Selasa, 13 April 2010

Jurnal Penelitian 2008

KETERAMPILAN MENULIS MAHASISWA DITINJAU DARI PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN DAN PENGUASAAN STRUKTUR BAHASA
(Eksperimen pada Mahasiswa Program Studi PGSD FKIP UNS)1

Oleh:
St. Y. Slamet2

Abstract: The objective of the research is to study the effect learning approach and grammar mastery on the writing skill. The research was conducted in Elementary School Teacher Education Study Program, FKIP University of Sebelas Maret (2007) with a sample consisting of 80 students selected randomly. The research concludes that in general integrated learning approach ( = 66.33 and s = 8.13) gives achievement in writing skill higher than that of the fragmented learning approach (X = 61.16 and s = 6.03). for the group wich has hight grammar mastery, the integrated learning approach (X = 71.8 and s = 5.95) gives higher achievement than that of the fragmented learning approach (X = 60 and s = 6.08). For the group wich has low grammar mastery, the result showed no different effect between the integrated learning approach (X = 60.86 and s = 5.43) and the fragmented learning approach (X = 62.33 and s = 5.73). the result of this research also demonstrates an interaction beween learning approach and grammar mastery to writing skill (qc = 17.23 > qt = 4.00).

Key words: learning approach, grammar mastery, and writing skill.

