Senin, 12 April 2010

Artikel Penelitian_Contextual Teaching and Learning di Program Studi PGSD UNS

ARTIKEL PENELITIAN

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATAKULIAH PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DI PROGRAM STUDI PGSD UNS

Oleh:

St.Y. Slamet

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

ABSTRAK

St.Y. Slamet dan Heman J. Waluyo. Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sebelas Maret. Laporan Penelitian. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2009.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar di Program Studi PGSD UNS. Adapun tujuan penelitian secara khusus, yaitu (1). merumuskan kebutuhan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar; (2) mengembangkan prototype menjadi bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL); (3) mengetahui keefektifan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL; dan (4) mengetahui kelayakan bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan CTL.

Penelitian ini dilaksanakan di kampus Program Studi PGSD UNS. Jl. Slamet Riyadi 449 telepon dan Faksimil (0271) 714031 Surakarta.

Waktu yang dibutuhkan di dalam pelaksanaan penelitian ini adalah selama 6 bulan (bulan Mei 2009 hingga November 2009). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan (research and devolepment ). Penelitian ini menggunakan rancangan (design) yang menetapkan empat tahap, yaitu (1) tahap eksplorasi, (2) tahap pengembangan draf model, (3) tahap pengujian model, dan (4) tahap diseminasi. Teknik analisis data di dalam penelitian ini dikenakan pada tahap pengujian model. Pada tahap uji coba utama ini teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan Uji-t non-independent. Untuk menguji keefektifan dilakukan dengan teknik uji t independent. Sebelumnya perlu dicari dahulu korelasi nilai keefektifan bahan ajar lama dan baru, rata-rata, simpangan baku, dan varians. Yang dikorelasikan adalah nilai total (nilai kolom jumlah pada bahan ajar baru dan lama). . Penghitungannya menggunakan program SPSS untuk menemukan nilai-nilai yang diperlukan untuk menghitung harga t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penelitian pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL sebagai berikut (1) kebutuhan bahan ajar menurut dosen dan mahasiswa adalah (a) sesuai dengan kerikulum (KBK) yang berlaku, (b) isi pembelajaran sesuai dengan tujuan berbahasa dan bersastra, (c) menggunakan tema pembelajaran bahasa Indonesia SD dengan pendekatan CTL, (d) mengaktifkan mahasiswa, (e) materi jelas, menarik, dan mudah dipahami, dan (f) siap pakai; (2) mengembangkan prototype menjadi bahan ajar, dapat berupa (a) buku materi ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar untuk PGSD, (b) tugas bahan ajar bersifat otentik, dilaksanakan secara mandiri dan kelompok, dan (c) isi materi dan tugas latihan dapat mengembangkan keterampilan berbahasa dan bersastra dan wawasan intelektual.; (3) hasil uji keefektifan produk bahan ajar dengan uji-t menunjukkan bahwa bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL untuk PGSD adalah efektif; dan (4) hasil uji kelayakan pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL berdasarkan tanggapan responden dinyatakan baik dan layak untuk digunakan. Rata-rata komponen kelayakan isi/materi, kebahasaan, penyajian materi, dan grafika adalah 74,83%.

Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, disarankan sebagai berikut (1) bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL yang sudah disusun ini agar dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar di PGSD (2) buku pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL ini cocok untuk mahasiswa karena materinya disesuaikan dengan alam sekitar; dan (3) bagi pengembang berikutnya dapat menemukan strategi baru dengan model lain karena pengembangan bahan ajar ini merupakan sebagian kecil dari model pengembangan bahan ajar yang ada..

Kata Kunci: Bahan ajar, pembelajaran bahasa Indonesia, SD, dan pendekatan CTL

A. PENDAHULUAN

Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik. Bahasa merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Untuk itu pembelajarannya diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Di samping itu pembelajaran bahasa juga menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penggunaan berbahasa Indonesia oleh peserta didik tersebut dilakukan baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

Kebijakan pemerintah berkaitan dengan hal tersebut,dapat diikuti dari berlakunya kurikulum berbasis kompetnsi (KBK) saat ini. Dalam kurikulum ini disebutkan fungsi pengajaran bahasa Indonesia, antara lain (1) sebagai sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sebagai sarana pemahaman khasanah kesastraan Indonesia.

Di dalam KBK yang implementasinya berwujud Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP), bahasa Indonesia disajikan materi pokok dengan berbagai aspek pada standar kompentensi yang terdiri atas (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Di dalam materi bahasa Indonesia tersebut termasuk materi sastra Indonesia yang disajikan secara implisit ke dalam keempat aspek kemampuan berbahasa tersebut. dengan proporsi yang memadai (secara proporsional).

Fenomena kurang berhasilnya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar di PGSD yang dapat dikatakan paling dominan saat ini adalah rendahnya tingkat penguasaan berbahasa mahasiswa. Hal ini disebabkan antara lain adanya keterbatasan bahan ajar. Bahan ajar yang harus dipelajari dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurang memadai. buku-buku perkuliahan yang ada belum sepenuhnya menunjang keberhasilan berbahasa mahasiswa (St.Y. Slamet, 2008:2).

Permasalahan lain yang juga ditemui adalah proses pembelajaran masih konvensional. Pembelajaran didominasi oleh dosen, dan dosen kurang memiliki bahan ajar yang memadai serta diasjikan tidak sesuai dengan minat dan kondisi mahasiswa sehingga menyebabkan tingkat penguasaan berbahasa menjadi rendah (St.Y. Slamet, 2004: 8). Hal ini terjadi karena salah satu di antaranya bahan ajar yang disajikan kurang sesuai dengan konteks yang ada.

Hal lain yang menyebabkan tingkat kemampuan berbahasa dan mengapresiasi karya sastra rendah adalah karena pengajar pengajar mengalami kesulitan dalam mengajarkan karya sastra secara apresiatif (Burhanudin Mustafa, 2005:12). Selama ini, pengajar hanya menggunakan metode pembelajaran dengan melakukan ceramah dan menggunakan bahan ajar yang berasal dari buku teks perkuliahan bahasa Indonesia yang ada. Cara tersebut dirasakan kurang apresiatif karena pengajar hanya menjelaskan mengenai hal-hal yang umum saja dan sifatnya hanya teori. Hal tersebut menjadikan mahasiswa sama sekali kurang mengetahui mengenai hakikat kebahasaan dan apresiasi sastra sebagaimana mestinya. Dengan demikian, di dalam pembelajaran bahasa Indonesia masih dibutuhkan model bahan ajar seperti yang diharapkan dapat digunakan untuk mencapai target sesuai tuntutan kurikulum.

Permasalahan lain, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah masih cenderung berorientasi pada buku teks (text book oriented) dan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2005:iii). Mahasiswa mengalami kesulitan untuk memahami konsep berbahasa dan bersastra. Pengajar biasa menggunakan sesuatu yang abstrak dan kebanyakan menggunakan metode ceramah. Akibatnya motivasi belajar mahasiswa sulit ditumbuhkan dan pola belajar mahasiswa cenderung menghafal bahan ajar.

