anak-anak. Hal itu akan dapat terwujud melalui pelak­sanaan pembelajaran yang baik. Untuk dapat melaksana­kan pembelajaran secara baik perlu ada perencanaan; baik mengenai materi, metode, maupun pengembangannya.
2. Materi Pembelajaran
Berdasarkan Kurikulum atau silabus mata pelajaran bahasa Indonesia yang telah disusun pada sekolah setem­pat salah satu contoh materi pembelajaran membaca per­mulaan ialah sebagai berikut.
Kelas I:
Materi kelas I diurutkan sebagai berikut:
Semester Pertama:
a. Persiapan (Pramembaca)
Pada tahap persiapan (pramembaca) ini, kepada anak dikenalkan tentang : (1) sikap duduk yang baik,(2) cara meletakkan atau cara menempatkan buku di meja, (3) cara memegang buku, (4) cara membalik halaman buku yang tepat, dan (5) melihat/memperhatikan gam­bar atau tulisan.
Pada tahap persiapan ini sering dinamakan tahap membaca tanpa buku. Setelah tahap ini, yaitu tahap sesudah pramembaca disebut tahap membaca dengan buku. Hal tersebut akan dibicarakan di bawah ini.
b. Sesudah Pramembaca:
Pada tahap Membaca Permulaan ini anak dikenal­kan tentang: (1) lafal atau ucapan kata (menirukan guru), (2) intonasi kata dan intonasi kalimat (lagu kali­mat sederhana), huruf-huruf yang banyak digunakan dalam kata dan kalimat sederhana yang sudah dikenal anak, (3) kata-kata baru yang bermakna (menggunakan huruf-huruf yang sudah dikenal).
Huruf-huruf diperkenalkan secara bertahap. Ta­hap pertama, dikenalkan sampai dengan 14 huruf. Keem­pat belas huruf tersebut sebagai berikut:
1) a, i, m, dan n
2) u, b, dan l
3) e, t, dan p
4) o dan d
5) k dan s

Misalnya:
1) kata : ini, mama; untuk kalimat: ini mama
2) kata: ibu, lala; untuk kalimat: ibu lala
3) kata: itu, pita, ela; untuk kalimat: itu pita ela
4) kata: itu, bola, dadi; untuk kalimat: itu bola dadi
5) kata: kaki, siti, dua; untuk kalimat: kaki siti dua

Tahap kedua, diperkenalkan lafal dan intonasi yang sudah dikenal dan kata baru. Huruf yang diper­kenalkan 10 sampai 27 huruf .
Misalnya:
1) Huruf baru: h, r, j, g, dan y
Kata baru: hari, raja, jaga, gajah, bayi
2) Huruf baru lainnya: q, z, x, v, kh,
Kata baru: quran, zakat, supra x, vitamin, khairul
3) Materi lainnya berupa puisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan dan tingkat usia siswa.
Misalnya:
kakekku
ini kakekku
kakek dari ibu
gigi kakek hanya satu
kakekku amat lucu

Semester kedua:
Materi pembelajaran Membaca Permulaan berikutnya:
1) Bacaan lebih kurang 10 kalimat (dibaca dengan lafal dan intonasi yang wajar).
Misalnya:
itu papa tina
papa tina makan ubi
papa saya juga makan ubi
dst.
2) Kaliamt-kalimat sederhana (untuk dipahami isinya)
Misalnya:
sita dan tini naik kuda
mereka membeli roti
roti dibeli juga untuk adik
dst.
3) Huruf kapital pada awal kata nama orang, Tuhan, agama, kitab suci
Misalnya:
Tina, Siti, Badu, Anto
Allah, Tuhan Yang Maha Esa
Agama Islam, Agama Katolik, Agama Kristen, Agama Hindu
Al Qur’an, Al Kitab, Weda, Taurat, Injil, Tri Pitaka

Kelas II:
Materi untuk kelas II dirutkan sebagai berikut:
Semester pertama:
1) Paragraf (15 sampai 20 baris) dibaca dengan lafal dan intonasi yang tepat dan wajar.
Bahan untuk itu dapat diambil dari bahan ajar, atau dari majalah anak-anak, misalnya Bobo dengan memi­lih wacana yang ada kaitannya dengan bidang studi Marematika, IPS, PKn, atau IPA.
2) Kalimat-kalimat sederhana (untuk dipahami isinya).
Bahan untuk ini pun dapat diambil dari bacaan dengan bidang studi IPS, IPA, PKn, atau Matematika, yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak. Jika hal itu sulit dilakukan, guru dapat membuat sendiri.
3) Huruf besar pada awal kalimat.
Bahan untuk ini juga dapat dibuat oleh guru sendiri, atau diambilkan dari majalah anak-anak atau bacaan yang lain, yang sesuai dengan tingkat kemampuan dan usia siswa.
4) Bacaan dengan kalimat-kalimat sederhana (mengguna­kan huruf kapital pada awal kalimat) untuk dipahami isinya.

Semester kedua:
1) Cerita anak-anak (dengan memperhatikan jeda yang ada di dalam bacaan)
2) Percakapan/dialog tentang suatu kegiatan (mengguna­kan tanda baca berupa titik (.), dan tanda tanya (?) pada akhir kalimat).
3) Puisi anak-anak (dibaca secara kelompok).
3. Metode Pembelajaran
Setiap orang yang berbuat atau bekerja memerlukan metode. Metode dalam hal ini ialah metode yang dihu­bungkan dengan masalah pembelajaran atau proses belajar mengajar secara formal. Mengingat negara Indonesia ter­masuk negara yang multi lingual, maka sudah barang ten­tu bahwa pembelajaran bahasa Indonesia akan dipenga­ruhi oleh bahasa-bahasa yang tumbuh di negara Indonesia. Pengaruh ini meliputi struktur, tatabunyi, diksi, tatabentuk kata, dan sebagainya. Oleh karena sifat multi lingual itu kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua bagi setiap warga negara. Berdasarkan kenyataan inilah maka pendekatan, teknik, dan metode pembelajaran bahasa Indo­nesia perlu ada penyesuaian.
Dalam pembelajaran membaca permulaan, ada bebe­rapa metode yang dapat digunakan, antara lain: (1) metode SAS; (2) metode abjad dan metode bunyi; (3) metode kupas rangkai suku kata, (4) metode kata lembaga, (5) metode global, (Akhadiah, 1992: 32-34).
Metode-metode dalam pembelajaran membaca per­mulaan tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
a. Metode SAS
1) Pengertian
SAS singkatan dari Struktural Analitik Sintatik. Metode SAS merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan dalam Kurikulum 1975, khususnya untuk pembelajaran bahasa Indonesia. Metode SAS merupakan juga suatu usaha untuk memperbaiki metode yang yang ada saat itu. Metode tersebut dilan­dasi oleh prinsip-prinsip hasil penyelidikan dalam ilmu filsafat, ilmu pendidikan, dan ilmu baha­sa.
Tujuan digunakan metode SAS agar anak ber­usaha menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Pada saat itu, para pakar berpandangan bahwa meto­de-metode lain yang digunakan umumnya anak belum mengetahui filsafat struktur kalimat, tetapi hanya mengenal nama lambang bunyi saja yang pada hakikatnya belum berarti.
Struktur bahasa terdiri atas kalimat. Kalimat meru­pakan bagian bahasa yang terkecil. Kalimat itu sendiri merupakan struktur dan mempunyai bagian yang disebut unsur bahasa (kata, suku kata, dan bunyi atau huruf. Berbahasa berarti mengucapkan, menuliskan, menyatakan atau menggunakan struk­tur bahasa yang dimulai dari struktur kalimat dan disambung dengan struktur kalimat berikutnya.
Analitik berarti memisahkan, menceraikan, mem­­bagi, menguraikan, membongkar, dan lain-lain. Sebelum kita membuat suatu rencana, biasa­nya kita mengadakan analisis. Dalam analisis itu kita dapat memperoleh data tentang fungsi, nilai, dan arti.
Sintetik berarti menyatukan, menggabungkan, merangkai, menyusun. Setelah kita mengenal struk­tur, mengenal bagian secara analitik, selanjutnya kita ingin sintesis untuk kembali mengenal struktur. Jadi, usaha secara sintetik berarti kembali mengenal bentuk struktur. Metode Struktural Analitik Sintetik (SAS) dalam pembelajaran bahasa menekankan seka­li hal-hal yang fungsional.
2) Pembelajaran bahasa dalam pandangan SAS
Seseorang belajar bahasa dimulai sejak kecil (bayi). Yang mengambil peranan penting pada wak­tu belajar bahasa sejak kecil ialah mendengar. Orang tua atau keluarga akan mengajarkan bahasa seca­ra langsung mengenai pola dan struktur kali­mat. Kalimat yang diajarkan itu kadang-kadang hanya berupa kata atau kelompok kata. Hal ini sesuai juga dengan pandangan orang waktu itu bah­wa bahasa itu merupakan serangkaian kebiasa­an, sehingga mengajarkan bahasa perlu sekali dengan cara membiasakan mengenalkan pola dan struktur kalimat yang sesuai dengan tingkat kema­tangan anak dan lingkungannya. Bahasa yang diajar­kan berdasarkan keperluan berbahasa, bukan berdasarkan urutan bunyi (huruf), suku kata, dan kata.
3) Mengenal struktur dan analisis
a) Struktur kalimat
Struktur bahasa yang paling kecil adalah kalimat. Mengajarkan bahasa berarti mengajarkan kali­mat dan kalimat itu disambung dengan kalimat berikutnya sesuai dengan keperluan berpikir. Satu kesatuan pikiran yang terdiri dari beberapa kalimat merupakan struktur tersendiri yaitu satu struktur paragraf. Beberapa struktur para­graf dapat membentuk satu struktur tersendiri yaitu bab. Begitu pula bab dapat membentuk satu struktur ilmu tersendiri yaitu wacana.
Analisis struktur kalimat berarti analisis unsur bahasa, yaitu mengenal dan memahami fungsi kata, suku kata, bunyi (huruf) dalam hubungan kalimat.
b) Struktur paragraf
Analisis struktur paragraf berarti analisis baha­sa, yaitu mengenal dan memahami fungsi kali­mat dalam hubungan paragraf.
c) Struktur bab
Analsis struktur bab berarti analisis wacana, yaitu mengenal dan memahami paragraf dalam hubungan wacana atau bagian. Satu wacana dapat terdiri dari beberapa paragraf.
4) Mengenal Sintesis
Sintesis unsur bahasa maksudnya mengem­bali­kan unsur agar menjadi struktur pola kalimat, se­suai dengan pemahaman yang telah dilakukan (bunyi menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan paragraf menjadi bab, dan seterusnya). Sistesis dila­kukan setelah anak memahami fungsi unsur bahasa.
5) Landasan Metode SAS
Metode SAS dilandasi oleh prinsip-prinsip hasil penelitian ilmu bahasa (linguistik), ilmu jiwa, ilmu filsafat, dan ilmu pendidikan. Hal-hal tersebut akan dibicarakan di bawah ini.
a) Landasan ilmu bahasa (linguistik)
Fungsi bahasa yang sebenarnya adalah sebagai alat komunikasi. Jadi bahasa yang dimaksud adalah bahasa dengan wujudnya dalam perca­kapan. Bahasa merupakan suatu keseluruhan (totalitas). Keseluruhan ini terdiri atas struktur-struktur dengan keteraturannya. Pada hakikat­nya satuan terkecil dari bahasa yang sewajarnya adalah kalimat sebagai wahana maksud. Kali­mat itupun mempunyai arti pula, yaitu suatu struk­tur.
b) Landasan ilmu jiwa (psikologi)
Proses kejiawaan dalam menanggapi sesuatu yang baru melalui struktur-struktur. Setelah itu baru mengenal bagian-bagiannya. Dalam me­nge­nal keseluruhan manusia berkeinginan untuk mengetahui unsur-unsur secara analisis. Keinginan dan hasrat untuk mengetahui me­nim­­bulkan kegiatan untuk mencari, mene­mu­kan sendiri unsur-unsur tersebut, kemudian meng­gabungkan sendiri menjadi suatu totalitas.
c) Landasan filosofis (filsafat)
Segala sesuatu di dunia ini merupakan struktur yang tersusun dari unsur-unsur yang terorga­ni­sasi secara teratur. Bahasa juga merupakan suatu struktur. Manusia selalu berkeinginan untuk mengetahui dan meneliti lingkungannya untuk membentuk kepribadiannya. Perkem­bang­an jiwa dan bahasanya dipengaruhi oleh ling­kungannya.
d) Landasan ilmu pendidikan (pedagogik)
Mendidik ialah mengorganisasikan penga­lam­an. Pendidik membantu anak dalam mengem­bang­kan pengalaman anak. Oleh sebab itu, men­didik harus berpangkal pada pengalaman anak. Pendidik berusaha merangsang dengan menga­jukan masalah-masalah. Dengan masa­lah-masalah itu diharapkan anak dapat mencari dan menemukan sendiri dan dapat meme­cah­kan sendiri.
6) Pelaksanaan Metode SAS
Dalam pelaksanaannya, metode ini dibagi dalam dua tahap, yakni (1) tanpa buku dan (2) meng­gunakan buku. Pada tahap tanpa buku, pem­be­lajarannya dilaksanakan dengan cara-cara sebagai berikut.
1) Merekam bahasa anak
Bahasa yang digunakan oleh anak di dalam per­cakapan mereka, direkam untuk digunakan seba­gai bahan bacaan. Karena bahasa yang digu­­­nakan sebagai bahan bacaan adalah bahasa anak sendiri maka anak tidak akan mengalami kesulitan.
2) Menampilkan gambar sambil bercerita
Dalam hal ini, guru memperlihatkan gambar kepa­da anak, sambil bercerita sesuai dengan gambar tersebut. Kalimat-kalimat yang diguna­kan guru dalam bercerita itu digunakan sebagai pola dasar bahan membaca.
3) Membaca gambar
Guru memperlihatkan gambar seorang ibu yang sedang memegang sapu, sambil mengucapkan kalimat “ini ibu”. Anak melanjutkan membaca gambar tersebut dengan bimbingan guru.
4) Membaca gambar dengan kartu kalimat
Setelah siswa dapat membaca gambar dengan lancar, guru menempatkan kartu kalimat di bawah gambar. Untik memudahkan pelak­sa­naan­nya dapat digunakan media berupa papan selip atau papan flanel, kartu kalimat, kar­tu kata, kartu huruf, dan kartu gambar. Dengan menggunakan kartu-kartu dan papan selip atau flanel, untuk menguraikan dan meng­gabung­kan kembali akan lebih mudah.
5) Membaca kalimat secara struktural (S)
Setelah anak mulai membaca tulisan di bawah gambar, sedikit demi sedikit gambar dikurangi sehingga akhirnya mereka dapat membaca tan­pa dibantu gambar. Dalam kegiatan ini yang digunakan kartu-kartu kalimat serta papan selip atau papan flanel. Dengan dihilangkannya gam­bar maka yang dibaca anak adalah kalimat.
Misalnya:
ini bola
ini bola nina
ini bola lina
ini bola tuti
dst.
6) Proses analitik (A)
Sesudah anak dapat membaca kalimat, mulailah menganalisis kalimat itu menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf.
Misalnya:
ini bola
ini bola
i ni bo la
i n i b o l a
7) Proses Sintetik (S)
Setelah anak mengenal huruf-huruf dalam kali­mat yang digunakan, huruf-huruf itu dirang­­kaikan lagi menjadi suku kata, suku kata men­jadi kata, dan kata menjadi kalimat seperti semu­la.
Misalnya:
i n i b o l a
i ni bo la
ini bola
ini bola

Secara utuh, proses SAS tersebut sebagai beri­kut:
ini bola
ini bola
i ni bo la
i n i b o l a
i ni bo la
ini bola
ini bola