Di dalam kehidupan modern penguasaan bahasa tulis bagi seseorang mutlak diperlukan. Namun, dalam kenyataannya di sekolah pembelajaran menulis kurang mendapatkan perhatian.
Pembelajaran menulis/mengarang sebagai salah satu aspek dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurang ditangani nsecara sungguh-sungguh. Akibatnya, keterampilan menulis anak didik kurang memadai. Keterampilan menulis merupakan salah satu bentuk keterampilan berbahasa yang sangat penting bagi anak didik, di samping keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca, baik selama mereka mengikuti pendidikan di berbagai jenjang dan jenis sekolah maupun dakam kehidupannya nanti di masyarakat. Keberhasilan anak didik dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah banyak ditentukan kemapuannya dalam menulis. Oleh karena itu, pembelajaran menulis mempunyai kedudukan sangat strategis dalam pendidikan dan pengajaran. Keterampilan menulis harus dikuasai oleh anak didik sedini mungkin dalam kedudukannya di sekolah
(Imam Syafi’e, 1993: 52).
Untuk dapat mengkomunikasikan tulisan dengan jelas, baik, dan benar diperlukan kemampuan penguasaan kaidah-kaidah bahasa, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Penguasaan kaidah bahasa dengan baik merupakan salah satu syarat bagi suatu komunikasi tulis. Penguasaan kaidah bahasa sebagai aspek kompetensi sangat diperlukan dalam menggunakan bahasa tulis.
Tujuan agar mahasiswa mampu berbahasa tulis yang memadai merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi mahasiswa Program Studi PGSD. Mahasiswa harus mampu berpikir sistematis, analitis, reflektif, serta dapat menjelmakan pemikirannya dalam bahasa tulis. Ia harus mampu mengamati dengan cermat fakta yang ada di sekelilingnya dan mendeskripsikannya dengan rinci dan tersusun secara konsekuen sehingga diperoleh temuan-temuan.
Sampai saat ini, walaupun pembelajaran menulis pada Program Studi PGSD telah dipelajari dua semester hasilnya belum memuaskan. Masih banyak mahasiswa yang belum mampu menuangkan gagasan atau pikirannya dalam bahasa tulis.
Ada beberapa penyebab kekurangberhasilan pembelajaran menulis di Program Studi PGSD. Salah satu penyebabnya ialah penyampaian materi perkuliahan yang masih menggunakan pendekatan pembelajaran tidak terpadu. Dalam pembelajaran materi itu aspek ketersmpilan berbahasa yang satu tidak terpadu dengan yang lain.
Selain pendekatan pembelajaran, penguasaan struktur bahasa juga dapat mempengaruhi hasil belajar menulis mahasiswa. Penguasaan struktur bahasa merupakan kemampuan dasar dalam membuat karangan yang baik.
Bertolak dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut: (1) secara keseluruhan, apakah ada perbedaan keterampilan menulis antara kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu dengan yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu?; (2) untuk penguasaan struktur tinggi, apakah ada perbedaan keterampilan menulis antara kelompk mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu dengan yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu?; (3) untuk penguasaan struktur rendah, apakah ada perbedaan keterampilan menulis antara kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu dengan yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu?; dan (4) apakah ada pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan penguasaan struktur bahasa terhadap keterampilan menulis?.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (1) secara keseluruhan, perbedaan keterampilan antara kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu dengan yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu; (2) untuk kelompok penguasaan struktur tinggi, perbedaan keterampilan menulis antara kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu dengan pendekatan tidak terpadu; (3) untuk kelompok penguasaan struktur rendah, perbadaan keterampilan menulis antara kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu dengan pendekatan tidak terpadu; dan (4) pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan penguasaan struktur bahasa terhadap keterampilan menulis.
Menulis, menurut McCrimmon (1976:2), merupakan kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya dengah mudah dan jelas. Pada dasarnya menulis, bukan hanya berupa melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, menulis bukalah kegiatan yang sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi justru dikuasai.
Sebagai bagian dari keterampilan berbahasa, menulis merupakan keterampilan yang sukar dan kompleks (Heaton, 1983:146). Oleh karena itu, keterampilan menulis dikuasai seseorang sesudah menguasai keterampilan berbahasa yang lain.
Kompleksitas kegiatan menulis untuk menyusun sebuah karangan yang baik meliputi (1) keterampilan gramatikal, (2) penuangan isi, (3) ketarampilan stilistika, (4) keterampilan mekanis, dan (5) keterampilan memutuskan (Heaton, 1983:135). Sehubungan dengan kompleksnya kegiatan yang diperlukan untuk keterampilan menulis, menulis harus dipelajari atau diperoleh melalui proses belajar dan berlatih dengan sungguh-sungguh.
Gorys Keraf (1984: 8-9) mengemukakan bahwa manfaat menulis, yaitu untuk (1) mengenal diri sendiri, (2) lebih memahami orang lain, (3) belajar mengamati dunia sekitar dengan cermat, dan (4) untuk mengembangkan proses berpikir secara jelas dan teratur. Selain itu, dengan menulis kita dapat mengembangkan suatu pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa. Artinya, bahwa aktivitas menulis membantu tercapainya pengembangan diri karena dalam penyampaian gagasan tersebut sarana yang dipergunakan adalah bahasa.