Paradigma pendidikan modern telah mengubah beberapa prinsip pembelajaran. Semula arah pembelajaran bersifat behavioristis, yaitu pembelajaran yang menekankan pentingnya latihan berulang-ulang (drill) untuk menumbuhkan kebiasaan (hebit), kini berkembang dan berubah menjadi pembelajaran yang bersifat konstruktivistis, yaitu pembelajaran yang menekankan pentingnya peran kognitif untuk mengkonstruksi informasi (Dian Roesmiati, 2005:9). Orientasi pembelajaran yang bersifat teacher oriented kini ditinggalkan orang dengan menggantinya ke pembelajaran berorientasi pada mahasiswa (student oriented), salah satunya dengan penerapan paradigma baru, yaitu pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) atau yang biasa dikenal dengan istilah pembelajaran kontekstual.

Di dalam pembelajaran CTL, mahasiswa dibekali pengetahuan secara luwes (flexible) atau ditransfer dari suatu permasalahan yang lain dari satu konteks personal, sosial, atau budaya ke konteks personal, sosial, dan budaya lainnya (Johnson, 2002). Pembelajaran CTL menyandarkan pada memori spesial. Pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu mahasiswa. Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan konsep yang sedang diajarkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki mahasiswa. Di dalam pelaksanaannya, pembelajaran CTL ini menerapkan penilaian otentik (penilaian sebenarnya)

Pembelajaran CTL merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Pendekatan ini memberikan pengalaman yang lebih relevan dan berarti bagi mahasiswa dalam membangun pengetahuan yang akan diterapkannya seumur hidup melalui hubungan di dalam dan di luar kelas (Depdiknas, 2002). Pembelajaran CTL berusaha menyajikan suatu konsep yang dikaitkannya dengan konsep materi tersebut, sehingga pengalaman belajar yang diperoleh mahasiswa menjadi sebuah pengalaman belajar yang lebih realistis dan biasanya akan berdaya tahan lama.

Penerapan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan CTL secara garis besar dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mengembangkan pemikiran bahwa mahasiswa akan belajar lebih bermakna apabila mereka bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua kelompok; (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan cara memberikan pertanyaan; (4) berusaha menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok); (5) menghadiirkan model sebagai contoh pembelajaran; (6) melakukan refleksi pada akhir pertemuan; dan (7) melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai macam cara asesmen.

Kenyataan-kenyataan seperti demikian itulah mendorong upaya untuk mengembangkan bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia yang ada dengan pendekatan contextual teaching and learning. Atas dasar uraian di atas, maka penelitian tentang Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar di PGSD dengan Pendekatan Contextal Teaching and Learning perlu dilakukan.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia SD dengan pendekatan CTL untuk Program Studi PGSD? Permasalahan ini dijawab dengan prosedur pengembangan bahan ajar. Rincian rumusan masalah berdasarkan prosedur penelitian sebagai berikut: (1) bagaimanakah kebutuhan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar?; (2) bagaimanakah mengembankan prototype menjadi bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan CTL?; (3) seberapa besarkah keefektifan bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan CTL setelah diuji?; dan (4) bagaimanakah kelayakan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan CTL di Program Studi PGSD?

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar di Program Studi PGSD. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) merumuskan kebutuhan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar; (2) mengembangkan prototype menjadi bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan CTL; (3) mengetahui kefektifan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL; dan (4) mengetahui kelayakan bahan ajar pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan CTL di Program Studi PGSD.

Secara teoretis manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi alat untuk mengembangkan teori pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra khususnya bahasa dan sastra Indonesia SD dengan pendekatan CTL untuk tingkat PGSD. Manfaat penelitian secara praktis, yaitu (1) hasil penelitian ini menawarkan salah satu alternatif bahan ajar untuk diterapkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar; (2) dosen memperoleh wawasan baru tentang konsep dan model pembelajaran inovatif melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan CTL dan lebih termotivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan dan model pembelajaran serupa; (3) mahasiswa dapat memperoleh tambahan pengetahuan dan pengalaman tentang berbahasa dan bersastra dalam bentuk menyimak, berbicara, membaca, dan menulis bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan kompetensi dasarnya; dan (4) penulis buku perkuliahan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan refleksi dan bahan pertimbangan penyusunan buku teks Bahasa dan sastra Indonesia yang lebih baik.

Pengembangan bahan ajar merupakan bagian dari pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, prosedur pengembangan bahan ajar harus terkait dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang berlaku sebagai acuan utama. KBK yang diimplementasikan ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau disebut Kurikulum 2006 tersebut dirancang dan dikembangkan oleh warga sekolah dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP), untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.

KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: (1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, kepentingan peserta didik, dan lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan; (4) relevan dengan kebutuhan pendidikan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; dan (7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah (Depdiknas, 2006b: 50-52).

Pengembangan kurikulum bahasa berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan pengembangan kurikulum itu sendiri dan metode pengajaran bahasa. Menurut Richards (1990: 4-7) membedakan berbagai kurikulum bahasa berdasarkan tujuan yang dinyatakan dalam kurikulum. Pernyataan tujuan dalam kurikulum bahasa dapat dikelompokkan ke dalam jenis berbasis kompetensi hasil belajar (behavioral atau competence-based), berbasis keterampilan (skills-based), berbasis isi (content-based), dan skala kemahiran (proficiency-scales).

Proses pengembangan kurikulum mencakup kegiatan penentuan kebutuhan tentang apa yang harus dipelajari, tujuan pembelajaran, silabus, metode, bahan ajar, dan evaluasi. Kegiatan kurikulum tersebut dikenal dengan model sistematis desain pengembangan kurikulum (Brown, 1995:ix). Dalam model sistematis ini pengembangan bahan ajar merupakan bagian dari pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, prosedur pengembangan bahan ajar harus terkait dengan kurikulum yang berlaku sebagai acuan utama.

Pemberlakuan KBK berkonsekuensi pada pengembangan silabus dan bahan ajar yang sesuai dengan kurikulum tersebut. Selain itu, silabus dan bahan ajar yang dikembangkan perlu memperhatikan konsep metode pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa dalam KBK berbasis kompetensi dan bertujuan agar mahasiswa memiliki kompetensi berbahasa. Selanjutnya, hal tersebut diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya sastra.

Tujuan tersebut tertuang dalam standar kompetensi pelajaran bahasa Indonesia. Standar kompetensi pelajaran bahasa Indonesia tersebut merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi tersebut merupakan dasar untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, dan global. Richard (2001:132) menyatakan bahwa pengajaran bahasa dengan competency-based language teaching (CBLT) didasarkan pada model rancangan kurikulum yang memperhatikan faktor efisiensi ekonomi dan sosial yang memberikan kemampuan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Hal itu dilakukan dengan membiasakan siswa aktif, konstruktif, kolaboratif, inovatif, intensional, kontekstual, dan replektif, sehingga menciptakan lingkungan belajar yang bermakna.

Silabus merupakan salah satu bagian terpenting dari kurikulum. Silabus adalah spesifikasi

isi pembelajaran dan daftar yang diajarkan. Nunan (1997:158) mendefinisikan silabus sebagai spesifikasi apa yang diajarkan dan urutan isi suatu program pengajaran bahasa. Silabus, menurut Depdiknas (2006b: 463) adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu mencakup SK, KD, materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.silabus merupakan penjabaran SK, KD ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.