Dari berbagai metode pengajaran membaca permulaan yang diuraikan di atas, untuk metode pengenalan membaca permulaan ini perlu diambil langkah metode-metode mana yang sesuai/cocok dengan perkembangan anak di sekolah SD. Mengingat untuk pelajaran ini baru mem­baca per­mu­laan. Jadi, tidak perlu semua meto­de di atas diberikan kepada anak, masalahnya pela­jaran baru taraf membaca permulaan.
b. Metode Abjad dan Metode Bunyi
Akhadiah (199232) menyatakan bahwa metode abjad dan metode bunyi merupakan metode-metode yang sudah sangat tua. Dalam penerapannya, kedua metode tersebut sering menggunakan kata-kata lepas.
Misalnya:
1) Metode abjad:
ni-ni ----nini
ma-mi --mami
ni-ni ---- nina
bu-di --- budi
ka-ki --- kaki
2) Metode bunyi
ni-ni --- nini
ma-mi – mami
na-ni ---- nani
bu-di --- budi
ka-ki --- kaki
Beda antara metode abjad dan metode bunyi terle­tak pada pengucapan huruf. Pada metode abjad, huruf diucapkan sebagai abjad, misalnya “a” , “be”, “ce”, dst; sedangkan pada metode bunyi, huruf diucapkan sesuai dengan bunyinya, misalnya [m], [n], [b], [c], [a], dan seterusnya.
c. Metode Kupas rangkai Suku Kata dan metode Kata Lembaga
Metode kupas rangkai suku kata dan metode kata lembaga dalam penerapannya menggunakan cara meng­u­rai dan merangkaikan.
Misalnya:
1) Metode kupas rangkai suku kata:
ka ki ---- kaki
ba ta ----- bata
ti ba ---- tiba. dst.
Untuk memperkenalkan huruf kepada siswa, suku kata yang sudah dikenal oleh siswa diuraikan menjadi huruf, kemudian huruf dirangkaikan lagi menjadi suku kata.
Misalnya:
kaki --- ka-ki; ka-ki ---- k a k i
bata ---- ba-ta; ba-ta ---- b a t a. dst.
2) Metode kata lembaga:
Misalnya:
kaki ---- ka-ki ---- k-a-k-i -----ka-ki -----kaki
bata ---- ba-ta ---- b-a-t-a ----- ba-ta ----- bata
Kepada siswa disajikan kata-kata: salah satu di antaranya merupakan kata lembaga, yaitu kata yang sudah dikenal oleh siswa. Kata tersebut diurai­kan menjadi satu suku, suku kata diuraikan menjadi huruf. Setelah itu dirangkai lagi menjadi suku kata, dan suku kata dirangkaikan lagi menjadi kata.
d. Metode Global
Metode global timbul sebagai akibat adanya penga­­ruh aliran psikologi gestalt, yang berpendapat bah­wa suatu kebulatan atau kesatuan akan lebih ber­makna daripada jumlah bagian-bagiannya.
Dalam penerapannya, metode ini memper­ke­nalkan kepada siswa beberapa kalimat, untuk dibaca. Sesu­dah siswa dapat membaca kalimat-kalimat itu, salah satu di antaranya dipisahkan untuk dikaji, dengan cara menguraikannya atas kata, suku kata, huruf-huruf. Setelah siswa dapat membaca huruf-huruf itu, kemudian huruf-huruf dirangkaikan lagi sehingga terbentuk suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata-kata menjadi kalimat lagi.
4. Perencanaan Pembelajaran
Sebelum mengajar, guru perlu merencanakan kegiatan belajar mengajar yang akan dilaksanakan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam perencanaan tersebut ialah:
a. Memilih tema dan menentukan subtema berdasarkan tema tersebut.
b. Memilih tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan tema dan subtema yang telah ditentukan.
c. Menjabarkan tujuan yang telah dipilih menjadi tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
d. Memilih butir pembelajaran dan menjabarkan materi pembelajarannya sesuai dengan lampiran dan terpadu.
e. Menentukan langkah-langkah pembelajaran atau KBM, dan
f. Menentukan alokasi waktu, metode, sumber, alat, dan evaluasi.
Setelah semuanya itu siap, guru menyusun persiapan mengajar berdasarkan hasil yang diperoleh dari kegiatan tersebut di atas.
Contoh Persiapan mengajar:
Bidang Studi : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : II/ pertama
Tema/Subtema : Transportasi/lalu lintas
a. Kompetensi : Siswa dapat memahami isi bacaan yang dibacadan dapat mengajukan pertanyaan, serta menceritakan kembali
b. Butir pembelajaran : Membaca dalam hati dan meng­a­­jukan pertanyaan bacaan
c. Indikator : 1) Siswa dapat menjawab per­tanyaan tentang isi bacaan
2) Siswa dapat memilih kata yang berkaitan dengan lalu lintas
3) Siswa dapat menggu­na­kan kata dalam lalu lintas da­lam kalimat yang tepat
d. Materi/bahan
Pembelajaran :
1) Fokus memahami isi bacaan (membaca pemahaman)
2) Yang dipadukan:
a) IPS (lalu lintas jalan raya)
b) IPA (udara, air, bensin)
c) kosakata: kata-kata dalam bidang lalu lintas
d) Menulis dan berbicara: menuliskan jawaban dan menceritakan kembali isi bacaan
e. Langkah Pembelajaran :
1) Siswa menyimak informasi/penjelasan guru
2) Guru membagikan bahan bacaan
3) Siswa membaca dalam hati
4) Siswa menanyakan hal-hal yang tidak jelas baginya
(tanya jawab secara klasikal)
5) Guru menarik bahan bacaan dan membagikan lembar kerja
6) Siswa mengerjakan tugas mengisi lembar kerja/ tugas
7) Siswa dan guru mendiskusikan jawaban dan hasil kerja siswa. Sisswa dan guru bersama-sama meng­ambil kesimpulan
8) Dua orang siswa yang hasilnya baik, secara bergilir diminta menceritakan isi bacaan dengan kalimat-kalimat sendiri.

f. Waktu : 4 jam pelajaran (dua kali pertemuan)
g. Evaluasi : 1) Tes tertulis (mengisi lembar kerja/ tugas)
2) Tes tertulis (bentuk uraian)
h. Bahan : Buku Paket Bahasa Indonesia (Kelas II), dst.

B. Pembelajaran Menulis Permulaan
1. Pendahuluan
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam pembe­lajaran menulis permulaan, khususnya pada tingkat awal sekolah dasar. Membelajarkan menulis di tingkat awal tidak mudah, karena siswa pada tingkat tersebut belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Pada bagian ini akan dibicarakan masalah pembelajaran menulis per­mu­laan.
Kemampuan menulis diajarkan di sekolah dasar sejak kelas I sampai dengan kelas VI. Kemampuan menulis di kelas I dan II merupakan kemampuan awal atau tahap permulaan. Oleh karena itu, pembelajaran menulis di kelas I dan II disebut pembelajaran menulis permulaan, sedang­kan di kelas III, IV, V, dan VI disebut pembelajaran menu­lis lanjut. Jadi, di sekolah dasar ada dua jenis menulis, yakni menulis permulaan dan menulis lanjut.
Kemampuan menulis merupakan kemapuan berbaha­sa yang bersifat produktif; artinya, kemampuan menulis ini merupakan kemampuan yang menghasilkan; dalam hal ini menghasilkan tulisan. Menulis merupakan kegiatan yang memerlukan kemampuan yang bersifat kompleks. Kemampuan yang diperlukan antara lain kemampuan ber­pikir secara teratur dan logis, kemampuan mengungkap­kan pikiran atau gagasan secara jelas, dengan menggu­nakan bahasa yang efektif.
Kemampuan-kemampuan yang diperlukan itu dapat diperoleh melalui proses yang panjang. Sebelum sampai pada tingkat mampu menulis, siswa harus mulai dari ting­kat awal, tingkat permulaan, mulai dari pengenalan lam­bang-lambang bunyi. Hal tersebut akan menjadi dasar peningkatan dan pengembangan kemampuan siswa selan­jutnya. Apabila dasar itu baik, kuat, maka dapat diharap­kan hasil pengembangannya pun akan baik pula; dan apabila dasar itu kurang baik atau lemah, maka dapat diperkirakan hasil pengembangannya akan kurang baik juga.
2. Materi Menulis permulaan
Materi menulis permulaan diurutkan sebagai berikut:
Kelas I:
Semester pertama
a. Kesiapan menulis permulaan
Sebelum pembelajaran menulis permulaan diajar­kan kepada anak, maka perlu diberikan persiapan pra­me­nulis permulaan. Persiapan pramulis permulaan ter­se­but berupa membiasakan diri anak di antaranya:
1) Duduk wajar dan baik (kepala tegak, punggung lurus, posisi tangan dan kaki pada tempatnya).
2) Meletakkan buku tangan dengan jarak ke mata yang cukup dengan sudut tegak lurus.
3) Memegang buku dengan baik, membuka buku dari kanan ke kiri, mulai halaman 1, 2, dan seterusnya melihat tulisan dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah.
4) Melemaskan lengan tangan dengan gerakan menu­lis di udara.
5) Memegang pensil dengan benar (pensil tajam, jarak mata, pensil dari jari cukup posisi atau kemiringan pensil benar, dan posisi tangan kiri benar.
6) Melemaskan jari dengan mewarnai, menjiplak, meng­gambar, meniru, melatih dasar menulis (garis tegak, garis miring, garis lurus, dan garis leng­kung).
7) Melemaskan jari dengan cara menuliskan huruf dengan menggunakan jari (di bak pasir, di tanah, di meja, atau di udara).




Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembe­la­jaran menulis permulaan ada beberapa macam, di antara­nya:
1) Tingkat perkembangan anak.
2) Tingkat persiapan anak.
3) Gari-garis Besar Program Pengajaran Bahasa Indo­nesia SD.
4) Tujuan pengajaran menulis permulaan yang meli­puti tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus (TPK)
5) Sumber bahan pengajaran dengan syarat:
a) Bahan harus memupuk jiwa dan moral Pan­casila
b) Sesuai dengan perkembangan taraf perkem­bangan anak
c) Bermanfaat atau berarti bagi anak
d) Sesuai dengan ilmu terakhir
e) Dikorelasikan dengan mata pelajaran yang lain
f) Mendukung tujuan pembangunan
g) Mendukung tujuan pendidikan
h) Menanamkan rasa kebangsaan.

Adapun pengembangan bahan pengajaran terse­but harus memenuhi urutan sebagai berikut:
1) Dimulai dari lingkungan anak sendiri
2) Dari bahan yang mudah ke yang sukar
3) Dari hal-hal yang konkrit ke hal-hal yang abstrak.
6) Peralatan atau perlengkapan pembelajaran
7) Keaktifan anak
8) Sikap menulis permulaan yang benar dengan mem­per­hatikan faktor-faktor berikut:
a) Sikap duduk: badan tegak, dada tidak menem­pel pada meja, jarak mata dengan buku antara 25 – 30 cm.
b) Penerangan : sinar cahaya harus cukup (tidak terlalu silau dan tidak pula samara-samar), sinar dating dari arah depan kiri.
c) Letak buku yang harus dibaca atau ditulis hen­daknya tegak (90 derajat) sejajar dengan meja tulis.
d) Cara memegang pensil ketika menulis: ujung pensil muncul di antara ketiga ujung telunjuk, letak ujung kelingking di atas daun meja hen­daknya luwes agar kelancaran menulis tidak ter­hambat.
9) Metode pembelajaran menulis permu­laan.
10) Langkah-langkah menulis permulaan.

Semester kedua:
Materi untuk semester 2 berupa:
1) Penulisan kata-kata dan kalimat sederhana yang sudah dikenal atau yang baru dengan huruf balok.
2) Menyalin kata-kata yang cocok dengan gambar yang ditunjukkan guru.
3) Penulisan huruf yang ada pada kartu, yang telah disu­sun menjadi kata atau nama diri.
4) Menulis jelas dan rapi.
5) Penulisan kata-kata (yang sudah dikenal) didiktekan guru.
6) Penulisan kalimat sederhana yang dimulai dengan huruf kapital, diakhiri dengan tanda titik.
7) Penulisan jawaban atas pertanyaan berkaitan dengan isi bacaan.
8) Penggunaan huruf kapital untuk nama orang, nama Tuhan, dan nama agama/kitab suci.

Kelas II:
Semester pertama:
1) Penulisan kata-kata atau kalimat sederhana yang didiktekan guru.
2) Penulisan catatan kebutuhan sehari-hari untuk diri sendiri, dengan bantuan guru.
3) Penggunaan huruf kapital pada awal kalimat.
4) penulisan nama benda, tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
5) Penggunaan huruf kapital untuk nama bulan, dan hari
6) Penempatan jeda pada akhir bagian-bagian kalimat sesuai dengan makna kalimat.
7) Penggunaan huruf kapital secara tepat di dalam kalimat.
8) penggunaan tanda tanya pada akhir bagian-bagian kalimat sesuai dengan makna kalimat.
Bahan atau materi untuk membelajarkan menulis per­mulaan dapat diambil dari buku ajar, buatan guru sendiri, atau dari sumber lain (majalah, koran dsb.) asal sesuai dengan tingkat kemampuan dan usia anak.
3. Pelaksanaan menulis permulaan
Keberhasilan pengajaran menulis permulaan sangat ditentukan oleh proses pengenalan menulis permulaan itu sendiri. Seperti kita ketahui, bahwa kemampuan menulis ini dapat dicapai dengan latihan berkali-kali dan bim­bing­an yang intensif. Dalam hal ini peranan guru sangat menen­tukan. Guru harus memiliki kemampuan menulis yang baik, di samping itu guru juga harus mampu menga­jarkannya.
Pelaksanaan pelajaran menulis permulaan di sekolah dasar tidak dapat dipisahkan dengan pelajaran membaca per­mulaan, walaupun keduanya merupakan dua kemam­puan yang berbeda. Menulis bersifat produktif sedangkan membaca bersifat reseptif.
Kemampuan menulis tidak diperoleh secara alamiah, tetapi me;lalui proses belajar mengajar. Untuk dapat menu­lis­kan huruf sebagai lambang bunyi, anak harus berlatih dari cara memegang alat tulis serta menggerakkan tangan­nya dengan memperhatikan apa yang harus dituliskan. Anak harus dilatih mengamati lambang bunyi tertentu, bela­jar mengenal menulis permulaan ini dilaksanakan sete­lah anak mampu mengenali huruf-huruf.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meng­ajar­kan menulis permulaan. Namun, seperti halnya pada pengenalan membaca permulaan, dalam pengenalan me­nu­lis permulaan digunakan berbagai metode pengajaran seperti yang terdapat pada metode mengajarkan penge­nalan membaca permulaan. Metode mana yang paling sesuai dengan perkembangan anak itulah yang dipilih.

C. Tujuan Pembelajaran Membaca dan Menulis Permulaan
Tujuan pembelajaran membaca dan menulis permulaan pada dasarnya ialah memberi bekal pengetahuan dan keteram­pilan kepada siswa untuk mengenalkan tentang teknik-teknik membaca dan menulis permulaan dan mengenalkan menang­kap isi bacaan dengan baik dan dapat menuliskannya. Secara rinci pembelajaran pengenalan membaca dan menulis permu­laan bertujuan:
1. Memupuk dan mengembangkan kemampuan anak anak untuk memahami dan mengenalkan cara membaca dan menulis permulaan dengan benar
2. Melatih dan mengembangkan kemampuan anak untuk mengenal dan menuliskan huruf-huruf.
3. Melatih dan mengembangkan kemampuan anak untuk meng­ubah tulisan menjadi bunyi bahasa atau menuliskan bunyi-bunyi bahasa yang didengarnya.
4. Memperkenalkan dan melatih anak mampu membaca dan menulis sesuai dengan teknik-teknik tertentu.
5. Melatih keterampilan anak untuk memahami kata-kata yang dibaca, didengar atau ditulisnya dan mengingatnya dengan baik.
6. Melatih keterampilan anak untuk dapat menetapkan arti tertentu dari sebuah kata dalam suatu konteks.

Rangkuman
1. Pengenalan membaca dan menulis permulaan diberikan secara bertahap, yaitu (1) pramembaca/pramenulis dan (2) pengenal­an membaca/menulis permulaan
2. Pada tahap pramembaca, kepada anak diajarkan/dikenalkan: (1) sikap duduk yang baik pada waktu membaca, (2) cara meletakkan buku di meja, (3) cara memegang buku, (4) cara membuka buku dan membalik halaman buku, dan (5) melihat dan memperhatikan tulisan.
3. Pada tahap pramenulis, kepada anak dikenalkan: (1) cara duduk yang baik, (2) cara meletakkan buku tulis, (3) cara memegang pensil, (4) cara menggoreskan pensil pada buku tulis, (5) gerak­an menulis di udara untuk melemaskan lengan, (6) mele­mas­kan jari dengan mewarnai, menjiplak, menyalin huruf, menebalkan, menggambar, dan dasar menulis (tegak, miring, lurus, lengkung), (7) melemaskan jari dengan cara menuliskan huruf dengan menggunakan jari (di bak pasir, di meja, atau di udara).
4. Pembelajaran pengenalan membaca permulaan dititikberatkan pada aspek-aspek yang bersifat teknis seperti: ketepatan menyuara­kan tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelan­caran, dan kejelasan suara.
5. Dalam pembelajaran pengenalan menulis permulaan di kelas I, setelah pramenulis permulaan, kepada anak dikenalkan penu­lisan huruf, kemudian dikenalkan pada kata yang sudah dike­nal, nama sendiri, nama-nama orang-orang di sekitanya, dan kalimat-kalimat sederhana dengan menggunakan kata-kata yang sudah dikenal juga.
6. Dalam pembelajaran menulis permulaan di kelas II. Penulisan kalimat diperluas. Penggunaan tanda-tanda baca dalam penu­lisan kalimat menjadi lebih bervariasi. Siswa mulai dilatih mem­buat karangan sederhana.
7. Tujuan pembelajaran membaca dan menulis permulaan pada dasarnya ialah memberi bekal pengetahuan dan keterampilan kepada siswa untuk mengenalkan tentang teknik-teknik mem­baca dan menulis permulaan dan mengenalkan menangkap isi bacaan dengan baik dan dapat menuliskannya

















BAB IV
PROGRAM PEMBELAJARAN BAHASA TERPADU

Pendahuluan
Bab ini akan dibicarakan mengenai program pembelajaran baha­sa secara terpadu, yang meliputi pembelajaran bahasa Indo­nesia terpadu dan pembelajaran bahasa Indonesia lewat bidang studi.
Kedua masalah tersebut perlu dibicarakan lebih lanjut karena bebe­rapa pertimbangan. Pertama, bahasa Indonensia sesuai dengan kedudukannya, sebagai bahasa pengantar di dalam dunia pen­didikan. Kedua, guru sekolah dasar adalah guru kelas, sehing­ga memudahkan pelaksanaan dalam pembelajaran bahasa Indone­sia secara terpadu. Ketiga, kegiatan pendidikan pada dasarnya ada­lah mendidik manusia secara utuh, jasmani dan rohani, untuk menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais. Keempat, pema­haman terhadap masalah ini merupakan pemahaman yang ber­sifat fungsional dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar
Ketika masih di lingkungan keluarga, anak-anak belajar baha­sa dengan cara mengamati orang-orang di sekitar mereka meng­gu­nakan bahasa dan dengan mencobanya dalam situasi yang ala­mi. Namun, ketika mereka memasuki sekolah taman kanak-kanak, guru-guru dapat mengembangkan pembelajaran bahasa dengan menciptakan suasana yang membuat anak-anak mela­kukan kegiat­an-kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan gam­bar dan bahasa tertulis.
Pembelajaran bahasa agar efektif perlu perencanaan, peng­organisasian, pengelolaan, dan penggunaan sumber-sumber seca­ra hati-hati. Guru yang baik mengetahui kebutuhan dan kemam­puan murid-muridnya, menentukan tujuan-tujuan untuk me­ngem­­bangkan bahasa anak, dan menerapkan rencana-rencana untuk mencapai tujuan.
Dalam merencanakan dan melaksanakan program pembel­ajaran, guru perlu menekankan pada prinsip keterpaduan atau integrasi. Hal ini disebabkan anak-anak lebih mudah menguasai keseluruhan lebih dahulu, baru kemudian memahami detail atau rincian. Keterpaduan tersebut meliputi keterpaduan dalam mata pelajaran sendiri dan keterpaduan antara mata pelajaran bahasa dengan mata pelajaran yang lain.

A. Pembelajaran Bahasa Secara Terpadu
Prinsip penyusunan bahan bahasa dan sastra adalah keter­paduan. Artinya, keempat keterampilan berbahasa (kete­ram­pilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dikem­­bangkan secara bersama dan terpadu, tidak terpisah-pisah. Dalam pelaksanaannya berkaitan dengan tema yang dipil­ih, sesuai dengan tema-tema yang disarankan di dalam kuri­­kulum.
Keterpaduan pembelajaran bahasa Indonesia ini juga meli­puti komponen-komponen kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Dalam praktek pembelajaran, guru dapat memu­satkan pada salah satu komponen yang ditekankan. Artinya, dalam satu pertemuan guru dapat memfokuskan satu kom­ponen, sedangkan pada pertemuan lain, dapat memusatkan komponen yang lainnya.
Pembelajaran kebahasaan dimaksudkan untuk mening­kat­kan kemampuan pemahaman dan penggunaan bahasa. Di samping itu, juga untuk mempertajam kepekaan perasaan siswa dan meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar serta kemampuan memperluas wawasan. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan secara lugas atau langsung, melainkan juga informasi yang disam­paikan secara berselubung atau secara tidak langsung.
Bahan pembelajaran kebahasaan mencakup lafal, ejaan, tan­da baca, kosakata, struktur, paragraf, dan wacana. Lafal yang baik/benar dan wajar perlu dikenalkan sejak dini, ter­masuk cara pengucapan yang jelas dan intonasi yang wajar sesuai dengan situasi kebahasaan. Ejaan dan tanda baca diajar­kan tahap demi tahap untuk membiasakan siswa menggu­nakannya, baik untuk membaca maupun menulis dengan ting­kat ketelitian dan pemahaman yang tinggi. Ketelitian di dalam ejaan dan tanda baca diperlukan di dunia modern, misalnya untuk memahami atau menyusun dokumen penting dan peng­gunaan komputer.
Pembelajaran pemahaman dapat diambilkan dari bahan men­dengarkan dan membaca, yang meliputi pengembangan kemampuan untuk menyerap gagasan, pendapat, penga­laman, pesan, dan perasaan yang dilisankan dan ditulis. Bahan pembelajaran pemahaman mencakup pula karya sastra asli maupun terjemahan, sedangkan pembelajaran penggunaan baha­sa diambil dari bahan berbicara dan menulis, yang meli­puti pengembangan kemampuan pengungkapan gagasan, pen­­dapat, pengalaman, pesan, dan perasaan. Bahan-bahan ter­sebut disusun untuk mendapatkan keterampilan, penge­ta­huan, teknologi, dan kesenian serta untuk memupuk jiwa dan moral pancasila sebagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahan yang disusun harus aktual, bermakna, dan sesuai dengan tingkat perkembangan kemam­puan siswa dan disajikan dalam konteks, tidak dalam bentuk kalimat-kalimat lepas.
Pembelajaran bahasa Indonesia, perlu memperhatikan prin­sip-prinsip pembelajaran, yaitu dari yang mudah ke yang sukar, dari hal-hal yang dekat ke hal-hal yang jauh, dari yang sederhana ke hal yang rumit, dari yang diketahui ke hal yang belum diketahui, dan dari yang konkret ke hal yang abstrak.
Pembelajaran bahasa sebaiknya tidak terpisahkan dari ling­kungan sekitar, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Bukankah banyak tamatan sekolah dasar akan terjun ke masyarakat? Mengapa kita tidak memberikan bekal kepada mereka? Meskipun mereka melanjutkan sekolah, mere­ka tetap merupakan sebagian dari tata kehidupan masyarakat. Siswa-siswa akan mulai membaca surat kabar, pengumuman, iklan, bermacam-macam petunjuk, mendengarkan khotbah dari alim ulama, pendapat orang lain dalam lingkungan rukun tetang­ga, organisasi pemuda, dan sebagainya mereka harus mampu merespons atau berkomunikasi dengan sesamanya atau orang lain. Semuanya ini membutuhkan latihan-latihan yang teratur dan direncanakan sedemikian rupa agar menarik.
Keterampilan membuat surat, berkirim telegram, pos wesel, dan sebagainya perlu dilatih dengan menggunakan for­mulir yang sesungguhnya. Guru hendaknya menyiapkan ben­da-benda pos, formulir telegram, dan berbagai macam surat kabar untuk keperluan pembelajaran tersebut. Di samping itu, guru sering mengajak para siswa pergi ke suatu tempat untuk menganalisis mengapa di tempat tertentu tersebut sering ter­jadi kecelakaan. Contoh lain, siswa disuruh mendiskusikan dengan kawan-kawannya tentang bagaimana cara menjaga rumah mereka agar tetap aman bila ditinggalkan. Siswa disu­ruh mendengarkan berita lewat radio atau televisi, kemudia diminta melaporkan apa yang mereka dengarkan. Tentu saja guru pun harus mendengarkan berita itu agar dapat mengecek laporan siswanya. Paling tidak hal itu dapat digunakan seba­gai acuan bagi guru dalam memilih materi yang menggunakan lingkungan dalam pembelajaran bahasa.

B. Hubungan Antarketerampilan Berbahasa
Keempat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbi­cara, membaca, dan menulis memiliki hubungan yang sangat erat, meskipun masing-masing memiliki ciri tertentu. Adanya hubungan yang sangat erat ini, pembelajaran dalam satu jenis keterampilan sering meningkatkan keterampilan yang lain.
1. Hubungan antara membaca dan menulis
Membaca dan menulis merupakan keterampilan yang saling melengkapi. Tidak ada yang perlu ditulis kalau tidak ada yang membacanya, dan tidak ada yang dapat diba­canya kalau belum ada yang ditulis. Keduanya meru­pakan keterampilan bahasa tertulis, dengan menggunakan simbol-simbol yang dapat dilihat yang mewakili kata-kata yang diucapkan serta pengalaman dibalik kata-kata ter­sebut.
Dalam menulis, anak lebih suka menggunakan kata-kata yang dikenal dan dirasakan sudah dipahami dengan baik dalam bahan bacaan yang telah dibacanya. Namun, banyak materi yang telah dibaca dan dikuasai oleh anak yang tidak pernah muncul dalam tulisan. Hal itu terjadi kare­na untuk menggunakan suatu kata dalam tulisan diper­lukan pengetahuan yang lebih mendalam, dalam hal penerapan kata tersebut daripada sekedar memahaminya ketika membaca.
2. Hubungan antara berbicara dan menulis
Berbicara dan menulis merupakan keterampilan eks­presif atau produktif. Keduanya digunakan untuk me­nyam­­­­paikan informasi. Dalam berbicara dan menulis dibu­tuhkan kemampuan menyandikan simbol-simbol, simbol lisan dalam berbicara dan simbol tertulis dal me­nulis.
Dalam kegiatan berbicara maupun menulis, peng­organisasian pikiran sangat penting. Pengorganisasian pikiran ini lebih mudah dalam menulis, karena informasi dapat disusun kembali secara mudah setelah ditulis sebe­lum disampaikan kepada orang lain untuk dibaca. Seba­liknya setelah suatu pesan yang tidak teratur dikatakan kepada orang lain, meskipun telah dibetulkan oleh pem­bicara, kesan yang tidak baik kerapkali masih tetap ada dalam diri pendengar. Itulah sebabnya banyak pembicara yang merencanakan apa yang akan dikatakan dalam ben­tuk tertulis dahulu sebelum disajikan secara lisan. Namun, kegiatan berbicara dapat juga merupakan kegiatan untuk mencapai kesiapan menulis. Bahasa lisan dipelajari lebih dahulu oleh anak-anak dan pada umumnya mereka tidak mengutarakan secara tertulis hal-hal yang tidak mereka kuasai secara lisan.
3. Hubungan antara menyimak dan berbicara
Menyimak dan berbicara merupakan keterampilan yang saling melengkapi, keduanya saling bargantung. Tidak ada yang perlu dikatakan jika tidak ada seseorang pun yang mendengarkan, dan meskipun mungkin kita dapat menyimak nyayian, komunikasi yang diucapkan meru­­pakan hal yang utama yang perlu disimak. Menyi­mak dan berbicara, merupakan keterampilan berbahasa lisan, keduanya membutuhkan penyandian dan penyan­dian kembali simbol-simbol lisan.
Pada dasarnya bahasa yang digunakan dalam perca­kapan dipelajari lewat menyimak dan menirukan pem­bicaraan. Anak-anak tidak hanya menirukan hal-hal yang tidak mereka pahami. Kenyataan ini mengharuskan orang tua dan guru menjadi model berbahasa yang baik, supaya anak-anak tidak menirukan pembicaraan yang memalukan atau tidak benar (Ross dan Roe, 1990: 11).
4. Hubungan antara Menyimak dan Membaca
Menyimak dan membaca merupakan keterampilan reseptif. Keduanya memungkinkan seseorang menerima informasi dari orang lain. Dalam menyimak maupun dalam membaca dibutuhkan penyandian simbol-simbol, menyimak bersifat lisan sedangkan membaca bersifat ter­tulis.
Penyandian kembali simbol-simbol lisan (menyimak) hanya melibatkan satu tingkat pemindahan, yaitu dari bunyi ke pengalaman yang menjadi sumbernya. Misalnya ketika seorang anak menyimak kalimat: “Besok Ayah beli­kan bola”, anak menghubungkan dengan alat permainan yang digunakan untuk bermain sepak bola, sehingga dapat memahami arti kata bola yang disimaknya. Penyandian kembali simbol-simbol tertulis (membaca) melibatkan dua tingkat pemindahan, yaitu dari simbol tertulis ke simbul lisan, selanjutnya pengalaman yang menjadi sumbernya. Ketika membaca kata bola, anak mengucapkan dalam hati kata tersebut. Setelah itu menghubungkannya dengan ben­da yang digunakan untuk bermain sepak bola. Oleh karena itu keterampilan menyimak bagus untuk mengembangkan kesiapan membaca, karena menyimak memerlukan proses mental yang sama dengan membaca, kecuali pada tingkat penyandiannya.

C. Prinsip-Prinsip untuk Mencapai Keterpaduan
Menurut Busching dan Schwartaz, (1983: 14), ada berbagai prinsip yang harus dianut untuk mencapai keterpaduan.
1. Keefektifan komunikasi secara luas sebagai tujuan pem­belajaran bahasa
Anak-anak membutuhkan keterampilan berbahasa yang dapat diterapkan dalam kehidupannya agar dapat belajar dan berkomunikasi. Mereka perlu memahami orang lain, berunding dengan teman, membuat keputusan, serta mengungkapkan maksud-maksud pribadi secara menye­nangkan dan meyakinkan.
Terampil berkomunikasi berarti tidak hanya memiliki pengetahuan bahasa, tetapi dapat menggunakan bahasa seca­ra tepat dalam berbagai situasi. Pengguna bahasa yang baik dapat memiliki secara tepat bentuk-bentuk bahasa yang harus digunakan, disesuaikan dengan konteks baha­sa.
Kemampuan berkomunikasi secara efektif yang meru­pakan tujuan utama pembelajaran bahasa seharusnya meru­pakan kriteria dalam menentukan keberhasilan pem­belajaran. Dengan demikian kita tidak akan menitik­beratkan pembelajaran pada pemerolehan pengetahuan baha­sa. Setelah kita menyadari bahwa penguasaan penge­tahuan bahasa bukan merupakan tujuan akhir pem­belajaran bahasa, kita harus menghindari pembelajaran baha­sa yang masih menekankan pemberian materi struk­tur secara berlebihan.
2. Situasi pembelajaran menurut konteks
Pembelajaran bahasa akan menjadi optimal jika diusa­ha­kan berada dalam konteks yang bermakna. Kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak, pengalaman berkomu­ni­kasi secara aktif, dan proses berpikir yang mereka alami membuat mereka menjadi pembaca dan pendengar yang cerdas, serta pembicara dan penulis yang pandai. Apabila pembelajaran bahasa tidak bermakna bagi anak-anak atau tidak memiliki tujuan yang jelas, anak-anak akan gagal dalam belajar.
Menurut kenyataan, belajar bahasa merupakan proses coba-coba dan proses memecahkan masalah. Anak-anak men­duga-duga tentang penggunaan bahasa yang sesuai, menggunakan bahasa berdasarkan dugaan tersebut, kemu­dian mencocokkan apakah penggunaan bahasa mereka tepat. Bantuan guru atau orang tua kepada anak dalam bela­jar bahasa akan sangat efektif apabila dikaitkan dengan kemamuan dan kegiatan anak.
Mengapa program pembelajaran bahasa yang mene­kan­kan penggunaan bahasa (menggunakan pendekatan komu­nikatif) merupakan program yang kondusif untuk belajar bahasa? Kesempatan belajar memecahkan masalah cukup banyak diberikan. Dengan demikian setiap anak diha­dapkan pada kebutuihan untuk berkomunikasi. Hal ini mendorong anak meningkatkan kemampuannya berko­munikasi dengan menggunakan bahasa yang dipelajari­nya.
Pemilihan konteks secara hati-hati dan sistematis sangat penting dalam mengembangkan program pembel­ajaran bahasa yang efektif di sekolah. Sebaliknya anak-anak juga diberi kesempatan untuk memilih konteks ter­sebut secara serta merta (spontan). Sekurang-kurangnya tugas-tugas atau kegiatan-kegiatan pembelajaran perlu meng­gunakan tiga macam konteks yang berbeda, yaitu eks­presif, kognitif, dan sosial. Konteks ekspresif yaitu kesem­patan anak-anak untuk mengungkapkan pendapat atau perasaan pribadi atau menanggapi yang diungkapkan oleh orang lain. Konteks kognitif merupakan wahana untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari pikiran. Buktinya, pola pikir menentukan pemahaman bacaan, demikian juga sebalik­nya bahan bacaan mempengaruhi pola berpikir pembaca. Sedangkan konteks sosial tidak dapat dipisahkan dari peng­gunaan bahasa. Anak-anak menggunakan bahasa untuk membangun dan meneruskan hubungan sosial.
Komunikasi dalam konteks sosial cenderung mema­dukan bahasa, karena secara alami memang terjadi per­tukaran antara dua pihak. Beberapa konteks sosial ter­uta­ma memerlukan kegiatan menulis dan membaca (misal­nya surat), yang lain terutama memerlukan berbicara dan menyimak (misal dalam diskusi).
3. Memaksimalkan hubungan antarketerampilan berbahasa
Prinsip ketiga mencapai keterpaduan ialah memak­si­malkan hubungan antara berbagai cara berkomunikasi. Hubung­an ini dapat tercipta jika bahasa diajarkan secara ter­padu. Masalahnya adalah bagaimana menciptakan keter­­paduan tersebut dalam pembelajaran sehingga men­du­kung pola belajar anak secara terpadu.
Bagaimana terjadinya keterpaduan antarketerampilan berbahasa? Penggunaan bahasa yang bersifat produktif (ber­bicara dan menulis) dan reseptif (Menyimak dan mem­baca) menciptakan satu dasar keterpaduan. Penyimak dan pembaca menggunakan proses yang sama yaitu “meneri­ma” isyarat dari luar dan menanggapi isyarat tersebut. Demikian juga penulis dan pembaca menggunakan pesan yang sama dalam menemukan simbol-simbol berbentuk kata, kalimat, dan seterusnya untuk mengungkapkan gagas­an dan perasaan. Program pembelajaran bahasa ter­padu menguntungkan karena dapat memanfaatkan persa­maan-persamaan dalam penggunaan bahasa yang bersfat reseptif, dengan meminta anak-anak menyimak ber­ma­cam-macam wacana yang sama dengan yang akan mereka baca kemudian. Persamaan-persamaan dalam penggunaan bahasa yang bersifat produktif akan mendorong peng­alihan keterampilan mendeskripsikan secara lisan ke kete­rampilan mendeskripsikan secara tertulis.
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa ketiga prin­sip untuk mencapai keterpaduan yang diuraikan di atas secara bersama-sama merupakan dasar bagi perencanaan kurikulum. Apabila kemampuan berkomunikasi secara efek­tif dijadikan tujuan utama pembelajaran,
Upaya untuk mencapai keterpaduan seperti yang telah diutarakan di atas sesuai dengan pandangan “Whole Language” atau pembelajaran bahasa secara holistic. Menu­­rut pandangan “Whole Language” belajar bahasa itu mudah jika bersifat utuh atau menyeluruh, sesuai dengan kenyataan, dan gayut (relevan) dengan kebutuhan pem­belajar; yang dipelajari harus hal-hal yang bermakna dan ada kegunaannya dengan situasi; yang dipelajari dan pem­belajarannya harus menarik minat pembelajar (Weaver, 1990: 5).