Kecendrungan terkini dalam penyusunan silabus bahasa yang dikemukakan dalam bahan ajar adalah silabus yang mengungkapkan pandangan komunikatif (Richards, 1995:9). Silabus dengan pendekatan komunikatif adalah silabus fungsional, berbasis kompetensi, berbasis teks, dan berbasis tugas (Malmkjaer dan Anderson, 1991:459). Silabus berbasis tugas terbagi atas silabus prosedural, silabus proses, dan silabus berbasis tugas. Ketiga silabus ini diturunkan dari pemikiran tentang bagaimana belajar bahasa bukan dari analisis bahasa. Dengan kata lain, menolak pemikiran pendekatan tematik. Ketiga hal tersebut memiliki perbedaan pendefinisian untuk menentukan isi silabus, menentukan tugas, dan pilihan metodologis (Long dan G. Crookes, 2004:4).

Ditinjau dari isi dan substansinya, pendekatan yang digunakan dalam penyusunan silabus pembelajaran bahasa Indonesia adalah pendekatan terpadu, ditinjau dari aktivitas pembelajarannya mengacu pada pendekatan CTL, pendekatan proses, dan komunikatif.

Pengembanagn silabus dalam penelitian ini mengikuti saran Richards (2001:152) mengatakan bahwa penyusunan silabus dapat berupa situasional (sesuai situasi), topikal (membicarakan topik/tema), fungsional (berfungsi dalam komunikasi) atau berbasis tugas (tugas dan kegiatan berbahasa).

Penyusunan RPP dengan pendekatan CTL memiliki hubungan dengan berbagai strategi pembelajaran. Penerapan pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan CTL perlu diupayakan adanya paradigma baru yang ada pada diri siswa dan guru. Paradigma yang dimaksudkan antara lain: (1) perlu mengubah kebiasaan siswa dari yang pasif menjadi siswa yang aktif; (2) perlu memotivasi siswa agar mau bertanya, memberikan tanggapan serta berperan secara aktif di dalam kelas; (3) guru benar-benar merencanakan strategi yang matang serta mengelola waktu dengan sebaik-baiknya (misalnya pada saat berdiskusi menyampaikan hasil diskusi).

Penerapan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan CTL secara garis besar dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) mengembangkan pemikiran bahwa mahasiswa akan belajar lebih bermakna apabila mereka bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua kelompok; (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan cara memberikan pertanyaan; (4) berusaha menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok); (5) menghadiirkan model sebagai contoh pembelajaran; (6) melakukan refleksi pada akhir pertemuan; dan (7) melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai macam cara (Depdiknas, 2003:1).

Bahan ajar merupakan informasi , alat, dan teks yang diperlukan dosen untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalaj segala bentuk bahan yang digunakan dosen dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis.(Abdul Majid, 2007:174).

Peran bahan ajar dalam pembelajaran menurut Cuningworth (1995:7) adalah penyajian bahan belajar, sumber kegiatan bagi siswa untuk berlatih berkomunikasi secara interaktif, rujukan informasi kebahasaan, sumber stimulan, gagasan suatu kegiatan kelas, silabus, dan bantuan bagi guru yang kurang berpengalaman untuk menumbuhkan kepercayaan diri.

Depdiknas (2008:10) dan dalam http://www.dikmen.go.id. tujuan penyusunan bahan ajar, yakni (1) menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mengembangkan kebutuhan siswa, sekolah; (2) membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar; dan (3) memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Penulisan bahan ajar bermanfaat untuk: (1) membantu guru dalam proses pembelajaran; (2) memudahkan penyajian materi di kelas; (3) membimbing siswa dalam belajar dalam waktu yang lebih banyak; (4) siswa tidak tergantung kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi; dan (5) dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam mengembangkan diri dalam mencerna dan memahami pelajaran.

Apabila guru/dosen ingin mengembangkan bahan ajar sendiri, manfaat yang dapat diperoleh: (1) diperoleh bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sekolah, dan daerah; (2) tidak perlu tergantung pada buku teks; (3) bahan ajar menjadi lebih kaya karena dikembangkan dengan berbagai referensi; (4) menambah khsanah guru dalam menulis; (5) membangun komunikasi pembelajaran guru dan siswa; dan (6) siswa lebih percaya pada gurunya serta kegiatan belajar menajar lebih menarik.

Perlunya pengembangan bahan ajar, agar ketersediaan bahan ajar sesuai dengan kebutuhasn mahasiswa, tuntutan kurikulum, karakteristik sasaran, dan tuntutan pemecahan masalah belajar. Pengembangan bahan ajar harus sesuai tuntutan kurikulum, artinya bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan KBK/KTSP yang mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan. Selanjutnya, karakteristik sasaran disesuaikan dengan lingkungan, kemampuan, minat, dan latar belakang mahasiswa.

Bentuk bahan ajar yang digunakan antara lain: (1) bahan cetak, yakni buku, lembar kerja siswa, komik, koran, dan brosur; (2) audio visual, yakni video/film, VCD, dan LCD; dan(3) visual, yakni foto, gambar, model/maket (Depdikns, 2007:4-29) dan http:www.dikmenum.go.id.

Media pembelajaran menurut Harjanto (2005:237) dikelompokkan menjadi empat jenis, yakni (1) media dua dimensi (grafis), seperti gambar, foto, grafik, bagan, poster, kartun, dan komik; (2) media tiga dimensi, seperti model padat (solid model), model penempang dan model sususn; (3) media proyeksi, seperti film, OHP, dan (4) lingkungan.

Fungsi bahan ajar, yakni (1) pedoman guru dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran; (2) pedoman siswa dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran (substansi kompetensi yang seharusnya dikuasai oleh siswa) antara lain siswa dapat belajar: (a) tanpa harus ada guru atau teman, (b) kapan dan di mana saja, (c) degan kecepatannya masing-masing, (d) melalui uruan yang dipilihn yasendiri, dan (e) membantu mengembangkan potrnsi siswa menjadi pembelajar mandiri; dan (3) alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.

Sumber belajar merupakan sesuatu yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran, berupa buku teks, media cetak, media elektronika, nara sumber, lingkungan alam sekitar, dan sebagainya (Depdiknas, 2008c:9-14). Selanjutnya, menurut Brown (2002:48) sumber belajar dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat memberikan kemudahan siswa dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar. Hal senada dinyatakan oleh Sudiman sumber belajar sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk belajar, yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar (Depdiknas, 2008:6).

Sumber belajar yang telah ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk media, dapat membantu siswa belajar sebagai perwujudan dari kurikulum. Bentuknya tidak terbatas apakah dalam bentuk format perangkat lunak atau kombinasi dari berbagai format yang digunakan siswa ataupun guru.

Cakupan bahan ajar secara umum disusun meliputi: (1) judul, MK, SK, KD, indikator, dan tempat, (2) petunjuk belajar (mahasiswa/dosen), (3) tujuan yang dicapai, (4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, (6) petunjuk kerja, (7) penilaian. Ketujuh bahan tersebut dapat disusun secara sistematis dalam penulisan bahan ajar.

Bahan ajar dapat dikatakan baik apabila memenuhi criteria sebagai berikut: (1) menimbulkan minat pembaca; (2) ditulis dan dirancang untuk digunakan mahasiswa; (3) menjelaskan tujuan yang ingin dicapai; (4) disusun berdasarkan pola ’belajar yang fleksibel’; (5) strukturnya berdasarkan kompetensi akhir yang dicapai; (6) berfokus pada kesempatan siswa berlatih; (7) mengakomodasikan kesukaran belajar siswa; (8) memberikan rangkuman; (9) gaya penulisan (bahasanya) komunikatif dan semi formal (10) dikemas dalam proses instruksional; (11) mempunyai mekanisme mengumpulkan umpan balik siswa; dan (12) mencantumkan petunjuk belajar.