D. Keterpaduan Pembelajaran Bahasa
Keterpaduan pembelajaran bahasa dapat terjadi lewat tiga macam cara, yaitu dalam satu keterampilan berbahasa, antar keterampilan berbahasa, dan lintas kurikulum (Busching dan Schwartz, 1983: 16-24).
1. Keterpaduan dalam satu keterampilan berbahasa
Ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam mencapai keterpaduan dalam satu keterampilan berbaha­sa, yaitu (1) model kegiatan tunggal rancangan guru dan (2) model lokakaya.
Model pertama, guru yang telah memilih tujuan pem­belajaran dapat mendorong tumbuhnya kegiatan terpadu jika anak-anak secara suka rela terlibat dalam pembel­ajaran. Dengan cara memusatkan kepada salah satu kete­ram­pilan berbahasa keterpaduan dalam keterampilan yang lain, dapat dikembangkan.
Model kedua, dalam lokakarya menulis, tugas-tugas yang diberikan guru berasal dari gagasan dan minat anak-anak. Guru menentukan jadwal waktu dan jenis kegiatan yang harus dilakukan anak (menulis), tetapi anak tidak harus berada dalam tahapan yang sama dalam proses menu­lis.
2. Keterpaduan antarketerampilan berbahasa
Keterpaduan ini ada berbagai cara. Berbagai pende­katan yang disarankan oleh Busching dan Schwartz antara lain model pertukaran komunikasi, dan model pemecahan masalah pribadi. Model pertukaran komunikasi, yaitu banyak kegiatan yang berupa percakapan secara spontan dengan saling memberikan informasi. Demikian pula dalam bertanya jawab, merencanakan sesuatu kegiatan, misal­nya mengunjungi teman, bermain peran, dan seba­gai­nya. Model pemecahan masalah pribadi, anak-anak sering tidak tenang karena masalah yang dihadapi misal­nya kehilangan pensil, penggaris, karet penghapus, dan seba­gainya. Guru dapat mengadakan diskusi tidak resmi untuk mengatasi masalah tersebut. Pelajaran dimulai dengan diskusi kelompok. Tugas setiap kelompok adalah mene­mukan beberapa gagasan tentang bagaimana terjadi­nya kehilangan barang dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Selanjutnya setiap kelompok mela­por­kan secara sederhana hasil diskusi.
3. Keterpaduan Lintas Kurikulum .
Jika kita yakin bahwa bahasa dipelajari dengan meng­gunakannya sebagai suatu keterpaduan, kita tentu ter­­do­rong untuk mengaitkan antara pembelajaran bahasa dan pembelajaran mata pela­jar­an lain. Dengan kata lain, perlu diupayakan keter­pa­duan lintas kurikulum.
Beberapa petunjuk untuk memilih materi pembelajar­an secara terpadu menurut Busching dan Schwartz (1983: 23), yaitu:
a. Pelajaran yang dipadukan harus yang benar-benar ber­guna bagi anak.
b. Hubungan antar mata pelajaran yang dipadukan harus bernilai.
4. Keterpaduan Bahasa dan IPS
Tugas guru dalam pembelajaran terpadu antara baha­sa dan IPS antara lain mendorong anak-anak belajar meng­gu­nakan kosakata dalam bidang IPS secara tepat. Hal ini berar­ti harus ada kesempatan bagi anak-anak untuk menyi­­mak, membaca, bercakap-cakap tentang hal-hal yang berhubungan dengan IPS, misalnya membuang sampah, memanfaatkan uang saku, melihat candi, gempa bumi. Berlibur ke desa, dan sebagainya.
5. Keterpaduan bahasa dan IPA
Pembelajaran IPA mengandung empat hal:
a. IPA sebagai cara berpikir
b. IPA sebagai ilmu yang mencoba menerangkan gejala fisik, biologis, dan kimiawi
c. IPA memasukkan komponen teknologi
d. IPA melibatkan perilaku pendidikan IPA.
Di bawah ini contoh langkah-langkah pembelajaran yang mengandung keterpaduan antara bahasa dan IPA: Anak-anak diarahkan agar peduli terhadap penggunaan pewarna gambar. Guru memberikan penjelasan atau anak-anak disuruh mewar­nai gambar tumbuhan dan binatang Kemudian mereka dimin­ta mengamati gambar tadi. Guru menanyakan kepada anak, daun diberi warna apa? (hijau) dan gambar binatang kerbau diberi warna apa? (hitam) dengan demikian anak bias menga­ta­kan waena tersebut dengan bahasa sesuai dengan perta­nyaan guru, sedangkan binatang maupun tumbusan adalah tergolong pelajaran IPA, dan sebagainya.
Masih banyak keterpaduan bahasa dengan pelajaran lain, misal dengan matematika, kesenian, dan sebagainya. Tentu saja untuk anak dicarikan contoh yang sesuai tentang keter­paduan bahasa tersebut dengan yang lain oleh guru.
Rangkuman
Keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis memi­liki hubungan yang erat. Karena itu pembelajaran dalam salah satu keterampilan meningkatkan keterampilan yang lain. Untuk mencapai keterpaduan pembelajaran bahasa, perlu diper­ha­tikan prinsip-prinsip (1) keefektifan komunikasi secara luas seba­gai tujuan pembelajaran bahasa, (2) situasi pembelajaran baha­­­sa menurut konteks, (3) memaksimalkan hubungan antar kete­rampilan berbahasa. Keterpaduan bahasa dapat dilaksanakan dalam satu keterampilan berbahasa, dengan model kegiatan tung­gal rencana guru dan lokakarya. Keterpaduan yang lain adalah keterpaduan antarketerampilan berbahasa dengan model pertu­karan komunikasi, pemecahan masalah pribadi, dan lain-lain..
Keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis memiliki hubungan yang sangat erat. Karena itu pembelajaran dalam salah satu keterampilan meningkatkan keterampilan yang lain. Untuk mencapai keterpaduan pembelajaran bahasa, perlu diper­hatikan prinsip-prinsip: keefektifan komunikasi, situasi pem­belajaran bahasa menurut konteks, dan memaksimalkan hubung­an antarketerampilan berbahasa tersebut
Keterpaduan pembelajaran bahasa dapat terjadi lewat tiga macam cara, yaitu dalam satu keterampilan berbahasa, antar kete­rampilan berbahasa, dan lintas kurikulum.



















BAB V
KESULITAN BELAJAR
MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN


A. Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi ketidak­mam­puan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata, yang juga memiliki sistem sensor yang cukup, dan kesempatan belajar yang cukup lama pula, berbagai kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, dan atau aktivitas sehari-hari sepanjang hidup.
Menurut The National Joint Committee for Learning Disabi­lities (NJCLD) yang dikutip Abdurahman 2003:6), kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifes­tasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, dan menalar. Lain halnya menurut Hallahan (dalam Abdurahman, 2003: 5), kesulitan belajar ada­lah gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menam­pak­kan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, ber­bicara, membaca, menulis, mengeja, ataupun menghitung. Batasan tersebut belum mencakup kondisi-kondisi seperti gang­guan perseptual, luka pada otak dislekia, dan afasia perkembangan. Batasan ini tidak mencakup anak-anak yang memi­liki problem belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan karena tuna grahita, gangguan emo­sional atau kemiskinan lingkungan, budaya atau ekonomi.
Berdasarkan pengertian tentang kesulitan belajar tersebut, dapat diketahui bahwa kesulitan belajar harus memenuhi empat kriteria, yaitu:
1) Kemungkinan adanya disfungsi neurologis;
2) Kesalahan dalam melakukan berbagai tugas akademik;
3) Kesenjangan antara prestasidan potensi;
4) Tidak termasuk di dalamnya kategori tuna grahita, gang­guan emosional, ketidakmampuan sensori, ketidaktepatan pem­belajaran dan kemiskinan budaya.

B. Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Untuk mengetahui penyebab dari kesulitan belajar harus didasarkan pada fondasi awal terbentuknya konsep dasar pada anak. Di samping memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh, yaitu motivasi dan pengajaran yang ku­rang baik yang menyebabkan rendahnya prestasi MMP anak
Menurut Abdurahman (2003:10) penyebab utama kesu­litan belajar adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan penyebab utama problem belajar adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa stra­tegi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak dan pem­berian ulangan penguatan yang tidak tepat. Sedangkan faktor penyebab kesulitan belajar menurut Kirk dan Gallager (dalam Abdurahman, 2003:10) adalah faktor kondisi fisik, lingkungan, motivasi dan sikap, dan faktor psikologis.
Kondisi fisik yang tidak menunjang anak belajar termasuk kurang penglihatan dan pendengaran, kurang dalam orientasi dan terlalu aktif. Faktor lingkungan yang tidak menunjang anak untuk belajar antara lain keadaan keluarga, masyarakat, dan pengajaran di sekolah yang tidak memadai. Kondisi ling­kungan yang mengganggu proses psikologis, misalnya kurang perhatian dalam belajar yang menyebabkan anak sulit meng­ikuti belajar. Faktor motivasi dan sikap yang kurang dalam belajar dapat menyebabkan anak kurang percaya diri dan menimbulkan perasaan-perasaan negatif terhadap anak. Fak­tor psikologis yang menyebabkan kesulitan belajar adalah kurangnya persepsi, ketidakmampuan kognitif, lamban dalam bahasa, semuanya dapat menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bidang akademik.

C. Gejala dan Komponen Kesulitan Belajar
Gejala kesulitan belajar dapat dilihat dari berbagai hal, yaitu dapat dilihat dari prestasi akademik anak yang di bawah rata-rata dari temannya, atau anak mengalami kesulitan aka­demik dalam bidang studi tertentu. Selain itu anak akan menga­lami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya.
Komponen-komponen kesulitan belajar yang berhubung­an dengan perkembangan anak menurut Lovit (dalam Abdurah­man, 2003:71) adalah perhatian, ingatan, persepsi, ber­­fi­kir, dan bahasa.
Perhatian adalah kemampuan untuk memilih stimuli atau rang­sangan dari sekian banyak stimuli supaya anak dapat belajar, dalam hal ini anak dikerumuni oleh banyak stimuli. Jika sedang belajar, anak berkesulitan belajar merespon pada stimuli apa saja yang dihadapinya, anak tidak mampu memi­lih stimuli yang menunjang belajar. Oleh sebab itu, anak tidak tahan belajar dan tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam belajar.
Ingatan adalah kemampuan untuk meningkatkan apa yang telah didengar, dilihat, dan dialami sewaktu belajar. Anak berkesulitan belajar biasanya tidak mampu mengingat kem­bali apa yang dipelajarinya. Anak berkesulitan belajar dengan gangguan persepsi visual mungkin tidak tahu kata-kata yang ditulisnya atau simbol-simbol visual seperti angka, juga tidak ada kesadaran akan objek-objek, keterkaitan objek-objek yang dilihatnya, ketidakmampuan untuk mengerti mela­lui terjemahan simbol menyebabkan gangguan orientasi kiri-kanan, orientasi spesial belajar, otorik, dan melihat satu objek secara menyeluruh walaupun yang disajikan adalah bagian­nya.
Kesulitan utama dalam operasi kognitif adalah kelainan dalam berfikir, seperti pemecahan masalah, pembentukan kon­­sep dan asosiasi. Pemecahan masalah membutuhkan kemam­­puan membuat analisis dan sintesis, yaitu perilaku yang dapat membantu anak mengadakan respon atau ber­adap­tasi dengan situasi baru, pembentukan konsep ini sangat tergantung pada kemampuan anak untuk mengklarifikasikan objek dan peristiwa, kelainan dalam berfikir juga berhubungan kemampuan berbahasa lisan.
Kesulitan berbahasa sangat banyak ditentukan pada anak-anak berkesulitan belajar MMP di SD. Anak tidak dapat ber­bicara, tidak dapat merespon terhadap suatu perin­tah atau per­nyataan verbal seperti yang dilakukan anak-anak.

D. Kesulitan Belajar MMP
Menurut pendapat Mulyono (2003: 186),bahwa ada tiga komponen wicara, yaitu (a) artikulasi, (b) suara, dan (c) kelan­caran. Adanya kerusakan organ wicara yang terkait dengan salah satu atau lebih komponen tersebut dapat menimblkan kesulitan wicara. Meskipun anak mengalami kesulitan wicara, tidak selalu berarti mengalami kesulitan bahasa.
Seperti telah dikemukakan oleh Mulyono (2003:188), bah­wa ada enam komponen bahasa, yaitu: (a) fonem, (b) morfem, (c) sintaksis, (d) prosodi, dan (f) pragmatik. Adanya gangguan dari salah satu atau lebih komponen-komponen tersebut dapat menyebabkan terjadinya kesulitan belajar bahasa. Menu­rut Lovitt (dalam Abdurahman, 2003: 190), ada berbagai kesu­litan belajar bahasa, yaitu (a) kekurangan kognitif, (b) keku­rang­an dalam memori, (c) kekurangan kemampuan melaku­kan evaluasi, (d) kekurangan kemampuan memproduksi baha­sa, dan (e) kekurangan dalam bidang pragmatik atau peng­gunaan fungsional bahasa.
1. Kekurangan Kognitif
Ada tujuh kekurangan kognitif, yaitu (a) memahami dan membedakan maknabunyi wicara, (b) pembentukan kon­sep dan pengembangannya ke dalam unit-unit seman­tik, (c) mengklsifikasikan kata, (d) mencari dan menetap­kan kata yang ada hubungannya dengan kata lain (hubung­­an semantik), (e) memahami saling keterkaitan anta­ra masalah, proses, dan aplikasinya, (f) perubahan mak­na atau transformasi semantik, dan (g) menangkap makna secara penuh (implikasi semantik). Hal-hal di atas dapat dipaparkan berikut ini.


a) Kesulitan memahami dan membedakan makna bunyi wicara
Anak berkesulitan belajar sering memiliki problem auditoris, yaitu kesulitan untuk memahami dan mem­be­dakan makna bunyi wicara. Kondisi semacam itu menye­babkan anak mengalami kesulitan untuk me­rang­­kai fonem, segmentasi bunyi, membedakan nada, mengatur kenyaringan, dan mengatur durasi bunyi.
b) Kesulitan membentuk konsep dan mengembangkan­nya ke dalam unit-unit semantik
Pemahaman terhadap unit-unit semantik (kata dan konsep) menunjukkan adanya pengetahuan tentang kekeluargaan kata secara tepat. Perkembangan normal tentang pembentukan konsep tergantung pada kemam­puan abstraksi, generalisasi, kategorisasi, dan faktor-faktor lainnya. Banyak di antara anak-anak berkesulitan belajar yang memiliki masalah dalam pembentukan konsep dan dalam menghubung-hubungkan unit-unit semantik. Sebagai contoh, anak berkesulitan belajar mung­kin hanya memiliki satu makna tentang kata ”puasa”, yaitu tidak makan dan tidak minum pada waktu siang hari. Anak berkesulitan belajar juga sering mengalami kesulitan dengan kekeluargaan kata ”mele­dak” tetapi yang digunakan adalah kata ”bom”. Sesung­­guh­nya memang ada hubungan antara kata “mele­dak” dengan ”bom” tetapi bukan hubungan sino­nim. Jika orang bermaksud menggambarkan banyak­nya pengunjung pertandingan sepak bola seharusnya menggunakan kata “meledak” bukan kata “bom”.
c) Kesulitan mengklasifikasikan kata
Anak berkesulitan belajar sering mengalami kesu­litan dalam mengelompokkan kata-kata. Jika mereka diha­dapkan pada kata-kata seperti bayam, kangkung, selada, dan seledri, yang seharusnya dikelompokkan sebagai sayuran, tetapi mereka mengelompokkan atas nama warna, yaitu hijau.
d) Kesulitan dalam relasi semantik
Anak berkesulitan belajar sering mengalami kesu­litan untuk menemukan dan menetapkan kata yang ada hubungannya dengan kata lain. Sebagai contoh, anak mungkin akan mengamai kesulitan dalam mene­tapkan hubungan antara kata “bangun”, ”mandi”, ”pakaian”, “sarapan”, “buku”, dan ”sekolah” dalam tugas menyusun kalimat yang terkait dengan urutan waktu. Anak-anak berkesulitan belajar umumnya juga mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata-kata.
d) Kesulitan dalam memahami sistem semantik
Untuk memecahkan masalah verbal diperlukan pemahaman tentang adanya hubungan antara masalah, proses yang digunakan hingga sampai pada suatu upa­ya pemecahan. Banyak anak berkesulitan belajar yang memi­liki kesulitan dalam membaca pemahaman, dalam berhitung, dan dalam penalaran ruang dan wak­tu. Kesulitan ini diduga berkaitan dengan adanya kesu­litan dalam pemrosesan bahasa auditoris. Anak berke­su­litan belajar sering mengalami kesulitan dalam ber­cerita dan penjelasan mereka sering tidak tersusun seca­ra baik dan benar.
e) Transformasi semantik
Suatu informasi disampaikan melalui kata-kata dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada hubung­an, peranan, atau kebermaknaan ucapan. Kata ”lembu” misalnya, mungkin menjelaskan tentang teks­tur, warna, volume, atau mungkin tentang gerakan. Penge­nalan dan kemampuan membuat perubahan makna kata mencerminkan suatu pemahaman trans­formasi semantik. Anak berkesulitan belajar sering meng­alami kesulitan dalam pembuatan transformasi semantik sehingga mengalami kesulitan dalam meng­gu­nakan kata banyak makna, langgam suara (idiom), dan kiasan (metafora).
f) Implikasi semantik
Tingkat kemampuan tertinggi untuk memahami bahasa adalah kemampuan menangkap informasi yang diimplikasikan, yang tidak dinyatakan secara jelas. Kemampuan tersebut mencerminkan suatu kesadaran tentang kemungkinan berbagai penyebab, yang meru­pakan bidang sulit bagi anak berkesulitan belajar. Oleh karena itu, anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam bidang implikasi semantik tersebut, maka anak berkesulitan belajar juga mengalami kesulit­an untuk memahami humor.
2. Kekurangan dalam Memori
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak berkesu­lit­an belajar sering memperlihatkan kekurangan dalam memo­ri auditoris. Adanya kekurangan dalam memori auditoris tersebut dapat menimbulkan kesulitan dalam memproduksi bahasa. Lagi pula, mereka sering memper­li­hat­kan adanya kekurangan khusus dalam mengulang urut­an fonem, mengingat kata-kata, mengingat simbol, dan memahami hubungan sebab akibat.
3. Kekurangan kemampuan menilai
Penilaian merupakan bagian integral dari proses baha­sa karena menjadi jembatan antara pemahaman dengan produksi bahasa. Penilaian yang kritis terhadap informasi verbal memerlukan pembandingan antara infor­masi baru dengan informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Anak berkesulitan belajar sering mengala­mi kesulitan dalam meni­lai kemantapan atau keajegan arti dari suatu kata baru terhadap informasi yang telah mereka peroleh sebelum­nya. Akibatnya, anak mungkin akan menerima saja kalimat atau kata yang salah. Seba­gai contoh, mungkin anak akan membenarkan suatu kalimat “Ibu makan”. Pada taraf implikasi semantik anak berkesulitan belajar juga sering tidak mampu meng­evaluasi keajegan hubungan antara sebab akibat. Akibatnya, mereka sering menerima saja kalimat seper­ti “Ibu terbang”, atau “Pakaian ibu terbuat indah”, dsb. Anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam mengenal kesalahan-kesalan sintaksis, dan sete­lah mereka tahu kesalahan-kesalahan tersebut,mereka juga tidak dapat memperbaikinya.
4. Kekurangan kemampuan produksi bahasa
Produksi bahasa akan dipermudah oleh adanya kemam­puan mengingat, perilaku efektif dan psikomotorik yang baik. Karena anak-anak berkesulitan belajar umum­nya memiliki taraf perkembangan berbagai kemampuan tersebut secara kurang memadai, maka mereka banyak yang mengalami kesulitan dalam memproduksi bahasa. Hasil penelitian Idol-Maetas (dalam Abdurahman, 2003 : 156) menunjukkan bahwa bahasa anak-anak berkesulitan belajar mengandung lebih sedikit kata-kata bermakna dari pada anak-anak yang perkembangan bahasanya normal. Cerita-cerita anak berkesulitan belajar umumnya berben­tuk fragmen-fragmen atau penggalan-penggalan dan urutan­­nya tidak terartur.
Ada dua jenis kemampuan produksi bahasa, kemam­puan produksi konvergen dan kemampuan produksi diver­gen. Kemampuan produksi konvergen berkenaan dengan kemampuan menggambarkan kesimpulan logis dari informasi verbal dan memproduksi jawaban semantik yang khas. Kemampuan produksi devergen berkenaan dengan kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keluasan bahasa yang diproduksi. Kemampuan produksi devergen dapat dilihat dari kemampuan anak dalam (1) mengucap­kan kata-kata dan konsep-konsep, (2) melengkapi asosiasi verbal dan analogi, (3) merumuskan gagasan dan problem-problem verbal, (4) merumuskan kembali konsep dan ide, dan (5) merumuskan berbagai alternatif pemecahan masa­lah. Anak-anak berkesulitan belajar umumnya memiliki kesu­litan dalam produksi konvergen maupun devergen.
5. Kekurangan Pragmatik
Anak berkesulitan belajar umumnya, memperlihatkan kekurangan dalam mengajukan berbagai pertanyaan, mem­­berikan reaksi yang tepat terhadap berbagai pesan, men­­jaga atau mempertahankan percakapan, dan meng­ajukan sanggahan berdasarkan argumentasi yang kuat. Anak berkesulitan belajar umumnya juga kurang berini­siatip untuk memberikan usul, saran maupun pertanyaan-pertanyaan lainnya. Hal ini akan menimbulkan rasa harga dirinya kurang.

Rangkuman
Kesulitan belajar adalah gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan peng­gunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, ber­pikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, ataupun meng­hitung
Produksi bahasa akan dipermudah oleh adanya kemampuan mengingat, perilaku efektif dan psikomotorik yang baik. Karena anak-anak berkesulitan belajar umumnya memiliki taraf perkem­bangan berbagai kemampuan tersebut secara kurang memadai, maka mereka banyak yang mengalami kesulitan dalam mempro­duksi bahasa.
Ada berbagai kesulitan belajar bahasa, yaitu (a) kekurangan kognitif, (b) kekurangan dalam memori, (c) kekurangan kemam­puan melakukan evaluasi, (d) kekurangan kemampuan mempro­duksi bahasa, dan (e) kekurangan dalam bidang pragmatik atau penggunaan fungsional bahasa.
Anak berkesulitan belajar umumnya juga kurang berinisiatip untuk memberikan usul, saran, maupun pertanyaan-pertanyaan lainnya. Mereka umumnya kurang percaya diri, sehingga mudah timbul rasa harga dirinya kurang atau rendah.


















































BAB VI
EVALUASI PEMBELAJARAN
MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN


Pendahuluan
Evaluasi merupakan salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar. Sebagai suatu komponen, maka evaluasi tidak dapat dipisahkan dari komponen-komponen yamg lain. Artinya, setiap kali kegiatan itu diselenggarakan maka evaluasi juga diada­kan.
Dalam kegiatan pembelajaran, evaluasi mempunyai peranan yang amat penting. Melalui evaluasi, guru dapat mengetahui keber­hasilan ataupun kegagalan kegiatan yang diselenggarakan, sehingga ia dapat memikirkan tindakan selanjutnya dengan arah yang jelas. Dari hasil evaluasi dalam kegiatan belajar mengajar, tidak hanya hasil belajar siswa yang dapat diketahui, tetapi keber­hasilan belajar anak, atau kegagalan program pembelajaran juga terpantau. Untuk dapat memperoleh gambaran yang terpercaya mengenai keberhasilan ataupun KBM yang dilaksanakan, maka evaluasi yang dilakukan perlu direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Dalam kaitannya dengan KBM, evaluasi perlu dila­ku­kan oleh guru, terutama ialah (1) evaluasi terhadap hasil belajar anak (untuk mengetahui kemajuan anak), dan (2) evaluasi terha­dap program pembelajaran. Kedua jenis itulah yang menjadi bahan kajian pada bab ini.

A. Evaluasi Kemajuan Anak
Untuk mengetahui kemajuan anak, guru perlu meng­adakan evaluasi. Evaluasi yang diadakan di sekolah meng­gunakan bentuk tes dan nontes sebagai alatnya. Namun, seringkali terdapat tes yang kurang memenuhi persyaratan, bahkan kadang-kadang merugikan siswa. Pada hal, dalam hubungan proses belajar-mengajar, evaluasi yang berupa penge­tesan harus dapat memberikan informasi yang sesung­guh­nya tentang tingkat kemajuan anak, sebab tujuan utama­nya ialah untuk memperbaiki dan meningkatkan hasil belajar.
Di dalam pendidikan seringkali kita harus melakukan evaluasi secara menyeluruh yang mencakup bermacam-macam aspek kemampuan. Eavaluasi semacam ini memer­lukan berbagai teknik evaluasi, sebab tidak ada hanya satu tek­nik evaluasi yang secara objektif dapat mengukur penge­tahuan tentang MMP dan sekaligus dapat memberikan infor­masi tentang bagaimana sikap siswa terhadap MMP tersebut, bagaimana kemampuannya dalam menganalisis MMP itu, dan seterusnya. Untuk memperoleh informasi yang menyeluruh tentang hasil belajar yang kompleks di atas, diperlukan ber­bagai teknik.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa setiap teknik evaluasi memiliki kelemahan dan keterbatasan di samping kelebihan­nya masing-masing. Tidak ada satu teknik evaluasi yang dapat mengukur dengan ketercapaian 100%, yang dapat digunakan untuk mengukur segala kemampuan untuk mencapai semua tujuan. Mengenai teknik evaluasi hanya dapat dikatakan, mana yang paling tepat untuk mengukur kemampuan ter­tentu, dengan tujuan tertentu.
Akhirnya, perlu diingat sebagai pegangan untuk evaluasi bahwa dalam pembelajaran evaluasi hanyalah merupakan sekedar cara untuk mencapai tujuan, bukan merupakan tuju­an akhir. Evaluasi hanya diadakan dalam hubungan program pembelajaran, serta menafsirkan informasi tentang perubahan perilaku yang terjadi pada siswa. Tujuannya adalah memper­baiki serta meningkatkan pembelajaran.
Sebagai contoh untuk mengetahui kemajuan anak dalam kemampuan membaca permulaan dengan buku, guru mem­berikan tes kepada anak. Untuk evaluasi itu disusun bahan yang mencakupi apa yang telah diberikan. Sebagai petim­bangan guru:
1) Bentuk soal untuk membaca permulaan dapat meng­guna­kan bentuk menjodohkan, yaitu menjodohkan gambar dengan kalimat-kalimat yang cocok. Kalimat-kalimat itu ber­isi kata-kata yang belum mereka pelajari dalam latihan.
2) Bisa juga bentuk lain. Misalnya, kita susun 10 kalimat yang masing-masing terdiri sebanyak-banyaknya 5 kata. Di antara 10 kalimat itu kita bagi :
(a) 2 kalimat yang sama benar dengan kalimat yang pernah diajarkan
(b) 3 kalimat yang disusun dari kata-kata yang pernah diajarkan dan dilatihkan
(c) 5 kalimat yang sama sekali belum diajarkan, baik kata-katanya maupun bentuk kalimatnya
Target yang hendak dicapai ialah;
1) Siswa diharapkan dapat mencapai 10 kalimat itu dengan baik (pelaguan dan pengucapan) dalam waktu lima menit.
2) Jika setelah dihitung, ternyata hasilnya 80% atau lebih, maka pelajaran yang kita perkirakan itu dianggap telah baik. Namun, jika hasilnya kurang dari 80%, diperkirakan ada sesuatu yang kurang menunjang, ada sesuatu kesa­lahan (pembelajarannya, bahannya, atau lainnya).
Kesalahan-kesalahan tersebut dijadikan bahan untuk mem­perbaiki langkah berikutnya. Begitu pola atau model kita mengajar membaca permulaan yang lain (tanpa buku)
Pelaksanaan evaluasi pembelajaran bahasa dapat pada awal pembelajaran, tengah, dan akhir program. Selain itu eva­luasi dapat pula dilaksanakan secara klasikal, individual, atau evaluasi di laboratorium.
1) Evaluasi secara klasikal
Pada umumnya, evaluasi di sekolah dilakukan secara klasikal, artinya siswa sekelas bersama-sama dievaluasi. Mere­ka mengikuti tes pada waktu yang sama. Tes ini dapat diadakan secara berkala atau pada akhir program. Eva­luasi ini mungkin pula diberikan dalam bentuk kuis yang dilaksanakan dalam waktu yang terbatas.
Evaluasi klasikal digunakan untuk mengukur semua aspek kemampuan berbahasa pada ranah kognitif dan afek­tif. Cara evaluasi ini jika dilakukan dengan dengan baik akan memberikan dampak positif terhadap hasil belajar siswa..
2) Evaluasi secara individual
Evaluasi ini diadakan dalam program belajar indivi­dual seperti program pembelajaran dengan modul. Dalam hal ini siswa dapat meminta tes kapan saja sesudah mereka selesai, sesuai dengan kecepatannya masing-masing.
Pada evalusai individual, hasil evaluasi dapat dibe­ri­kan sesegera mungkin. Dengan begitu siswa secara lang­sung dapat memperoleh umpan balik. Di sinilah kelebihan evaluasi individual dibandingkan dengan evaluasi kla­sikal. Namun, tentu saja evaluasi ini memerlukan waktu yang lebih banyak, dan jika dilaksanakan secara lisan, seringkali cenderung subjektif. Untuk mengatasi hal ini, per­lu diusahakan bentuk tes lisan yang lebih terstruktur. Dalam hal ini penentuan kriteria yang jelas dan rinci juga akan banyak menolong.
3) Evaluasi di laboratorium
Cara mengevaluasi ini tentu saja hanya dapat dilaku­kan oleh sekolah-sekolah yang meiliki laboratorium. Na­mun, sekolah-sekolah yang tidak memilikinya dapat meng­gu­na­kan tape recorder. Pada evaluasi ini siswa diminta men­­jawab soal dengan menulis atau mengisi lembar jawab­an.
Kebaikan evaluasi ini ialah bahwa semua siswa mem­peroleh pertanyaan atau soal yang sama yang diucapkan dengan kecepatan yang sama dan dikerjakan pada waktu serta suasana yang sama. Dengan demikian evaluasi ini memiliki objektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi diban­dingkan dengan evaluasi individual.
Kekurangan evaluasi ini ialah bahwa aspek-aspek non­kebahasaan yang biasanya menyertai bahasa lisan tidak tergambarkan. Untuk mengatasi kesulitan yang mung­kin timbul, petunjuk tes ditulis dalam bahasa ibu sehingga tidak terjadi kesalahpahaman mengenai tugas yang harus dilakukan. Selain itu sebelum evaluasi dilak­sanakan, guru harus meneliti dengan sungguh-sungguh apakah semua peralatan berfungsi dengan baik, sehingga semua siswa dapat mendengarkan dengan jelas. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa terutama pada evaluasi kemam­puan berbicara, kerusakan sedikit saja alat-alat ter­sebut dapat mempengaruhi siswa.
Alat evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran bahasa termasuk alat evaluasi pembelajaran MMP pada dasar­nya sama dengan alat-alat pembelajaran bidang studi lain. walaupun ada beberapa jenis khusus yang digunakan dalam pembelajaran bahasa saja. Alat-alat evaluasi ini dapat dikelompokkan sebagai alat ukur (tes).

B. Evaluasi dalam Pembelajaran MMP
1. Pengertian Evaluasi
Evaluasi sering juga disebut penilaian merupakan alat atau kegiatan untuk mengukur tingkat keberhasilan penca­paian tujuan. Dalam pembelajaran bahasa, evaluasi dapat dilakukan melalui dua macam cara, yakni dengan tes dan nontes. Teknik tes maupun nontes dapat digunakan untuk mendapatkan informasi atau data tentang anak yang dini­lai. Dalam hal ini guru harus dapat menentukan, kapan ia meng­gunakan tes dan kapan ia menggunakan nontes (Nurgiantoro, 1988: 51).
Penentuan penggunaan tes atau nontes berkaitan erat dengan tujuan penilaian dan informasi atau data yang hendak dijaring. Teknik tes biasa digunakan untuk men­jaring data tentang kemampuan kognitif anak, sedangkan teknik nontes digunakan untuk menjaring data tentang kemampuan psikomotor, afektif, dan lain-lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan kemampuan kognitif. Informasi yang diperoleh melalui tes bersifat kuantitatif, sedangkan yang diperoleh dengan teknik nontes berupa infor­masi kualitatif. Ada beberapa teknik nontes, antara pengamatan, wawancara, daftar cek, diskusi, pemberian tugas.
Dalam pelaksanaan evaluasi, setelah data atau infor­masi terkumpul, guru membuat pertimbangan-pertim­bangan berdasarkan informasi tersebut untuk mengambil keputusan/penghakiman berupa penilaian.
Dalam kegiatan belajar mengajar, apabila guru hendak mengadakan evaluasi, misalnya saja mengevaluasi ke­mam­puan anak tentang membaca kata, ia memerlukan data tentang kemampuan membaca itu. Untuk memper­oleh data tersebut, ia perlu menggunakan alat pengukur, misalnya dengan memberikan tugas membaca kata-kata. Dari hasil pemberian tugas itu, guru memperoleh data ten­tang kemampuan membaca anak. Setelah data diperoleh, guru dapat memberikan evaluasi tentang tingkat kemam­puan anak dalam hal membaca kata.
2. Evaluasi Membaca Permulaan
Telah diutarakan di atas, bahwa evaluasi merupakan alat pengukuran tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Jadi, mengevaluasi anak dalam pembelajaran di antaranya berarti mengukur seberapa tinggi tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran; oleh karena itu alat pengukurannya atau alat evaluasinya harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Pembelajaran membaca siswa sekolah dasar meru­pa­kan pembelajaran membaca permulaan. Tujuan pem­belajarasn ini terutama ditekankan pada kemampuan mem­baca teknik yang masih terbatas pada kewajaran lafal dan intonasi. Di dalam kurikulum tujuan pembelajaran mem­baca permulaan sebagai berikut: anak dapat mengenal membaca kata-kata dengan lafal dan intonasi yang wajar.
Dari tujuan pembelajaran di atas dapat dilihat bahwa tekanan tujuannya terletak pada aspek teknis membaca. Seja­lan dengan tujuan tersebut maka alat evaluasi yang digunakan haruslah dapat mengukur kemampuan-ke­mam­puan itu.
Yang menimbulkan masalah ialah tidak ada pedoman yang jelas menganai bagaimana lafal dan intonasi yang tepat. Oleh karena itu yang dipakai sebagai pedoman ialah kewajaran; wajar, tidak dibuat-buat dan tidak terlalu menunj­ukkan ciri kedaerahan. Melalui pembelajaran mem­ba­ca, anak diharapkan menyuarakan tulisan dengan lafal dan intonasi yang wajar.
Evaluasi seperti yang diuraikan di atas merupakan eva­luasi terhadap kemampuan yang bersifat mekanik. Meng­ingat tujuan pembelajaran kemampuan membaca ialah agar anak dapat memahami dan menggunakan baha­sa secara praktis, maka pengukurannya tidak cukup hanya didasarkan atas kemampuan mekanik saja. Evaluasi terha­dap membaca haruslah dilihat dari keselu­ruhan kemam­puan membaca secara utuh. Dengan demi­kian, dalam mengevaluasi kemampuan di luar kemam­puan mekanik, juga perlu dipakai sebagai pengukur pema­haman akan kata dan makna kata.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa butir-butir yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi pembelajar­an membaca permulaan mencakup:
a) Ketepatan menyuarakan tulisan,
b) Kewajaran lafal,
c) Kewajaran intonasi,
d) Kelancaran,
e) Kejelasan suara, dan
f) Pemahaman kata/makna kata
Untuk menjaring data tentang butir a) sampai e) anak diberi tugas membaca nyaring (bersuara), sedangkan data butir f) dapat dijaring melalui pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman kata/makna kata. Untuk pelaksanaan evaluasi tersebut, guru menyiapkan dan menyajikan bahan berupa kata-kata.
Untuk keberhasilan membaca puisi sederhana, yaitu lewat nyanyian, deklamasi, dan sebagainya (yang diberi­kan guru) yaitu dengan menghafal atau dengan bersuara. Adapun butir-butir yang perlu diperhatikan dalam baca­an puisi sederhana/nyayian ini mencakup:
a) Pelafalan,
b) Kesesuaian intonasi dengan isi yang terkandung dalam puisi/nyayian,
c) Kelancaran, dan
d) Kejelasan suara.