Penyusunan bahan ajar perlu mengikuti langkah-langkah berikut: (1) merumuskan tujuan; (2) melakukan analisis standar kompetensi; (3) menentukan kompetensi dasar; (4) mendeskripsikan indikator; (5) menyusun kerangka bahan ajar; (6) menyusun skenario penulisan; (7) menyusun/menulis bahan ajar; (uji ahli/uji lapangan; (9) revisi; dan (10) digunakan dalam proses belajar mengajar. Menyusun bahan ajar dengan cara ditulis sendiri, dikemas kembali informasi, dan menata kembali informasi yang diperoleh secara sistematis. Dengan demikian memudahkan siswa untuk memahami bahan ajar tersebut.

Pengembangan bahan ajar hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran berikut: (1) mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang konkret untuk memahami yang abstrak,; (2) pengulangan memperkuat pemahaman (lima kali dua lebih baik dua kali lima); (3) umpan balik positif memberikanpemahaman terhadap siswa; (4) motivasi yang tinggi merupakan salah satu aspek faktor penentu keberhasilan belajar; (5) mencapai tujuan; dan (6) mengetahui hasil yang dicapai (Depdiknas, 2008:11).

Penyiapan bahan ajar merupakian hal pokok yang dilakukan sebelum berlangsungnya proses belajar mengajar. Tindakan utama pembelajaran dapat diaplikasikan dalam proses pengembangan bahan ajar (Shulman dalam Agus Triyanto, 2005:10). Tahap-tahap pengembangan bahan ajar, menurut Jolly dan Balitho (dalam Tamlinson, 1998:98) sebagai berikut: (1) identifikasi kebutuhan guru dan siswa; (2) penentuan kegiatan eksplorasi kebutuhan materi; (3) realisasi kontekstual dengah mengajukan gagasan yang sesuai dengan pemilihan teks dan konteks bahan ajar; (4) realisasi pedagogis melalui tugas dan latihan; (5) produksi bahan ajar; (6) penggunaan bahan ajar oleh siswa; (7) evaluasi bahan ajar. Rancangan bahan ajar menurut Richards (2002:262) meliputi: (1) pengembangan tujuan; (2) pengembangan silabus; (3) pengorganisasian bahan ajar ke dalam unit-unit pembelajaran; (4) pengembangan struktur per unit; dan (5) pengurutan unit.

Aspek-aspek yang dinilai pada buku ajar, meliputi: (1) materi, (2) penyajian, (3) bahasa dan keterbacaan, dan (4) grafika (Depdiknas, 2003:2). Selanjutnya, menurut Pedoman Pengembangan Bahan Ajar Depdiknas (2008:29) komponen evaluasi bahan ajar mencakup: (kelayakan isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafian.

Evaluasi bahan ajar dilakukan dengan tahap uji coba atau uji lapangan dilakukan sebelum bahan ajar terpublikasikan. Hal itu dilakukan untuk melihat kefektifan bahan ajar, apakah bahan ajar telah baik ataukah masih ada hal yang perlu direvisi. Teknik evaluasi dilakukan dengan berbagai cara, antara lain evaluasi dengan teman sejawat, evaluasi dari pakar, dan uji coba terbatas kepada siswa.

Ada empat karakteristik dalam pembelajaran bahasa (Brown, 2000: 266-267). Keempat karakteristik pelajaran bahasa yang komunikatif tersebut menekankan: (1) tujuan pelajaran difokuskan pada semua kompetensi dan tidak dibatasi pada kompetensi struktur bahasa/linguistik; (2) cara pelajaran didesain untuk mengajak siswa dalam menggunakan bahasa yang fungsional, otentik, dan pragmatis untuk tujuan yang mempunyai makna tertentu. Bentuk-bentuk bahasa yang terayur bukan menjadi penekanan utamanya, tetapi pada aspek-aspek bahasa yang membuat siswa dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut; (3) kelancaran dan ketepatan dipandang sebagai prinsip-prinsip pelengkap yang mendasari teknik-teknik komunikatif. Kadang-kadang kelancaran mungkin harus dapat ditekankan daripada ketepatan, agar siswa dapat menggunakan bahasa sesuai dengan makna yang diharapkan; dan (4) dalam kelas yang komunikatif, siswa pada hakikatnya harus menggunakan bahasa secara produktif dan dapat diterima dalam konteks tanpa latihan atau persiapan.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menekankan pada aspek kinerja dan kemahiran berbahasa Indonesia sesuai dengan hakikat dan fungsi bahasa, yaitu komunikatif yang mencerminkan ciri khas pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan deemikian, pembelajaran tidak bertitik tolak pada sistem bahasa, melainkan bertitik tolak pada bagaimana menggunakan bahasa secara baik dan benar sesuai pada sistem bahasa Indonesia. Artinya, sistem bahasa tidak dibahas secara terpisah, tetapi diajarkan secara terpadu dengan kompetensi yang lainnya dalam pelajaran yang sedang berlangsung. Selanjutnya, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus mencerminkan keterkaitan antaraspek keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis) yang dpayungi dalam satu tema (Depdiknas, 2007:4).

Keterampilan berbahasa bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui uraian definisi dan penjelasan-penjelasan. Keterampilan berbahasa tidak dapat dilakukan dengan menghafal saja. Kegiatan berbahasa hanya diraih dengan melakukan dan latihan secara kontinyu. Hal senada diungkapkan oleh Vernon A.Magnesem dalam Dyden (2003:100) mengatakan bahwa kita belajar akan mendapatkan 10% dari membaca, 20% dari mendengar, 39% dari melihat, 50% dari melihat dan mendengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari yang dikatakan dan dilakukan.

Prinsip yang mendasari guru/dosen mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama, menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi seharí-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi zaherí-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa Indonesia yang Sangat linguistis. Prinsip kedua, menekankan bahwamelalui pelajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menagkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Prinsip ketiga, mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan dan tulis (Depdiknas, 2004:8).

Saat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar siswa di Indonesia. Artinya, ketika masuk sekolah, siswa mulai memasuki lingkungan berbahasa Indonesia, karena dalam proses belajar mengajar menggunakan bahasa Indonesia. Tugas guru adalah meningkatkan kemampuan itu melalui kegiatan berbahasa Indonesia yang nyata, bukan mengajarkan ilmu tentang bahasa Indonesia.

Bahan ajar untuk pembelajaran bahasa Indonesia sekolah dasar di PGSD dibedakan menjadi dua, yaitu bahan ajar bahasa Indonesia di kelas rendah (awal) dan bahan ajar bahasa Indonesia di kelas tinggi. Kelas rendah (awal) untuk pembelajaran bahasa Indonesia meliputi kelas 1 dan 2, sedangkan kelas tinggi meliputi, kelas 3-6.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada hakikatnya adalah pembelajaran keterampilan berbahasa dan bersastra, bukan hanya menekankan pembelajaran tentang pengetahuan bahasa (St.Y. Slamet, 2008: 6). Tata bahasa, kosakata, dan sastra disajikan dalam konteks, yaitu dalam kaitannya dengan keterampilan tertentu yang tengah diajarkan, bukan hanya sebagai pengetahuan tata bahasa, teori pengembangan kosakata, dan teori sastra sebagai atau alat penjelas.