Tiap-tiap butir tersebut di atas diukur dengan ren­tangan nilai yang telah ditentukan. Misalnya:
a) Pelafalan : 1,5 – 3
b) Intonasi : 1,5 – 3
c) Kelancaran : 1 – 2
d) Kejelasan suara : 1 – 2
Maka, nilai tertinggi yang dapat dicapai anak: 10 dan nilai terendah: 5.

Untuk memudahkan guru dalam penilaian membaca permulaan ini, bisa dibuat semacam form yang berbentuk kolom. Misalnya bentuknya dapat dilihat seperti di bawah ini.
Aspek Penilaian
Siswa

Lafal

Kelancaran

Kejelasan

Intonasi

Jumlah
1. Ahmadi
2. Budiawan
3. Sintanola
4. dst
1.





Keterangan:
Standar penilaian atau skor yang digunakan skala 1 – 5 untuk setiap aspek yang dinilai.

3. Evaluasi Menulis Permulaan
Telah diketahui bahwa pembelajaran me­nu­lis anak di SD merupakan pembelajaran menulis tahap awal atau menulis permulaan. Ada­pun tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran menulis permulaan adalah anak dapat:
a) Menggambar/mencontoh huruf-huruf,
b) Menggambar/mencontoh suku kata atau kata-kata,
c) Menggambar/mencontoh kalimat sederhana.
Untuk mengevaluasi tingkat kepercayaan tujuan nomor a) menggambar huruf-huruf, data dapat dijaring mela­lui: (1) mencontoh atau meniru dan (b) tugas. Untuk melak­sanakan mencontoh/meniru, guru perlu memilih gambar huruf-huruf yang sederhana. Misalnya gambar huruf k, u, d, a, dsb.
Untuk mengevaluasi tingkat kepercayaan tujuan b) dan c), guru memilih gambar-gambar yang mudah dikenal dan menarik. Misal gambar binatang ular, udang, singa, siput, katak, dan sebagainya.
Evaluasi menulis permulaan diadakan agar dapat diper­­oleh informasi tentang kemampuan siswa dalam menu­­lis lambang-lambang bunyi dalam hubungan kata atau kalimat, sesuai dengan aturan ejaan yang sudah diajar­kan (huruf besar pada nama orang, pada awal kali­mat, tanda titik, tanda seru, tanda tanya pada akhir kali­mat, dan sebagainya). Tes ini bersifat individual. Guru dalam menilai menulis permulaan dapat menggunakan tabel penilaian seperti pada tes membaca permulaan di atas, hanya saja aspek penilaiannya menggunakan aspek penilaian menulis permulaan.

C. Evaluasi Bentuk Lain
Pada bagian terdahulu disebutkan bahwa sebenarnya, evaluasi yang tepat untuk pembelajaran bahasa ialah evaluasi bersifat menyeluruh. Berkaitan dengan hal tersebut, Routman (dalam Zuchdi, 1994: 5) menyatakan bahwa gambaran yang tepat dan lengkap mengenai kemajuan, kelebihan, dan kebu­tuhan anak hanya dapat diperoleh melalui berbagai peng­ukuran yang mempelajari secara seksama kegiatan anak dalam suatu periode. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pengukuran terhadap kemajuan, kelebihan, dan kebutuhan anak harus dilakukan selama kurun waktu tertentu, dan mela­lui pengkajian yang seksama. Pengukuran yang dilakukan secara sepotong-potong tidak akan dapat memberikan gam­baran yang lengkap.
Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan tepat mengenai kemajuan, kelebihan, dan kebutuhan anak TK dalam hal pengenalan membaca dan menulis permulaan, sebaiknya guru memperhatikan pendapat Routman di atas. Untuk melak­sanakan pengukuran yang dimaksud, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, antara lain:
1. Pengamatan dan evaluasi informal (oleh guru)
Hampir semua bentuk yang digunakan dengan ber­hasil dalam pembelajaran bahasa secara menyeluruh beru­pa pengukuran informal. Pengamatan dan keputusan yang dibuat oleh guru, terutama mengenai proses pembelajaran merupakan alat yang paling sahih (valid) untuk mengum­pulkan dan menganalisis data pembelajaran anak (Zuchdi, 1994).
Contoh:
a. Catatan Anekdotal
Catatan ini merupakan catatan pengamatan yang menggambarkan sosial dalam arti sikap, kelebihan, keku­rangan, kemajuan, gaya belajar keterampilan dan strategi yang digunakan oleh anak, serta apa yang tam­pak ketika diadakan pengamatan. Catatan-catatan ter­se­but biasanya berupa komentar singkat yang sangat spe­sifik mengenai apa yang dikerjakan dan yang harus dikerjakan anak. Wujudnya berupa kumpulan infor­masi yang dicata secara terus-menerus dan menggam­barkan perkembangan kemampuan berbahasa anak secara luas.
b. Wawancara (oleg guru)
Wawancara dengan anak satu demi satu merupa­kan cara yang ideal untuk mengetahui keadaan mereka. Anak cenderung memberikan tanggapan tertulis secara minimal bahkan tidak sama sekali. Dengan wawancara secara pribadi guru dapat memancing tanggapan dan memperoleh informasi yang mencerminkan sikap, stra­tegi, kesenangan, dan tingkat kepercayaan diri anak dalam waktu singkat.
Contoh:
1) Kalau di rumah, di mana kamu belajar?
2) Berapa uang sakumu setiap hari ke sekolah?
3) Apakah kalau belajar di rumah ada yang ikut belajar denganmu?
Dari jawaban-jawaban anak, dapat diperoleh infor­masi mengenai bagaimana keadaan anak di rumah, bagai­­mana aktivitasnya, bagaimana pula keluarganya, yang mungkin dapat membantu peningkatan kemam­puan ber­bahasa anak.
c. Diskusi (guru dan anak)
Diskusi merupakan alat evaluasi yang cukup baik. Dengan mengikuti keinginan anak, dan guru tidak memak­sakan kehendaknya sendiri, diskusi memungkin kesan guru memahami anaknya sebagai pembelajar dan membimbing mereka menghubung-hubungkan kemam­puan berbahasa mereka. Di samping diskusi dalam pengenelan menulis permulaan, juga perlu diada­­kan diskusi dalam pengenalan membaca dan menulis permulaan secara individual.
d. Daftar Cek
Untuk anak TK, guru melakukan cek sesuai dengan jawaban anak. Daftar cek biasa dikombinasi dengan komentar hasil pengamatan untuk mengecek kemampuan pengenalan baca-tulis awal atau permu­laan. Pengetahuan tentang bunyi tulisan, kata-kata yang dikenal dan konsep tentang tulisan.
Contoh
Pengetahuan tentang tulisan dan kata:
1) Anak dapat menemukan letak satu huruf, kemu­dian dua huruf, ….; ……
2) Anak dapat letak satu suku kata, kemudian dua suku kata, …;……;…….
3) Anak dapat menemukan huruf pertama pada kata, ….; ….
4) Anak dapat menunjuk huruf “a” pada kata “bola” …; …
Tanda cek (v) ditempatkan pada tempatnya (…..) apabila anak sesuai dengan pernyataan yang menda­hului (…) tersebut. Untuk anak, pemberian atau penem­patan tanda cek (v) dilakukan oleh guru, berda­sarkan hasil pengamatan guru terhadap apa yang dila­ku­kan anak.

D. Evaluasi Program
Evaluasi program dilakukan melalui penilaian mengenai:
1) Kesesuaian antara tema dan subtema,
2) Kesesuaian antara tpu dan tpk,
3) Kesesuaian antara butir pembelajaran dan tpk,
4) Kesesuaian dan keterpaduan antara lampiran dan pem­belajaran yang dipilih dari gbpp,
5) Kesesuaian antara kbm dan materi pembelajaran, dan
6) Kesesuaian antara alokasi waktu dengan materi pem­belajar­an dan TPK.

Contoh format pengukuran:
Butir yang Diukur
Tepat
Sesuai
Kurang Sesuai
Tidak Sesuai
Tema – Subtema
TPU – TPK
Pembelajaran
Materi
dst




Pengukuran tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk angka:
Misalnya: Tepat : 8,00 – 10,00
Sesuai : 6,00 – 7,99
Kurang sesuai : 5,00 – 5,99
Tidak sesuai : 4,00 – 4,99

Rangkuman
Evaluasi merupakan alat untuk mengukur tingkat keber­hasilan dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu evaluasi harus sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Untuk melakukan eva­luasi diperlukan pengukuran.
Dalam proses belajar mengajar evaluasi berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui hasil belajar/kemajuan anak dan keber­hasilan program.
Pengukuran dapat dilakukan melalui tes ataupun nontes (pengamatan, wawancara, daftar cek, dan sebagainya). Evaluasi pem­belajaran pengenalan membaca permulaan dititikberatkan pada aspek-aspek yang bersifat teknis, seperti ketepatan menyua­rakan tulisan, kelancaran, kewajaran intonasi, dan kejelasan suara. Aspek yang bersifat nonteknis, yakni pemahaman makna kata dilakukan melalui Tanya jawab.
Dalam pembelajaran menulis permulaan, pengukuran dapat dilakukan dengan menilai hari mencontoh/meniru huruf, suku kata atau kata oleh anak dan pemberian tugas.
Sebelum mengajar, guru membuat program pembelajaran. Pro­gram yang dibuat guru harus mengacu pada kurikulum. Dalam pembuatan program ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan, yaitu penentuan tema, penentuan tujuan, pemilihan materi, penjabaran materi pembelajaran, menentukan alokasi wak­tu, sumber bahan, metode, dan media. Setelah semuanya siap, guru menyusun persiapan mengajar.
Evaluasi program yang dibuat oleh guru dapat dilakukan melalui penilaian mengenai kesesuaian antara butir-butir dalam program tersebut, seperti tema-subtema, indikator pencapaian, butir-butir pembelajaran – tujuan pembelajaran, lampiran-pembel­ajaran, KBM-materi pembelajaran, alokasi waktu – materi, dan TPK.



























BAB VII
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA LISAN DI KELAS TINGGI


A. Meningkatkan Kemampuan Menyimak Melalui Bercerita Kreatif
1. Hakikat menyimak
Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar manusia melakukan komunikasi langsung atau tatap muka dengan bahasa lisan. Dalam kegiatan berkomunikasi itu, para peserta komunikasi saling berganti peranan. Suatu saat men­jadi pembicara, pada saat lain menjadi pendengar. Bila peserta komunikasi itu dua orang, maka tiap-tiap peserta memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Hal tersebut akan ber­beda apabila peserta komunikasinya bertambah banyak, maka peluang untuk menjadi pembicara makin sedikit, dan sebaliknya peran menjadi pendengar makin banyak. Dengan kata lain dalam peristiwa komunikasi lisan dengan peserta komunikasi yang makin banyak, kegiatan menyi­mak makin banyak dilakukan oleh para pesertanya. Menu­rut Paul T. Rankin dalam Tarigan (1991) dalam kehidupan suatu masyarakat dijumpai porsi kegiatan menyimak 42%, berbicara 32%, membaca 15%, dan menulis 11%. Bahkan bila dihitung secara cermat, kemungkinan dalam kehi­dupan manusia ini, kesempatan untuk menjadi penyimak lebih besar daripada menjadi pembicara.
Bertolak dari uraian tersebut jelaslah bahwa betapa pentingnya keterampilan atau kemampuan menyimak dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu kegiatan menyi­mak yang efektif, yaitu kegiatan menyimak yang mampu menyerap informasi atau gagasan yang disajikan dengan baik, perlu ditingkatkan.
Kata menyimak dalam bahasa Indonesia memiliki kemiripan makna dengan mendengar, dan mendengarkan. Oleh karena itu, ketiga istilah itu sering menimbulkan keka­­cauan pemahaman, bahkan sering dianggap sama sehing­ga digunakan secara bergantian (Akhadiah, 1991/ 1992; Tarigan 1990). Bahkan, Kridalaksana (1993) meng­gunakan mendengar untuk istilah menyimak, sebagai ter­jemahan listening.
Mendengar merupakan salah satu kegiatan menang­kap suara atau bunyi tanpa direncanakan oleh yang mela­kukan kegiatan tersebut (Haryadi dan Zamsami, 1997: 19). Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (Moeliono, 1989) dinya­takan bahwa mendengar artinya dapat menangkap suara atau bunyi dengan telinga. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Akhadiah (1991/1992) yang menyatakan bahwa mendengar merupakan kegiatan menangkap suara atau bunyi dengan telinga secara kebetulan atau tidak diren­canakan. Apa yang didengar itu mungkin tidak dime­ngerti maknanya. Sejalan dengan itu, Tarigan (1990) menya­takan bahwa mungkin suara yang didengar itu masuk telinga kanan, keluar dari telinga kiri, meski dalam hal-hal tertentu suara yang didengar itu dapat dipahami. Atas dasar pendapat-pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa kegiatan mendengar itu mengandung faktor keti­dak­sengajaan. Suara yang didengar itu dapat berupa bunyi apa saja. Suara atau bunyi yang didengar itu ada yang memiliki arti ada pula yang tidak. Oleh karena itu, arti atau makna apa yang didengar tidak menjadi per­soalan di dalam kegiatan mendengar.
Mendengarkan memiliki unsur makna mendengar karena orang mendengarkan menggunakan alat yang sama dengan mendengarkan sesuatu dengan sungguh-sungguh (Moeliono, 1989). Perbedaannya terdapat pada tingkat kesa­daran seseorang melakukan kegiatan atau perbuatan itu. Bila kegiatan mendengar dilakukan dengan tidak dise­ngaja, maka kegiatan mendengarkan dilakukan dengan sengaja atau terencana (Akhadiah, 1991/1992).
Menyimak memiliki kandungan makna yang lebih spe­sifik lagi, bila dibandingkan dengan kedua istilah sebelumnya. Namun, sekali lagi menyimak ini sering disa­makan begitu saja dengan mendengarkan, sehingga pada beberapa hal keduanya dapat digunakan secara ber­gantian. Dalam kegiatan ini menyimak perlu dibedakan dari mendengarkan.
Pada umumnya, kegiatan menyimak tidak dapat dike­nakan pada suara seperti letusan mercon, ketukan pintu, kucing mengeong, deru mesin motor, dan suara yang sejenis dengan itu. Oleh karena itu, agaknya dalam bahasa Indonesia kalimat atau tuturan seperti di bawah ini tidak berterima.
1) Si Bajuri sedang menyimak deru mobil bajaj di pinggir jalan.
2) Pak Dokter sedang menyimak batuk pasiennya.
3) Ayah duduk di pantai menyimak debur ombak.
Kegiatan menyimak dapat dilakukan oleh seseorang dengan bunyi bahasa sasarannya, sedangkan mendengar dan mendengarkan sasarannya dapat berupa bunyi apa saja. Itulah salah satu ciri khas yang ada dalam kegiatan menyimak. Selain itu, kegiatan menyimak dilakukan dengan sengaja, atau terencana, dan ada usaha untuk memahami atau menikmati apa yang disimaknya. Tarigan (1990) menyatakan bahwa hakikat menyimak adalah men­dengarkan dan memahami isi bahan simakan.
Penguasaan menyimak pada diri seseorang akan men­jadi lebih mudah apabila seseorang tersebut mengetahui konteks wacana yang disimaknya. Pengetahuan yang ada pada diri seseorang (penyimak) tersebut sangat berperan dalam proses menyimak. Penyimak yang berhasil dalam simakan­nya adalah yang dapat memanfaatkan baik penge­tahuan yang telah mereka miliki yang berhubungan dengan materi yang mereka simak (Nunan, 1991:18).
Perlu diketahui bahwa dalam menyimak, seseorang penyimak tidaklah memusatkan perhatiannya pada setiap kata yang disimaknya. Sebagai contoh apabila kita menyi­mak acara tayangan televisi kita hanya menangkap bebe­rapa hal saja dan tidak dapat menangkap semua hal yang ada. Tidak menangkapnya beberapa hal itu disebabkan oleh kurangnya perhatian atau kurang tertarik pada topik yang disimak atau kurang efisien dalam menyimak.
Di dalam meningkatkan kemampuan menyimak para siswa sekolah dasar agar tercapai atau berhasil dalam menyi­­maknya bergantung pada dua hal, yakni (1) teladan guru dan (2) keikutsertaan (partisipasi) siswa. Guru harus memberi teladan sebagai penyimak yang baik, kritis, dan pembicara yang efektif, serta menggunakan strategi yang efektif pula. Sebaliknya, setiap siswa yang berpartisipasi dalam suatu diskusi harus memiliki infoemasi tertentu yang akan disampaikan kepada orang lain. Saling membe­ri­kan dan menerima informasi, pendapat, atau gagasan meru­pakan faktor utama untuk mencapai keberhasilan dalam diskusi. Para siswa juga perlu memberikan dan mene­rima saran Sebaiknya tidak seorang pun yang dalam mengikuti suatu diskusi hanya menyampaikan kritik dan pujian saja tetapi juga memberikan masukan lain yang ber­guna untuk kemajuan diskusi.
Ada berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam menyi­mak, salah satu di antaranya adalah keterlibatan penyi­mak berinteraksi dengan pembicara. Oleh karena itu, para siswa tidak mungkin dapat melaksanakan tugas menyi­mak dengan baik apabila mereka terganggu oleh pem­bicaraan orang lain. Berbagai faktor kesulitan dalam menyimak di antaranya (1) latar belakang pengetahuan penyimak; (2) susunan informasi yang kurang kronologis; kelengkapan dan kejelasan informasi; (4) pembicaraan di daalam teks yang menggunakan kata ganti lebih sulit dipahami daripada menggunakan kata benda; dan (5) sesua­tu yang dideskripsikan dalam teks yang disimak itu mengandung hubungan statis ataukah hubungan dinamis. Yang menunjukkan hubungan statis, misalnya bentuk-ben­tuk aritmatika lebih sulit daripada yang mengandung hubungan dinamis, misalnya musibah bencana banjir di Aceh (Nunan dalam Rofi’uddin dan Zuhdi, 1997: 3-4).