Keterampilan-keterampilan berbahasa yang perlu ditekankan pembelajaran berbahasa Indonesia adalah keterampilan reseptif (keterampilan mendengarkan dan membaca) dan keterampilan produktif (ketrampilan berbicara dan menulis). Pembelajaran keterampilan berbahasa diawali dengan pembelajaran keterampilan reseptif, sedangkan keterampilan produktif dapat turut tertingkatkan pada tahap-tahap selanjutnya. Seterusnya peningkatan keduanya itu menyatu sebagai kegiatan berbahasa yang terpadu.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pembelajaran bahasa Indonesia adalah pembelajara keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa dibesakan menjadi dua, yaitu keterampilan berbahasa reseptif dan produktif. Pembelajaran keterampilan berbahasa reseptif dibedakan atas keterampilan (1) mendengarkan dan (2) membaca.

Mendengarkan dan menyimak meupakan dua hal yang berpadanan kata (bersinonim). Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan penyamaan persepsi antara keduanya. mendengarkan. sebagai salah satu keterampilan berbahasa yang cukup mendasar dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, kegiatan mendengarkan (menyimak) lebih banyak dilakukan daripada kegiatan berbahasa lainnya.

Ada empat langkah dalam pembelajaran mendengarkan (Puji Suyoto, 2005: 4-5), yaitu (1) mendengar, (2) memahami, (mengevaluasi, dan (4) merespon. Langkah pertama, mendengar sederet bunyi kata-kata. Kedua, mengevaluasi pemahaman kata-kata yang didengar. Ketiga, mengevaluasi dengan cara menolak atau menerima ide yang disampaikan; dan keempat, memberi respon terhadap makna kata yang didengar dengan ekspresi muka atau anggota badan..

Pengukuran keterampilan menyimak dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar dan dapat diklaksanakan secara khusus (saat uji blok). Pengukuran tersebut dapat meminta mahasiswa untuk mengunkapkan kembali secara lisan/tertulis tentang apa yang telah didengarkan (disimak) nya dan menjawab pertanyaan yang telah disediakan guru berdasarkan apa yang telah disimak/didengarkan. Evaluasi pembelajaran menyimak/mendengarkan pada penelitian ini, menekankan pada pemahaman siaran atau cerita dan puisi yang disampaikan secara langsung/tidak langsung.

Membaca merupakan aktivitas mental untuk memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan (Nurgiantoro, 2001:246). Senada bdengan pendapat tersebut, Bambang Kaswanti Purwo (1997:5) membaca dalah kegiatan aktif, untuk itu pembaca perlu dilatih agar dapat mengkomunikasikan dua hal, yakni (1) apa yang sudah diketahui pembaca dan (2) isi tulisan yang sedang dibaca.

Sementara itu, White (1997:22) menyatakan bahwa di dalam kegiatan membaca itu sebenarnya ada dua tahapan yang terpisah. Pertama, decoding yaitu menguraikan dan mengetahui lambang-lambang, kemudian memahami hubungan antara yang tercetak pada halam dan bunyi bahasa itu. Kedua, comprehention (tahapan pemahaman). Pada tahapan ini sudah ada kemungkinan untuk membaca sepotong-potong dalam rangka memahami bacaan. Pemahaman ini lebih dari sekadar decoding. Pemahaman di sini sudah meliputi pemahaman terhadap pentingnya pesan, memahami maksud penulis, dan diketahui, apakah itu pemikiran ataupun kata-kata yang sederhana. Hal tersebut dapat dicapai dengan sangat baik melalui global terhadap teks.

Kegiatan membaca pada hakikatnya kegiatan berkomunikasi. Kinneavy (dalam Mulyati, 1995:14) menyatakan bahwa dalam setiap tindakan komunikasi, sekurang-kurangnya terdapat empat komponen pokok, yaitu (1) encoder (pengirim pesan), (2) sinyal (bahasa), (3) kenyataan/realitas (yang ditunjukkan oleh pesan), dan (4) decoder (orang yang menerima pesan).

Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan terbagi dalam tiga kategori: (a) berkenaan dengan pembaca, (b) berhubungan dengan penulis, dan (3) berkenaan dengan teks (Burnes, 1985: 46). Ketiga faktor tersebut harus ditangani secara serempak untuk mencapai kemampuan membaca yang diharapkan.

Faktor penentu keberhasilan seseorang membaca adalah ketrampilan pemahaman terhadap kebahasaan dan keterampilan nonkebahasaan. Untuk itu, dalam mengevaluasi keterampilan membaca perlu mengangkat kedua faktor tersebut dengan menggunakan alat penilaian berupa tes maupun nontes.bentuk tes dapat berupa tes objektif (pilihan ganda) dan tes uraian. Materi tes membaca berasal dari bahasa tulis otentik murni dan wacana otentik yang disimulasikan. Selanjutnya, bentuk nontes dapat dilakukan melalui observasi dan wawancara.

Berbeda halnya dengan pembelajaran ketrampilan berbahasa Indonesia secara produktif. Pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia secara produktif dibedakan atas dua macam, yakni (1) keterampilan berbicara dan (2) keterampilan menulis.

Di dalam komunikasi tentu ada dua pihak yang berperan sebagai penyampai maksud . agar komunikasi terjadi dengan baik, maka kedua pihak juga harus dapat bekerja sama dengan baik. Kerjasama yang baik itu dapat diciptakan dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain memperhatikan siapa yang diajak berkomunkasi, situasi, tempat, isi pembicaraan, dan media yang digunakan (Depdiknas, 2001 http://www.puskur.or.id/data/KD-bhs.ind-2RTF).

Berbicara sesungguhnya merupakan kemampuan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan (Widdowson, 1978:59). Berbicara dapat pula dimaknai sebagai kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan (Brown & Yuli, 1983:2).

Keterampilan berbicara adalah kemapuan mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi untuk berekspresi, menyampaikan pikiran dan gagasan. Untuk dapat menyampaikan informasi yang efektif, pembicara sebaiknya memahami isi pembicaraan. Menjadi pembicaraan yang baik, harus memberikan kesan terhadap penguasaan topik yang dibicarakan. Selain itu, harus berbicara dengan jelas dan tepat.

Beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pembicara, agar efektif dalam berbicara, yakni (1) faktor kebahasaan, mencakup: (a) ketepatan ujaran, (b) penempatan tekanan, nada, seni, dan durasi yang sesuai, (c) pilihan kata, dan (d) ketepatan sasaran pembicara; (2) faktor nonkebahasaan, mencakup: (a) sikap yang wajar (tanang dan tidak kaku), (b) pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara, (c) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (d) gerak-gerik dan mimik yang tepat, (e) volume suara, (f) kelancaran ucapan, (g) relevansi/penalaran, (h) penguasaan topik, (i) penyimak, dan (j) lingkungan.

Kemampuan berbicara dapat maksimal jika didukung oleh duakemampuan: (a) kemampuan rutinitas, yakni menyusun apa yang harus dikomunikasikan dengan pola-pola khusus, dan (b) kemampuan negosiasi, yakni kemampuan mengembangkan kecakapan dalam memecahkan seluruh permasalahan komunikasi yang dapat diharapkan dalam bicara/bertukar informasi.

Berbicara pada dasarnya merupakan komunikasi dua arah yang dilakukan manusia secara lisan. Dalam proses komunikasi tersebut terdapat komponen-komponen yang saling terkait, yakni (1) komunikator (pembicara); (2) pesan yang hendak disampaikan; (3) chanel, satu saluran penyampai pesan; dan (4) komunikan (pendengar). Komponen-komponen tersebut membentuk suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan dan sama pentingnya untuk mencampai tujuan dalam berkomunikasi. Jika hilang satu komponen, maka proses berbicara akan terganggu dan komunikasi menjadi terhambat.