2. Peran guru dan murid dalam pembelajaran menyimak
Keberhasilan pembelajaran menyimak bergantung pada dua kondisi, yakni teladan guru dan partisipasi murid. Guru bisa memberi teladan sebagai penyimak yang baik, kritis, dan pembicara yang efektif, serta meng­gu­na­kan strategi yang efektif pula. Sebaliknya setiap murid yang berpartisipasi dalam diskusi harus memiliki infor­ma­si tertentu yang akan disampaikan kepada teman-teman­nya. Saling memberikan dan menerima informasi, pen­dapat, atau gagasan merupakan faktor utama untuk men­capai keberhasilan dalam diskusi. Murid-murid juga perlu memberikan dan menerima saran. Sebaiknya tidak seorang pun yang dalam mengikuti suatu diskusi hanya menyam­pai­kan kritik dan pujian saja tetapi juga masukan lain yang berguna untuk kemajuan diskusi.
Menyimak merupakan sarana yang utama dalam belajar. Oleh karena itu, kebiasaan menyimak perlu dikem­bangkan. Cara yang terbaik untuk mengembangkan siswa sebagai penyimak yang efektif adalah dengan memberikan teladan. Biasakan menanti dengan sabar suatu pertanyaan yang disampaikan secara lengkap sebelum guru menjawab pertanyaan siswa. Demikian juga para siswa dibiasakan mela­kukan hal (menyimak) yang baik sama pentingnya dengan menjadi pembicara yang efektif (Yeager, 1991: 98).
Sesuai dengan perkembangan pendekatan komuni­katif dalam pembelajaran bahasa, siswa sekolah dasar di kelas yang sama tidak harus persis sama. Bagi siswa yang ter­golong rendah kemampuan menyimaknya, setelah menyi­mak teks yang sama kesempatannya dengan yang disimak oleh siswa yang lain, siswa tersebut dapat diberi tugas yang lebih mudah. Pilihan lain, mereka diberi kesem­patan untuk menyimak berulang-ulang wacana yang disa­ji­kan materi pembelajaran menyimak. Sesudah menyimak yang pertama mereka diberi tugas menyebutkan jumlah pem­bicara. Sehabis menyimak yang kedua mereka diberi tugas untuk mencari kata-kata sukar, atau kata kunci, dan diminta menyebutkan berapa kali mereka mendengarkan kata-kata tersebut. Kemudian diberi tugas yang lebih sulit tingkatannya, misalnya diberi sejumlah frasa dan diminta menyebutkan berapa kali mendengarkan frasa tersebut yang terakhir dan seterusnya.
3. Strategi meningkatkan kemampuan menyimak
Ada berbagai strategi (cara) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyimak. Beberapa stra­­tegi dikemukakan berikut ini. Pertama, guru harus mendiskusikan etiket atau sopan santun dalam menyimak dan perbedaan antara kritik yang konstruktif dan kritik yang negatif. Dalam diskusi diharapkan menekankan harap­an agar siswa saling menghormati dan membina kese­tia­kawanan; Kedua, mereka diberi kesempatan untuk menyimak berulang-ulang wacana yang dijadikan materi pem­belajaran menyimak. Setelah menyimak, para siswa yang tergolong lemah, dalam menyimak diberi tugas untuk mencari kata-kata kunci, dan tugas selanjutnya sete­lah mendengarkan sejumlah frasa dan diminta menye­butkan berapa kali mereka mendengarkan frasa tersebut yang terakhir; Ketiga setelah membacakan cerita atau dongeng, guru hendaknya mengadakan diskusi mengenai bagian-bagian cerita atau dongeng tersebut yang patut dipuji atau yang perlu diperbaiki.
Guru sebaiknya mendaftar segi-segi positif dan nega­tif tersebut di papan tulis atau menggunakan media lain (OHP) sehingga setiap anak dapat melihat dan mende­ngarkan hal-hal penting yang sedang dilakukan. Pada saat ini guru dapat menekankan kepada para siswa untuk meng­ajukan pertanyaan dengan cara yang sopan dan guru memberikan dorongan kepada anak untuk memperbaiki per­tanyaannya agar menjadi jelas. Apabila tidak ada anak yang memberikan komentar terhadap cerita atau dongeng yang telah dibacakan, guru mungkin dapat menyarankan agar mereka berperan seolah-olah menjadi pengarang ceri­ta atau dongeng yang telah dibacakan oleh guru (Yeager, 1991:96).
Dalam kelas yang efektif, guru memberikan penekan­an pada keterampilan menyimak seperti halnya pada kesem­patan membaca dan menulis. Menyimak merupakan sarana yang penting untuk belajar. Oleh karena itu, kebiasa­­an menyimak perlu dikembangkan. Cara yang ter­baik untuk mengembangkan para siswa sebagai penyimak yang efektif adalah dengan memberikan teladan bagi sesama temannya. Ingatkan kepada para siswa bahwa men­­jadi penyimak yang baik sama pentingnya dengan menjadi pembicara yang efektif.
Dalam kelas yang berdasarkan pendekatan pem­bel­ajar­an bahasa secara holistik, para siswa lebih banyak beker­ja kelompok. Kelompok-kelompok tersebut dapat ber­­sifat informal, misalnya bekerja berpasangan-pasangan di sudut kelas untuk diskusi atau persiapan bermain peran, dapat pula berupa kelompok yang disusun dengan perencanaan yang matang untuk tujuan tertentu. Kelom­pok dapat diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus secara langsung, dapat pula untuk menolong anak-anak yang ingin meningkatkan keterampilan tertentu, misal­nya meningkatkan kemampuan bercerita.
Kerja kelompok dapat menolong siswa meengem­bang­kan sikap sosial yang positif, memberikan penguatan keterampilan berbahasa yang spesifik, dan membantu guru menyelenggarakan pembelajaran yang sebaik mung­kin. Selama satu tahun siswa menjadi anggota beberapa kelompok yang berbeda. Setiap siswa yang memerlukan petunjuk, penguatan, atau rekomendasi dalam keteram­pilan berbahasa yang spesifik dapat diberi tugas dalam suatu kelompok khusus untuk tujuan tersebut. Siswa lain yang telah menunjukkan penguasaan terhadap keteram­pilan tersebut boleh masuk suatu kelompok untuk pening­katan membaca dan menulis. Jarang anggota suatu kelom­pok tetap tidak berubah sampai lebih dari satu atau dua minggu.
Keuntungan kerja kelompok itu terletak pada bantuan dari teman dan terjadinya kegiatan belajar. Keberhasilan kelompok biasanya merupakan pencerminan perencanaan, dan uapaya-upaya persiapan guru. Di samping itu, keber­hasilan tersebut sangat bergantung kepada anggota-anggo­tanya. Sebaliknya guru mulai dengan memberikan tugas yang jelas berupa keterampilan tertentu yang perlu diting­katkan dalam suatu kelompok, kemudian baru memilih anggotanya.
Berkaitan dengan kegiatan menyimak di kelas-kelas tinggi (kelas 3-6) sekolah dasar, jenis kegiatan menyimak harus beragam. Beragam baik dari segi penyajian maupun bahan yang dijadikan padanan. Nambiar dalam Sarumpaet (1981: 1) menjelaskan bahwa pengajaran bahasa yang meng­­gunakan berbagai sumber bacaan dan bahan peng­ajar­an lebih berhasil daripada yang hanya berupa meng­gunakan satu atau dua bahan.
Dalam kelas yang efektif, sebagaimana telah dike­mukakan di atas, guru memberikan penekanan pada kete­ram­pilan menyimak seperti halnya pada keterampilan membaca dan menulis. Menyimak merupakan sarana yang utama dalam belajar. Mengingat begitu pentingnya menyi­mak sebagai kebutuhan belajar maka kebiasaan menyimak perlu digalakkan oleh guru agar tujuan belajarnya tercapai dengan baik.

B. Meningkatkan Kemampuan Berbicara Melalui Bercerita Kreatif
1. Proses berbicara
Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, anak-anak mengembangkan kemampuan berbicaranya secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, mereka sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Makin lama kemampuan berbicaranya tersebut menjadi makin sempurna dalam arti strukturnya menjadi makin benar, pilihan katanya makin tepat, kalimat-kali­matnya makin bervariasi, dan sebagainya. Dengan kata lain perkembangan kemampuan berbicaranya tersebut tidak secara horizontal mulai dari fonem, kata, frase, kali­mat, dan wacana seperti halnya jenis tataran linguitik.
Ellis dalam Numan (1991: 46) mengemukakan adanya tiga cara untuk mengembangkan secara vertikal dalam mening­katkan kemampuan berbicara: (1) menirukan pem­bi­­caraan orang lain (khusus guru); (2) mengem­bangkan ben­tuk-bentuk ujaran yang telah dikuasai; dan (3) men­dekatkan atau menyejajarkan dua bentuk ujaran, yaitu ben­tuk ujaran sendiri yang belum benar dan ujaran orang dewasa (terutama guru) yang sudah benar.
Kesulitan dalam berbicara, seperti halnya kesulitan dalam menyimak, disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang menimbulkan kesulitan dalam berbicara adalah yang dating dari teman bicara. Seperti kita ketahui, dalam setiap kegiatan berbicara teman bicara menafsirkan makna pembicaraan agar komuniksi dapat berlangsung terus sampai tujuan pembicaraan tercapai. Apabila teman bicara tidak dapat menangkap makna pembicaraan, maka komunikasi terputus atau dengan kata lain tujuan komu­nikasi tidak tercapai. Apabila teman bicara tidak dapat menangkap makna pembicaraan maka komunikasi terpu­tus atau dengan kata lain tujuan komunikasi tidak tercapai.
Berbagai jenis kegiatan dalam proses pembelajaran berbicara, yaitu (a) percakapan, (b) berbicara estetik (berce­rita/mendongeng), (c) berbicara untuk menyampaikan infor­masi atau untuk mempengaruhi, dan (d) kegiatan dramatik (Tompkins dan Hoskisson, 1995:120-147).
a. Percakapan
Para siswa mempelajari strategi dan keterampilan melakukan sosialisasi dan percakapan ketika mereka berpartisipasi dalam percakapan di kelompok kecil. Para siswa mempelajari cara memulai percakapan, ber­bicara ketika memperoleh giliran, menjaga agar perca­kapan berlangsung terus, mendukung komentar dan pertanyaan anggota kelompok, mengatasi perbedaan pendapat dan mengakhiri percakapan. Mereka juga belajar tentang peranan kemampuan berbicara dalam mengembangkan pengetahuan.
Untuk memulai percakapan, seorang siswa secara sukarela atau dengan ditunjuk guru membuka pembi­caraan. Kadang-kadang guru menyampaikan perta­nyaan untuk didiskusikan, kemudian seorang siswa mulai percakapan dengan mengulangi pertanyaan ter­sebut, sedangkan anggota kelompok menanggapinya.
Para siswa secara bergiliran menyampaikan ko­men­­tar atau mengajukan pertanyaan, mereka men­dukung pendapat teman-teman kelompok dan mem­perluas komentar mereka. Lewat percakapan, para sis­wa menuju pada tercapainya suatu tujuan. Tujuan ter­sebut dapat berupa penyelesaian suatu tugas, atau menanggapi pertanyaan guru.
Anak-anak diarahkan untuk bertindak sopan dalam melakukan percakapan. Mereka menerima komen­tar teman-temannya dengan bersemangat dan penuh rasa hormat. Hendaknya mereka saling mem­berikan dukungan. Mereka juga perlu membina suasa­na saling mempercayai dengan mengungkapkan perse­tujuan, menjaga perasaan teman, dan menggunakan komentar anggota kelompok yang telah dikemukakan sebelumnya sebagai rujukan.
Apabila terjadi perbedaan pendapat selama meng­adakan percakapan, para siswa harus dapat mengatasi­nya dengan sehingga tidak terjadi pertengkaran. Para siswa perlu menyadari bahwa perbedaan pandangan meru­pakan hal yang wajar, dan mereka perlu menghar­gai pendapat satu sama lain dan berusaha untuk dapat memadukannya.
Pada akhir percakapan, para siswa seharusnya sudah dapat mencapai suatu persetujuan, sudah men­jawab semua pertanyaan atau sudah melaksanakan tugas dengan baik. Kadang-kadang para siswa meng­hasilkan sesuatu dari suatu percakapan, misalnya beru­pa kumpulan catatan hasil percakapan.
b. Berbicara estetik (mendongeng)
Salah satu bentuk kegiatan berbicara estetik ialah mendongeng. Guru menyajikan karya sastra kepada murid-muridnya dengan teknik bercerita, dan murid juga diminta untuk bercerita mengenai karya sastra yang telah dibaca.
Dalam memilih cerita tradisional misalnya cerita rakyat, sering dipilih untuk kegiatan bercerita (mendo­ngeng), Namun, bentuk karya sastra anak-anak yang lama juga dapat digunakan. Hal yang paling penting dalam memilih cerita adalah memilih cerita yang mena­rik. Pertimbangan lainnya cerita tersebut sederhana, alur cerita yang jelas, tema cerita jelas, jumlah pelaku cerita tidak banyak, cerita menggunakan gaya bahasa perulangan, dan cerita menggunakan bahasa yang mengandung keindahan.
Murid-murid bercerita sesuai dengan persiapan yang mereka lakukan kepada teman-teman sekelas atau kepada anak-anak yang lebih kecil. Kegiatan bercerita (mendongeng) dapat dilakukan dalam kelompok-kelom­pok kecil sehingga penggunaan waktunya dapat efisien.
c. Berbicara untuk menyampaikan informasi atau mem­pengaruhi
Kegiatan yang masuk jenis kegiatan ini berupa mela­porkan informasi secara lisan, melakukan wawan­cara, dan berdebat. Langka-langkah dalam melaporkan informasi secara lisan ialah memilih topik, mengum­pulkan dan menyusun informasi, mengumpulkan ben­da-benda untuk menvisualkan informasi (diagram, gam­bar, dll), dan menyajikan laporan.
Dalam menyajikan informasi, murid-murid seha­rusnya tidak dengan membaca catatan. Sebelum penya­jian dimulai, guru perlu menyampaikan cirri-ciri penya­ji yang baik. Misalnya penyaji harus berbicara cukup jelas dan tidak menyimpang dari pokok-pokok pem­bicaraan yang telah disiapkan. Kepada pendengar (murid-murid yang tidak sedang menyajikan infor­masi) perlu diingatkan bahwa mereka harus mende­ngarkan dengan penuh perhatian, mengajukan per­tanyaan, dan memberikan penghargaan kepada penya­ji, misalnya dengan bertepuk tangan.
d. Kegiatan dramatik
Bermain drama merupakan media bagi murid-murid untuk menggunakan bahasa verbal dan nonver­bal dalam konteks yang bermakna. Ketika memainkan drama, anak-anak berinteraksi dengan teman-teman sekelas, berbagi pengalaman, dan mencoba menaf­sir­kan sendiri naskah drama yang dimainkan. Kegiatan dra­matik memiliki kekuatan sebagai suatu teknik pem­be­lajaran bahasa karena melibatkan murid-murid dalam kegiatan berpikir logis dan kreatif, memberikan pengalaman belajar secara aktif, dan memadukan empat keterampilan berbahasa
2. Cara meningkatkan kemampuan berbicara
Salah satu bentuk peningkatan kemampuan berbicara adalah percakapan. Dalam pembelajaran percakapan ini sebenarnya. Dapat menggunakan teknik percakapan ter­bimbing dan bebas. Percakapan terbimbing di sini bukan berarti siswa diarahkan untuk menghafal teks, melainkan dibimbing dengan sebuah kerangka petrunjuk dan kerang­ka pola bahasa. Melalui teknik ini siswa dapat mencip­takan bahasanya sendiri.
Sementara itu, kesempatan yang baik untuk mengem­bangkan kemampuan berbicara ialah pada tahap ‘publi­kasi’ dalam proses menulis. Anak diminta mengubah karang­an­nya dalam bentuk drama pendek yang diperan­kan di kelas. Pada kesempatan memerankan adegan inilah anak-anak memiliki kesempatan untuk berlatih berbicara mereka dapat pula memperlihatkan dan mempelajari kete­ram­pilan berakting dari teman-temannya.
Di dalam kegiatan dramatik memiliki kekuatan seba­gai suatu teknik pembelajaran bahasa karena melibatkan murid-murid dalam kegiatan berpikir logis dan kreatif, mem­berikan pengalaman belajar secara aktif, dan mema­du­kan empat keterampilan berbahasa khususnya apabila anak-anak diminta mengarang sendiri naskah drama seder­­hana yang akan dimainkan.
Bentuk lain dalam bermain drama anak-anak ada yang berperan sebagai narator, yakni yang membacakan deskripsi cerita. Anak-anak yang lain memerankan semua pelaku cerita yang telah ditentukan. Dalam memilih nas­kah drama, guru harus mencari naskah drama yang memi­liki perwatakan yang kuat dan menggunakan gaya penya­jian yang lembut. Anak-anak harus memahami karakter pelaku yang akan diperankannya sehingga dapat meme­ran­kannya dengan baik. Dengan kata lain dalam kesem­patan ini para murid dapat menunjukkan kemampuannya dalam menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa lisan yang ekspresif, sebagai ungkapan perasaan dan pikiran.