Kemampuan seseorang berbicara dengan menarik di depan publik ditentukan oleh beberapa fraktor, seperti format atau kerangka pokok pikiran pembicaraan, sikap dan kebiasaan dalam pembicaraan, materi yang tepat dan akurat. Selain itu ditentukan oleh kekayaan kosakata yang dimiliki pembicara, intonasi, gaya bahasa, dan kelancara atau kecepatan dalam berbicara (Muji Wiryadi, 1996: http://www.suaramerdeka.com/harian/1212/19.x.nas.html).

Alat ukur untuk mengevaluasi keterampilan berbicara adalah tes dan nontes. Keberagaman alat ukur tersebut muncul karena keterampilan berbicara memiliki karakteristik tersendiri. Keterampilan berbicara tidak hanya melibatkan aspek kognitif saja, tetapi juga melibatkan aspek psikomotorik.

Untuk mengevaluasi kemampuan berbicara tidak cukup hanya dari satu sisi saja, yaitu aspek verbal yang berupa aspek kebahasaan, mencakup: (a) ketepatan ujaran, (b) penempatan tekanan, nada, seni, dan durasi yang sesuai, (c) pilihan kata, dan (d) ketepatan sasaran pembicara. Aspek nonverbal (nonkebahasaan), yaitu meliputi: (a) sikap, (b) pandangan yang harus diarahkan kepada lawan bicara, (c) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (d) gerak gerik dan mimik yang tepat, (e) volume suara, (f) kelancaran suara, (g) relevansi/penalaran, penguasaan topik, (h) penyimak, dan (i) lingkungan.

Menulis, menurut Nurgiantoro (2001, 309) adalah aktivitas (kegiatan) menggunakan gagasan melalui media bahasa. Dalam kegiatan menulis, terdapat dua masalah pokok yang terlibat, yakni memilih atau mengemukakan gagasan dan memilih bahasa untuk mengungkapkan gagasan. Dengan demikian, menulis merupakan kegiatan berkomunikasi secara tidak langsung untuk menyampaikan gagasan dengan menggunakan tulisan sebagai medianya.

Tulisan akan dapat berfungsi sebagai media komunikasi apabila disusun berdasarkan pada komunikasi tertentu. Brown (2002:319-320) menyatakan komunikasi sebuah tulisan pada dasarnya disusun untuk (1) memenuhi standar tertentu seperti gaya retorika, (2) mencerminkan gramar atau tata bahasa yang akurat, dan (3) menyesuaikan dengan konvensi-konvensi yang telah disepakati masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, maka untuk mengevaluasi sebuah tulisan perlu diberikan kriteria penilaian yang meliputi isi, organisasi (sususnan), penggunaan kosakata (diksi), tata bahasanya, pemanfaatan mekanis, seperti ejaan dan penekanan tanda baca (pungtuasi). Hal senada dikemukakan Hadiyanto (2001:4-5) bahwa tulisan adalah media komunkasi yang banyak digunakan orang untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Menulis bukan merupakan hal yang mudah dan dapat sekali jadi, tetapi melalui sebuah proses munculnya keinginan untuk menguraikan sesuatu., kemudian mewujudkannya dengan bahasa, menjelaskan apa yang ingin dikatakan. Hal itu dapat dimulai dari suatu perencanaan, menyusun kerangka, dan mengembangkannya dalam sebuah tulisan. Tahap ini disebut ‘pra tulis’ atau drafting. Berikutnya, tahap revisi dan editing yang mengarah pada hasil akhir. Tanpa hasil akhir yang diinginkan akan menggiring penulis pada lautan revisi yang tiada henti (Peter Elbow dalam Brown, 2002:321-322).

Sebagai sebuah keterampilan menulis merupakan sebuah kemampuan kompleks, dalam sejumlah pengetahuan dan keterampilan. Untuk menulis sebuah tulisan yang sederhanapun, secara mekanis dituntut memenuhi persyaratan dasar, seperti memilih topik, membatasi mengembankan gagasan, menyajikan dalam kalimat dan paragraf yang tersusun secara logis dan lain sebagainya (Sabarti Akhadiah, Maidar, dan Sakura, 1996:2).

Tes keterampilan menulis dapat dilakukan dengan dua cara, yakni tes uraian dan tes pilihan ganda. Tes uraian yaitu tes yang dilakukan dengan cara meminta mahasiswa untuk menulis secara langsung. Misalnya menulis berbagai jenis karangan,mmenceritakan kembali isi karangan, melanjutkan paragraf rumpang, dan menulis puisi. Sedangkan tes pilihan nganda perlu persiapan guru untuk memilih bahan tes dari berbagai media cetak atau dari buku pelajaran. Selanjutnya, bahan tersebut dijadikan acuan untuk membuat tes. Hasil tes tersebut digunakan untuk kemampuan dasar menulis.

Dalam tes uraian, aspek-aspek yang dapat dinilai secara langsung tergantung bentuk dan jenis karangan. Untuk penulisan karangan nonfiksi, aspek yang dinilai, seperti ketepatan isi, struktur kalimat, koherensi, ejaan, dan tanda baca, sedangkan dalam karangan fiksi seperti puisi, aspek yang dinilai adalah isi, diksi, majas, verifikasi, dan lain-lain.

Sastra diajarkan bukan sebagai pengetahuan, nama-nama pengarang dan karyanya yang harus dihafal. Akan tetapi sastra disajikan kepada siswa sebagai karya untuk dinikmati dan dihayati keindahan bahasanya dan diambil nilai-nilai moralnya. Pengalaman siswa membaca karya sastra akan menumbuhkan apresiasi yang mendalam daripada sekadar menghafal ciri-ciri dan unsur-unsur karya sastra (St.Y. Slamet, 2008: 10).

Pembelajaran sastra sekolah dasar di kelas-kelas awal dapat dilakukan dengan kegiatan deklamasi, menyanyikan syair lagu, menceritakan nilai-nilai moral yang dikandungnya, atau mendengarkan dan menikmati puisi serta cerita yang dibawakan oleh temannya atau guru.

Berbeda halnya dengan pembelajaran sastra di kelas tinggi. Pembelajaran sastra di kelas-kelas tinggi di samping bahan ajar di kelas awal ditambah dengan belajar mengapresiasi karya sastra secara sederhana. Dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia, mahasiswa diajak untuk masuk dan mengauli kebesaran nilai-nilai yang terdapat di dalam teks sastra. Bukan hanya sekadar membaca sinopsis karya sastra dan memahami pengetahuan tentang sastran yang bersifat teoretis dan hafalan. Namun, siswa perlu diajak untuk mengapresiasi teks sastra yang sesungguhnya. Dengan demiian, mahasiswa dapat merasakan keindahan dan kenikmatannya karya sastra tersebut.

Pembelajaran apresiasi sastra diharapkan sampai pada pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Menurut Horace (dalam Adi Supratikto, 1998:2) dalam sastra haruslah bersifat dulce et utile, ,yang berarti indah dan berguna. Indah, maksudnya menekankan pada unsur estetika baik bentuk maupun isi serta sarana retoriknya, sehingga memberi kepuasan batin kepada penikmatnya. Berguna, artinya karya sastra dinikmati pembaca harus memberikan manfaat untuk meningkatkan akal budi kepribadian, dan kepekaan sosial.

Sistem dan konsep pembelajaran bahasa Indonesia selalu berkembang seiring dengan perkembangan bahasa itu sendiri. Pembelajaran bahasa dengan pendekatan struktural misalnya, menekankan struktur bahasa sebagai dasar pembelajarannya. Akibatnya muncul orientasi pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered). Di dalam pembelajaran ini guru lebih menekankan teori dan pengetahuan bahasa daripada keterampilan berbahasa (St.Y.Slamet, 2007:12). Di samping itu, bahan ajar tidak relevan dengan kebutuhan siswa untuk berkomuniaksi. Sistem pembelajaran yang demikian hanya mengacu pada kompetensi gramatikal. Kompetensi gramatikal merupakan ranah kapasitas gramatikal dan leksikal, yang mencakup kaidah dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Seseorang dianggap memiliki kompetensi gramatikal apabila dia menguasai kaidah lafal dan ejaan, bentuk kata, kalimat baku, kosakata, dan kaidah makna.

Perubahan kurikulum juga berdampak pada pembelajaran bahasa dan sastra. Pembelajaran sastra di dalam kurikulum teritegrasi dalam pembelajaran keempat keterampilan berbahasa. Namun, kenyataannya di lapangan lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa dan sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya sebagian kecil (seperenam) dari seluruh materi bidang studi bahas Indonesia, dengan nama pokok bahasan apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia selain dengan pendekatan komunikatif, juga dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan tematik. Pendekatan terpadu merupakan seperangkat wawasan dan aktivitas guru dalam merancang batir-butir pembelajaran yang diharapkan dapat menguntai tema, konsep, topik maupun pemahaman dan keterampilan yang diperoleh siswa secara utuh. Arah dan tujuan pembelajaran terpadu menurut Frazee dan Rosse (1995:2) mengarah kepada pembentukan pemikiran anak secara utuh, karena secara kodrati anak usia sekolah dasar memandang sesuatu selalu dengan pandangan yang utuh dan menyeluruh (holistic). Oleh karena itu, akan lebih baik bila pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, diarahkan untuk menuju pemahaman dan penggunaan secara utuh.

Sesuai dengan prinsip penilaian otentik, kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa diukur dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber. Alat penilaian bahasa yang otentik yang disarankan, yakni (1) hasil karya (product) berupa karya sastra, laboran pengamatan, tulisan, benda, laboran pejalanan, puisi, artikel, essai, cerpen, karya ilmiah,dan lain-lain; (2) penugasan (project) yaitu bagaimana mahasiswa bekerja dalam kelompok atau individual untuk menyelesaikan statu proyek; (3) kinerja (performance), yaitu penampilan diri dalam kelompok maupun individual, dalam bentuk berbicara, berwawancara, kedisiplinan, kerjasama, kepemimpinan, inisiatif, dan penampilan di depan umum; (4) tes tertulis (paper and pencil test), yaitu penilaian yang didasarkan pada hasil ulangan harian, semester, dan akhir program; (5) kumpulan kerja siswa (portafolio), yaitu kumpulan karya siswa berupa laboran, gambar, peta, benda-benda, karya tulis, isian, tabel-tabel, dan lain-lain.

Bertolak dari uraian di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran bahasa Indonesia adalah pembelajaran keterampilan berbahasa dan bersastra, bukan hanya menekankan pembelajaran tentang pengetahuan bahasa. Keterampilan-keterampilan berbahasa dan bersastra yang perlu ditekankan di dalam pembelajaran berbahasa Indonesia adalah keterampilan reseptif (keterampilan mendengarkan dan membaca) dan keterampilan produktif (keterampilan berbicara dan menulis). Pembelajaran berbahasa diawali dengan pembelajaran keterampilan reseptif, sedangkan keterampilan produktif dapat turut tertingkatkan pada tahap-tahap selanjutnya. Seterusnya peningkatan keduanya itu menyatu sebagai kegiatan berbahasa yang terpadu.

Sebelum pendekatan CTL diperkenalkan kepada dunia pembelajaran, sebenarnya dunia pendidikan sudah menggunakan istilah yang memiliki makna yang berhubungan dengan konteks kehidupan siswa. Istilah tersebut antara lain, pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran berpusat pada siswa (student centered) cara belajar siswa aktif (student active learning), stategi discovery-inquiry.

Pendekatan CTL adalah suatu konsep belajar yang di dalamnya guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas. Selain itu, siswa didorong untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi dan Agus Gerrard Senduk, 2003:4). Dengan konsep tersebut hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi mahasiswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan menstranfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Di dalam pendekatan CTL ini dilibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif (Wina Sanjaya, 2007:262-267), yaitu (1) konstruktivisme, (2) menemukan, (3) latihan bertanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) asesmen otentik. Konstruktivisme merupakan landasan pembelajaran kontekstual, yaitu proses membangun pengetahuan baru dalam struktur siswa berdasarkan pengalaman. Filosofi konstruktivisme memakai belajar suatu proses aktif mengkonstruksi sesuatu (Paul Suparno, 1997:62).

Menemukan (Inquiry) merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Efek yang diharapkan dari penggunaan inkuiri (inquiry) yakni siswa memperoleh peningkatan pemahaman ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari produktivitas beroikir kreatif dan memperoleh keterampilan dalam menganalisis informasi (Joice & Weil, 2000: 198).

Bertanya merupakan induk dari strategi pembelajaran konstektual, awal dari pengetahuan, jantung dan aspek penting pembelajaran karena dengan bertanya guru dapat membimbing siswa untuk menemukan materi yang dipelajarinya. Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berfungsi untuk menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon siswa, membangkitkan rasa tahu, memusatkan perhatian pada objek pembelajaran, menyegarkan kembali pengetahuan siswa (Brown & Wragg, 1887: 25).

Maysrakat belajar, menurut Dryden dan Vos (1999:325) koni semakin banyak sekolah yang menggunakan “sistem perkawanan”. Sistem ini dianggap sebagai sistem yang dapat mendorong kerjasama kelompok, yaitu siswa yang lebih pandai membantu siswa yang kurang pandai, dan keduanya mendapatkan keuntungan. Hal ini senada dengan pendapat Slavin (1995:117) yang menyatakan bahwa penggabungan kedua cara melihat perfomansi kelompok merupakan hal esensial dalam menilai keberhasilan kelompok.

Pemodelan merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Hal ini dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Kegiatan pemodelan tidak terbatas hanya dari guru saja, tetapi dapat juga guru memanfaatkan orang lain atau siswa yang dianggap memiliki kemampuan lebih dalam bidang tertentu jika dibandingkan dengan siswa-siswa lain (Syaiful Bachri Djamarah, 2002: 19). Ada dua jenis pemodelan, yakni model behavioral untuk mengembangkan kemahiran perilaku dan model kognitif untuk menanamkan pemahaman yang berhubungan dengan pross kognitif (Jonassen, 1999: 231). Dengan pemodelan, mahasiswa dapat terhindar dari pembelajaran yang bersifat abstrak dan teoretis.

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari pada masa lalu. Refleksi merupakan suatu proses pengedanan yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa yang telah dilaluinya (Johnson, 2002: 187). Mahasiswa diberi kesempatan untuk merenungkan dan menafsirkan pengalamannya sendiri sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya yang telah ia alami.