C. Meningkatkan kemampuan Berbahasa Lisan Melalui Dra­ma­tisasi Kreatif
Salah satu kompetensi dasar pembelajaran yang erat kaitan­nya dengan peningkatan kemampuan berbahasa lisan adalah bermain peran dramatisasi. Dalam kegiatan dramatisasi anak akan merasa nyaman dalam keleluasaan gerak sesuai dengan skenario drama tersebut sehingga semua anak tanpa kecuali berani tampil dimuka umum. Anak-anak melalui kegiat­an drama juga dapat menghasilkan reaksi-reaksi eks­presi spontan yang kreatif. Artinya, melalui dramatisasi ini anak dapat memecahkan masalah berdasarkan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan pemahamannya sendiri. Jadi tidak perlu merasa enggan dalam mengembangkan kemam­puan berbahasa lisan melalui dramatisasi ini, demi kebaha­gia­an yang akan diperoleh para siswa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat pendapat Harjasujana dalam Supriatna (2003: 15) yang menyatakan bahwa pengalaman dan penge­tahuan seni drama akan meningkatkan “kepekaan terhadap rasa keindah­an” pada diri siswa.
Dengan pengalaman bersastra, khususnya dramatisasi, sis­wa belajar secara menyeluruh tentang mengalami sesuatu yang terjadi pada diri manusia, dalam perjalanan hidupnya yang menyenangkan, yang diamati, yang dipikirkan, yang dipra­­karsai, dan yang dikerjakan bersama-sama. Pengalaman menjadikan siswa lebih arif dan lebih mampu untuk mengatasi masalah-masalah panik.
Dramatisasi adalah salah satu strategi pembelajaran yang diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah itu. Strategi ter­sebut menempatkan seseorang di dalam situasi orang lain. Di samping itu, dramatisasi memungkinkan pemerannya untuk belajar watak orang lain, cara bergaul dengan orang lain, cara mendekati dan berhubungan dengan orang lain. Dalam seperti itulah mereka harus memecahkan masalah.
Hal lain yang akan diperoleh dari kegiatan ini adanya tun­tutan untuk mengerti dan memahami pendapat orang lain. Per­bedaan pendapat dalam kehidupan adalah hal yang biasa. Oleh karena itu, lewat dramatisasi seseorang harus mengeluar­kan pendapatnya, mengemukakan argumentasi, serta mem­per­tahankan pendapatnya itu.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam bermain peran sebagai berikut: (1) memperkenalkan fungsi dan man­faat bermain peran; (2) menentukan masalah, masalah ini harus aktual dan penting; (3) memilih pemain dan mengatur adegan; dan (4) menjelaskan pada pemeran dengan baik sehing­ga pemeran tahu tugasnya, menguasai masalahnya, dan pandai berdialog.
Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan dramatisasi ini antara lain: (1) menyenangkan siswa; (2) mengembangkan kreativitas siswa; (3) mengurangi hal-hal yang verbalistis; (4) pengarahan sederhana; (5) memungkinkan terjadinya interaksi antarsiswa; (6) menumbuhkan respons yang positif pada diri siswa; dan (7) menumbuhkan cara berpikir kritis.

D. Menyusun Bahan Pembelajaran Kemampuan Berbahasa Lisan
Sesuai dengan kompetensi dasar pembelajaran kemam­puan kebahasaan lisan untuk menyimak, kegiatannya dapat dipadukan dengan kegiatan menulis, berbicara, dan membaca. Sebagai contoh diangkat model pembelajaran menyimak di kels 5 semester 3.
Langkah pertama menentukan kompetensi dasar, misal­nya mengapresiasikan sastra melalui kegiatan mendengarkan hasil sastra. Selanjutnya dapat dilihat pada materi pokok yaitu pembacaan cerpen anak-anak. Langkah berikut lihat indikator pencapaian hasil belajar.
Berdasarkan indikator tersebut dapat ditentukan perilaku-perilaku siswa yang diharapkan dapat ditunjukkan selama pro­ses pembelajaran. Misalnya, perilaku kegiatan mende­ngar, menjawab pertanyaan, menceritakan kembali, dan membi­cara­kan atau mendiskusikan cerita yang didengar. Kegiatan-kegiat­an tersebut melandasi untuk penyusunan tujuan pembe­lajaran yang akan dicapai.
Pada tahap persiapan pembelajaran ini, guru hendaknya menyiapkan materi pembelajaran. Pemilihan bahan ini mung­kin biasa berupa cerita rakyat harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, tingkat kemampuan siswa, serta sesuai dengan fokus pembelajaran menyimak, maka cerita rakyat tersebut dapat digunakan untuk kegiatan menyimak. Dengan demi­kian, bahan tersebut sesuai dengan tema, subtema, dan gagas­an yang ingin dikembangkan.
Cerita rakyat berikut dapat dikembangkan sebagai bahan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan di atas.

Kisah Aji Saka

Pada suatu hari datanglah seorang laki-laki ke suatu desa yang masih berada di wilayah kekuasaan Medang Kamolan. Laki-laki itu tinggi besar, pakaiannya serba putih, dan kepalanya berbalut serban putih. Ia memperkenalkan dirinya bernama Aji Saka.
Pada saat itu seorang janda bernama Dadap Sari sedang menangis di depan rumahnya. Tiada seorang pun yang mem­pedulikannya. Penduduk desa itu seolah sudah terbiasa membiar­kan orang lain yang bersedih dan menangis seperti itu.
Ketika Aji Saka melintas di depan rumah itu, hatinya tertegun, heran melihat wanita setua itu menangis seperti anak kecil. Lalu dihampirinya orang itu, dan katanya “Apa yang membuatmu menangis Bibi?” Dadap Sari terkejut ketika dilihat­nya seorang laki-laki berdiri di depannya dengan pakaian yang serba putih. “Apakahengkau algojo yang diutus sang raja untuk memancung kepalaku?” Tanya wanita tua itu sambil gemetaran tubuhnya. Aji saka tersenyum, lalu berkata, “Bukan Bibi, aku bukan algojo, aku pendatang baru di negeri ini, namaku Aji Saka.” Janda itu terngaga, tetapi ia belum percaya sepenuhnya sebab ia telah ditetapkan dijadikan korban oleh kepala desanya untuk memenuhi perintah raja.
“Ceritakan padaku, Bibi, apa yang terjadi di negeri ini”, Tanya Aji saka ingin mengetahui lebih jauh. “Aku akan berusaha menolong, Bibi”, katanya meyakinkan.
Sambil mengusap air matanya, perempuan itu berkata, “Tuan tidak seorang pun yang dapat menolongku, sebab leherku akan dipotong oleh algojo kerajaan atas peintah Gusti Prabu Dewata Cengkar.” Aji Saka keheran-heranan, lalu bertanya, “Apa salahmu mengapa Bibi akan dipenggal lehernya”. Sungguh aku tidak melakukan kesalahan apa-apa”, jawabnya. “Lalu mengapa Bibi harus menerima perlakuan yang demikian kejam”, Tanya Aji Saka penuh selidik.
Dadap Sari menengok ke kanan dan k e kiri, takut ada orang yang turut mendengarkan percakapannya. Kemudian ia berkata setengah berbisik. “Baginda senang makan daging manusia”. Aji Saka terkejut, matanya terbelalak.
Setelah beberapa lama terdiam, Aji saka sambil tersenyum berkata, “Baiklah, Bibi jangan takut aku akan menggantikan Bibi. “Kau masih muda tuan, jangan korbankan dirimu untuk orang yang sudah setua ini, biarkan aku menerima takdirku”, kata perempuan itu. “Tidak, Bibi, perbuatan ini tidak bias terjadi, izinkan saya menggantikan Bibi”, pinta Aji Saka dengan tegas.
Tidak lama datanglah utusan Gusti Prabu Dewata Cengkar yang akan mengambil Dadap Sari. Aji Saka menemui­nya dan memintanya agar dapat menggantikan Dadap Sari. Sudah barang tentu dengan senang hati utusan itu mengabul­kannya sebab Aji Saka pasti akan jauh menyenangkan Sang Prabu Dewata Cengkar, tubuhnya gemuk lagi pula masih muda.
Di hadapan sang Prabu, Aji saka mengemukakan permin­taannya yang terakhir sebelum kematiannya, yaitu tanah selebar ikat kepala yang melilit di kepalanya. Tanpa pikir panjang lagi Sang Prabu Dewata cengkar mengabulkan permintaan itu. Aji saka meminta agar sang Prabu sendiri yang memegang ujung kain itu agar dapat mengetahui seberapa lebar kain itu.
Ternyata, seketika itu juga kain ikat kepala Aji Saka men­jadi lentur. Setiap kali kain itu ditarik oleh sang Prabu, kain itu ber­tambah lebar dan panjang sehingga menutupi seluruh wila­yah kerajaan itu.
Setelah beberapa lama kain itu ditarik, sampailah di ujung pantai selatan. Gusti Prabu yang keheran-heranan mulai sadar akan tipu muslihat Aji Saka. Namun, sebelum ia menyadari sepenuhnya akan bahaya yang akan mengancam dirinya, Aji Saka telah melecutkan kain itu dan terdamparlah Prabu Dewata Cengkar ke tengah laut. Konon berubahlah tubuh sang Prabu itu menjadi buaya putih di laut selatan.
(Dari Serat Aji saka dengan sedikit perubahan)

Langkah selanjutnya adalah merencanakan kegiatan pem­belajaran. Kegiatan ini lebih baik dimulai dengan kegiatan menyimak. Kemudian, apa yang dilakukan setelah menyi­mak? Untuk menyusun langkah-langkah pembelajaran guru harus mem­perhatikan tujuan pembelajaran, dalam hal ini adalah apa yang telah dijadikan indikator pembelajarannya. Teknik apa yang digunakan dalam pembelajaran harus dipandu oleh tuju­an atau indikator yang akan dicapai dalam pembelajaran terse­but.
Langkah akhir dari kegiatan ini adalah merencanakan eva­luasi pembelajaran. Evaluasi disusun berdasarkan tujuan atau indikator yang akan dicapai dalam pembelajaran terse­but. Evaluasinya dapat berupa tes perbuatan, tes lisan atau tes ter­tu­lis.
Rencana pembelajaran di atas, dituangkan ke dalam silabus pembelajaran berikut sebagai latihan. Berikut akan disajikan semacam form (bentuk) silabus pembelajaran untuk setiap bidang studi/mata pelajaran. Form silabus di bawah ini hanya merupakan salah satu contoh saja.

SILABUS PEMBELAJARAN

Mata Pelajaran ………………………………………………..
Satuan bahasan ………………………………………………
Kelas/semester ……………………………………………….
Alokasi Waktu …………………… jam pertemuan………..

A. Kompetensi Dasar
………………………………………………………………
………………………………………………………………
B. Hasil Belajar
………………………………………………………………
………..……………………………………………………...
C. Indikator
………………………………………………………………
………………………………………………………………
D. Langkah-langkah Pembelajaran
1. ………………………………………………………….
2. ………………………………………………………….
3. dst.

E. Sarana dan Sumber Belajar
………………………………………………………………
………………………………………………………………
F. Evaluasi/Penilaian
1. Tertulis
2. Kinerja (performance)
3. Produk
4. Penugasan
5. Portofolio

Finochiaro dan Brumfit (dalam Purwo, 1997:5) menge­mu­ka­kan ciri-ciri pokok pengajaran bahasa yang menggunakan pen­dekatan komunikatif. Pada pendekatan ini pusat kegiatan kelas lebih banyak berpusat pada siswa. Peranan guru dalam pem­belajaran bertugas sebagai fasilitator. Jadi, siswa diberi kele­luasaan lebih besar untuk bertanggung jawab dan ber­kreativitas dalam proses belajar. Sebagai fasilitator guru meng­koordinasikan kegiatan siswa dan harus menjamin bahwa kegiatan kelas berjalan baik.
Untuk dapat mengembangkan kemampuan komunikatif diperlukan syarat-syarat: (a) situasi hidup yang bermakna dan otentik; (b) motivasi; (c) kebebasan menggunakan bahasa; (d) kebebasan berkreasi dan bereksperimen bahasa; (e) ling­kung­an kelas yang mendukung tanpa takut menjadi bahan tertawa; dan (f) pemberian anugerah dianggap lebih utama daripada kri­tik terhadap kesalahan.
Selain teks drama yang bisa didramatisasikan, Rusyana (1992) menyarankan agar puisi pun dapat didramatisasikan. Demikian pula nyanyian-nyanyian yang berupa puisi anak-anak biasa didramatisasikan.
Mendaramatisasikan sebuah drama, misalnya drama kar­ya sastra Angkatan 45 tidak mudah, perlu persiapan-persiapan yang matang dan lebih menghayati isi yang tertuang dalam naskah karya itu.
Untuk mendramatisasikan sebuah drama diperlukan per­siapan tentang tatarias, tatabusana, tatapanggung, tatamusik, dan tatalampu/tatasinar. Namun, kalau drama yang ingin dipen­taskan anak-anak di kelas tidak harus persiapannya seper­ti itu, cukup seadanya. Anak-anak cukup menyiapkan dengan matang, misalnya (a) baca dan pahami isi naskah dra­ma tersebut; (b) perhatikan tokoh-tokoh yang ada dan peran masing-masing; (c) perhatikan perwatakannya dan gambaran pos­tur tubuhnya; (d) pahami urutan peristiwa dan tokoh-tokoh yang berperan atau yang berdialog; dan (e) pahami dan hafalkan setiap gerak dan mimik serta ucapan tokoh yang Anda perankan pada setiap peristiwa.
Selain itu, berpidato bisa pula digunakan untuk mengem­bangkan kemampuan komunikatif. Menurut Roos dan Roe dalam Rafi’uddin dan Zuhdi (2001:14-15) ada empat langkah dalam menyiapkan dan menyajikan pidato yang dikerjakan oleh anak-anak dalam belajar berpidato sebagai berikut (1) merencanakan pidato; (2) menyusun pidato; (3) memprak­tikkan; dan (4) menyampaikan pidato.
Untuk merencanakan sebuah pidato yang baik, perlu dilak­­sanakan persiapan atau perencanaan pidato, yang meli­puti:
a) Meneliti masalah, yang meliputi (1) menentukan maksud pidato, (2) menganalisis pendengar dan suasana, dan (3) memi­lih dan membatasi topik pidato.
b) Menyusun pidato, yang mencakup: (1) mengumpulkan bahan pidato, (2) membuat outline atau kerangka pidato, dan (3) menguraikan secara mendetail bahan pidato.
c) Latihan oral: melatih dengan suara nyaring.

Harus diingat bahwa tidak ada suatu keharusan untuk mengikuti tata urut dari langkah-langkah di atas. Perubahan dapat dilakukan sepanjang masih dalam kelompok yang sama, misalnya seorang pembicara bisa menganalisis pendengar dan suasana dulu, baru kemudian menentukan maksud pem­bi­ca­raan, untuk selanjutnya memilih dan membatasi topik diubah urutan­nya.
Sebuah pembicaraan harus mempunyai tujuan tertentu. Urai­an sebuah pembicaraan harus berdasar pada topik ter­tentu yang ingin disampaikan kepada para pendengarnya, dan mengharapkan suatu reaksi tertentu dari para penyimaknya. Oleh karena itu, dalam menentukan sebuah pembicaraan, pem­bicara hendaknya memikirkan tanggapan apa yang diingin­kan dari para pendengar. Pembicara tentu mengingin­kan agar pendengar yakin atau memahami sebaik-baiknya per­­soalan yang dikemukakan. Pembicara misalnya dapat meng­­harapkan tindakan tertentu dari para pendengar sesudah pembicaraannya selesai. Bila pembicara tetap memperhatikan apa yang dimaksudkan, serta memerlukan tanggapan-tang­gap­an maupun reaksi-reaksi yang tertentu, maka ia cukup banyak menghemat waktu dengan menghindarkan hal-hal yang tidak relevan atau esensial.
Skor pidato dapat diperoleh dengan menggunakan lem­bar pengamatan seperti di bawah ini. Guru bersama murid-murid menggunakan cerita yang tertera dalam lembar penga­matan, untuk mengevaluasi penyajian pidato.

Lembar Pengamatan Pidato
Lembar …………

Aspek yang Dinilai
Nilai
A. Persiapan
1. Penampilan (keluwesan, keberanian, kesopanan)
2. Penggunaan bahasa: ucapan, intonasi, struktur
3. Perhatian terhadap pendengar, volume, suara, kejelasan, dan kontak mata
4. Kesiapan

B. Susunan Pidato
1. Tersusun baik
2. Informasi: tepat, lengkap, sesuai, tidak ketinggalan zaman

C. Hasil
1. Pengaruh terhadap pendengar

10

20

15

10

10

10


15
Jumlah
100
Rangkuman
Di dalam meningkatkan kemampuan kebahasaan lisan, peran guru dalam memberi teladan dan partisipasi aktif siswa sangat diperlukan. Guru perlu memberikan kesempatan kepa­da para siswa untuk saling menyampaikan pendapatnya seca­ra lisan. Di samping itu, guru juga perlu memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapatnya, baik usulan, masukan, kri­tik yang konstruktif secara spontas, dan menerima kritik secara terbuka.
Penyimak perlu mengetahui konteks wacana yang disi­mak. Pengetahuan yang telah dimiliki yang relevan membantu keberhasilan menyimak. Faktor utama dalam mencapai keber­hasilan menyimak adalah keterlibatan penyimak.
Berbagai cara dapat digunakan untuk meningkatkan kemam­puan menyimak. Misalnya guru bercerita dan anak-anak diminta mendiskusikan sebagian cerita yang patut dipuji dan yang masih perlu diperbaiki. Hendaknya, guru juga ber­tindak sebagai penyimak yang baik, menyimak pertanyaan sis­wa secara cermat baru menjawabnya. Siswa dibiasakan mela­ku­kan hal yang serupa. Berikan kesempatan yang cukup banyak untuk bekerja dalam kelompok.
Peningkatan kemampuan berbicara di kelas tinggi SD ada­lah secara vertikal, tidak secara horizontal. Maksudnya, pada awalnya anak-anak sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap lengkap tetapi belum sempurna. Makin lama strukturnya makin bervariasi, dan seterusnya.
Ada tiga cara untuk meningkatkan kemampuan berbicara secara vertikal: Pertama menirukan pembicaraan orang lain. Kedua, mengembangkan bentuk-bentuk ujaran yang telah dikuasai. Ketiga, mensejajarkan bentuk ujaran sendiri dengan bentuk ujaran orang dewasa yang sudah benar.
Kegiatan-kegiatan yang dapat digunakan untuk mengem­bang­kan dan meningkatkan kemampuan berbicara ialah ber­cerita, bermain drama, berpidato, berpartisipasi dalam diskusi, wawancara, bercakap-cakap, bertanya, berpuisi, dan curah pen­dapat.