Penilaian otentik (authentic assessment) merupakan salah satu perangkat penilaian yang diterapkan dalam pembelajaran kontekstual. Pada penilaian otentik guru dituntut untuk mampu mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa (Nurhadi, 2003: 288). Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan berlangsung. Oleh karena itu, tekanannya diarahkan kepada pross belajar bukan hanya hasil belajar.

Di dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berususan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagain sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas. Sesuatu yang baru dating dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.

Pendekatan CTL merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Pendekatan ini memberikan pengalaman yang lebih relevan dan berarti bagi peserta didik dalam membangun pengetahuan yang akan diterapkannya seumur hidup melalui hubungan di dalam dan di luar kelas (Depdiknas, 2002). Pembelajaran CTL berusaha menyajikan suatu konsep yang dikaitkannya dengan konsep materi tersebut, sehingga pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik menjadi sebuah pengalaman belajar yang lebih realistis dan biasanya akan berdaya tahan lama.

Nurhadi (2004:13) merumuskan pendekatan kontektual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.. Dengan konsep tersebut, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan pesrta didik bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari pengajar ke peserta didik. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Pengertian pendekatan CTL menurut Johnson (2002:25) adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa dalam memahami bahan ajar yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan materi tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari, kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan lingkungan budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan CTL berpedoman pada delapan hal, yaitu aktif, belajar mandiri secara terus-menerus, menghubungkan kegiatan materi kritis dan kreatif, bekerja sama, memberikan perhatian pada perbedaan pribadi, menggunakan dan mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian otentik.

Penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mengisyaratkan asesmen otentik, yaitu penilaian yang mengaitkan kehidupan nyata siswa dalam mengukur aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dasar penilaiannya dapat berupa unjuk kerja, disply yang dihasilkan, catatan kemajuan belajar, aktivitas selama belajar, hasil wawancara, dan sebagainya. Oleh karena asesmen menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan hendaknya diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan peserta didik pada saat melakukan proses pembelajaran.

Bahan ajar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL di PGSD memiliki tujuh komponen penting di atas, yaitu konstruktivisme, masyarakat belajar, inkuiri, pemodelan, bertanya, refleksi, dan penilaian otentik. Penerapan bahan ajar tersebut lebih lanjut dapat mewujudkan kompetensi mahasiswa PGSD dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL adalah suatu konsep pembelajaran yang menekankan pentingnya proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa mengembangkan sendiri pengetahuannya melalui aktivitas pembelajaran yang memperhitungkan kemampuan awal, pengalaman, dan aplikasi pengetahuan yang diperolehnya dalam kehidupan yang nyata. Apabila dikaitkan dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pengajar harus dapat memilih berbagai pendekatan sesuai dengan kompetensi kebahasaan dan kesastraan yang akan dicapai, khususnya dalam rangka meningkatkan kualitas keterampilan berbahasa dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulisnya.

Penelitian yang menunjukkan betapa pentingnya kegiatan perencanaan pembelajaran, khususnya dalam merancang strategi dan mempersiapkan bahan ajar atau materi pembelajaran yang disesuaikan dengan konteks peserta didiknya. Penelitian yang dilakukan oleh Jacob (2006) melaporkan tiga macam temuan, yaitu (1) jika tercipta jaringan lingkungan belajar yang membentuk suasana komunal, aktivitas yang berterima, dan aktivitas budaya, maka akan meningkat pula akan terjadinya hubungan antarkelompok, motivasi, usaha, dan identifikasi siswa minoritas; (2) dibandingkan dengan upaya memisahkan kelompok yang berbeda, pendidikan multibudaya lebih berhasil menciptakan tameng penghalang terciptanya konflik antarkelompok, terutama kelompok minoritas; (3) cara mendefinisikan dan memahami budaya itu sendiri dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap hubungan siswa, sikap, dan tingkah laku terhadap kelompok.

Temuan tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia seharusnya mampu menjangkau topik-topik kehidupan peserta didiknya di sekolah/kampus. Topik pembelajaran dapat dihubungkan dengan isu-isu yang relevan dengan kehidupan kehidupan peserta didiknya. Isu-isu tersebut dapat didiskusikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra. Dengan demikian pembelajaran bahasa dan sastra dapat memberikan sumbangan (kontribusi) untuk menumbuhkan rasa sosial dan mental peserta didik

Berkaitan dengan pendekatan kontekstual, hasil penelitian Dian Roesmiati (2005) menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual teruji keunggulannya untuk pembelajaran sastra, baik terhadap hasil belajar maupun aspek kognitif lainnya. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampuan berpikir tinggi, serta sikap dan perilaku. Lima bentuk belajar sastra dengan pendekatan kontekstual yang diterapkannya yaitu bentuk belajar relating, experiencing, applying, cooperating, dan transfering.

Representasi kelima bentuk belajar tersebut diwujudkan dengan belajar menerapkan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Kegiatan penciptaan karya sastra diikuti dengan kegiatan yang bersifat praktis dan pragmatis, yaitu drama yang telah dibuat ditindaklanjuti dengan pementasan. Puisi, cerpen, dan novel yang telah dibuat siswa ditindaklanjuti dengan kegiatan pameran, ditempelkan di majalah dinding, dan diterbitkan melalui penrbitan majalah sekolah, dan diikutkan dalam lomba penulisan karya sastra.

C. Kerangka Berpikir

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di PGSD membutuhkan ketersediaan bahan ajar yang berkualitas. Minimnya bahan ajar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Adanya permasalahan tersebut mengakibatkan dalam pembelajarannya sebagian besar berupa pengetahuan bahasa, bukan sebagai keterampilan berbahasa Di samping itu pembelajarannya sebagian masih secara konvensional . Pembelajaran yang bernuansakan demikian itu disambut pasif oleh mahasiswa, sehingga mereka menganggap bahasa dan sastra sebagai senuah pembelajaran yang kurang menarik dan kurang bermakna.

Hakikat bahasa dan sastra Indonesia sebagai sebuah pembelajaran ádalah wahana yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral. Pesan-pesan moral yang disampaikan melalui kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, hakikatnya dapat menjadi pesan yang efektif, bermakna, dan menyenangkan bagi mahasiswa.

Untuk mewujudkan hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar di PGSD dan keberhasilan menemukan upaya mengatasi permasalahan tersebut di atas, diperlukan sebuah bahan ajar yang tepat. Untuk itu diperlukan pengembangan bahan ajar yang tepat pula. Dalam hal ini bahan ajar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL. Sebelum bahan ajar tersebut digunakan, perlu penilaian dan pendapat pakar (expert judgement) sesuai dengan bidangnya. Disamping itu, bahan ajar juga perlu diujicobakan baik secara terbatas maupun luas serta uji keberterimaan dari pendapat ahli dan stakeholders, agar bahan ajar tersebut dapat menciptakan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi peserta didik..

Bahan ajar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah dasar dengan pendekatan CTL di PGSD memiliki tujuh komponen penting, yaitu konstruktivisme, masyarakat belajar, inkuiri, pemodelan, bertanya, refleksi, dan penilaian otentik. Penerapan bahan ajar tersebut lebih lanjut dapat mewujudkan kompetensi mahasiswa PGSD dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

1 komentar:

  1. Terima kasih, Pak Slamet Hadisubroto, telah berbagi kepada kami. Mohon maaf, baru sampai C.Kerangka Berpikir, apakah masih ada lanjutannya ya

    BalasHapus