Dengan proses menulis sekurang-kurangnya mencakup lima unsur, yaitu (1) isi karangan, (2) bentuk karangan, (3) tata bahasa, (4) gaya, dan (5) ejaan dan tanda baca (Harris, 1974:68). Sementara itu, menurut The Liang Gie (1992:23) proses menulis sebagai karangan mencakup empat unsur, yaitu (1) gagasan, (2) tuuran, (3) tuntunan, dan (4) wacana. Bertolak dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum aktivitas menulis sebagai karangan mencakup empat unsur, yaitu (1) gagasan yang akan dikemukakan, (2) susunan atau penyajian gagasan itu, (3) bentuk pengungkapan gagasan , dan (4) sarana pengantar yang berupa bahasa yang meliputi kosakata, tata bahasa, ejaan, dan tanda baca.
Dalam kegiatan menulis akademik terdapat beberapa tahap menulis. Yeager (1991: 77) membagi proses menulis menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap pramenulis, (2) tahap pengumpulan bahan, dan (3) tahap penulisan. Hal tersebut berbeda dengan McCrimon (1976:10) mengelompokan proses menulis menjadi tiga tahap, yaitu (1) persiapan, (2) penulisan, dan (3) revisi. Senada dengan pendapat btersebut, Sabarti, Maidar, dan Sakura (1996:2-3) membagi tahap-tahap proses menulis ke dalam tiga tahap, yaitu (1) prapenulisan, (2) penulisan, dan (3) revisi. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa proses menulis akademik, tahap-tahapnya meliputi (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap revisi.
Tulisan yang baik menurut The Liang Gie (1992:63) sekurang-kurangnya mempunyai empat ciri, yaitu (1) mudah, (2) sederhana, (3) langsung, dan (4) tepat. Hairston (1986:11) mengemukakan bahwa ciri-ciri tulisan yang baik adalah berterima, jelas, utuh, ekonomi, dan gramatikal. Dari kedua pendapat tersebut dapat disampaikan bahwa tulisan yang baik mempunyai ciri-ciri (1) mudah, (2) berterima, (3) ekonomis, (4) tepat, (5) langsung, (6) utuh, dan (7) gramatikal.
Dalam menilai suatu tulisan, ada beberapa cara yang digunakan. Madsen (1983:120) membagi cara penilaian karangan menjadi dua, yaitu cara analitik dan holistik. Penialian cara analitik dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat aspek-aspek yang adadalam karangan. Penilaian holistik dilakukan dengan cara melihat karangan secara menyeluruh dan dalam hal ini yang dipentingkan sifat komunikasinya.
Heaton (1983:146) telah mencoba merinci skala penilaian pada setiap aspek yang dinilai, yaitu (1) isi karanan 30%, (2) organisasi 20%, (3) kosakata 20%, (4) penggunaan bahasa 25%, dan (5) tanda baca dan ejaan 5%. Senada dengan pendapat Heaton, Madsen (1983:121) menentukan skala penilaian dalam karangan, yaitu (1) mmekanuk 20%, (2) pilihan kata 20%, tata bahasa dan penggunaannya 30%, dan (4) organisasi 30%. Di dalam penelitian ini aspek-aspek yang dinilai mencakup (1) gagasan 30%, (2) organisasi karangan 20%, (3) penguasaan bahasa 30%, (4) diksi 10%, dan ejaan dan tanda baca 10%.
Penilaian cara analitik di atas sangat diperlukan untuk kepentingan diagnostik-edukatif. Dengan penilaian secara analitik dapat diperoleh informasi yang lengkap pada setiap aspek yang dinilai (Hughes, 1990:97).
Cooper dan Odell (1077:4) berpendapat bahwa penilaian cara analitik merupakan bagian dari penilaian holistik. Oleh karena itu, penilaian cara analitik tidak berbeda dengan penilaian holistik, bahkan merupakan salah satu jenis dari penilaian holistik.
Hingga saat ini, walaupun perkuliahan bahasa Indonesia termasuk di dalamnya menulis dipelajari selama tiga semester, tetapi hasilnya belum begitu menggembirakan. Masih banyak mahasiswa yang belum mampu menuangkan gagasannya dalam bahasa tulis. Mereka belum mampu memnggunakan bahasa tulis dalam surat, akalah, dan laporan kegiatan dengan baik. Bahkan yang sangat memprihatinkan, masih ada mahasiswa Program Studi PGSD yang dalam membuat laporan kegiatan dalam penggunaan huruf kapital, tanda baca, penulisan hurufnya harus dibetulkan.
Ada beberapa penyebab kekurangberhasilan pembelajaran menulis di PGSD. Salah satu penyebabnya adalah penyampaian materi perkuliahan masih menggunakan pendekatan tidak terpadu. Dalam materi itu aspek keterampilan berbahasa yang satu tidak terpadu dari yang lain.keempat keterampilan berbahasa disajikan secara terpisah. Seolah-olah keempat keterampilan berbahasa itu berdiri sendiri, bahkan dianggap sebagai ilmu tersendiri.
Pendekatan pembelajaran yang diterapkan di dalam pembelajaran bahasa mempunyai tujuan agar mahasiswa tuntas berbahasa. Semua pendekatan yang dikonsepkan oleh para pakar bahasa bertuuan agar mahasiswa segera terampil berbahasa dalam penguasaan bahan ajar tertentu (Mansoer Pateda, 1991:98).
Di dalam penelitian ini istilah pendekatan dikaitkan dengan pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses atau hasil perubahan tingkah laku melalui praktek, pengajaran, dan pengalaman (Morgan, 1986:140). Pembelajaran merupakan proses atau hasil perubahan tingkah laku seseorang dalam belajar suatu kegiatan. Pembelajaran yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Indonesia merupakan proses atau hasil tingkah laku seseorang dalam belajar bahasa Indonesia. Pembelajaran menulis dengan pendekatan terpadu memberikan keleluasaan pembelajar yang tepat dan cepat dalam berpikir untuk mengembankan pikirannya secara kritis. Pembelajar menghubung-hubungkan antara bahan pelajaran yang satu dengan yang lain. Di dalam pembelajaran terpadu tuntutan kemandirian individu sangat besar sehingga bagi pembelajar yang kurang pandai atau kurang memiliki kemampuan berpiir global, pendekatan ini justru menjadi hambatan baginya.
Cilliann dan Dixon (1991:6) menyatakan bahwa pembelajaran terpadu ialah kegiatan yang berlangsung secara nyata dan penyelidikan topik diarahkan untuk memperkuat kurikulum. Di dalam pembelajaran terpadu meniadakan batas-batas berbagai mata pelajaran. Penggabungan berbagai mata pelajaran itu diikat dalam topik yang berkaitan dengan kehidupan nyata pembelajar.
Menurut Oxford (1994:257) pendekatan terpadu adalah pengajaran eterapilan berbahasa pada membaca, menulis, menyimak, dan berbicara yang satu berhubungan dengan yang lain. Pada waktu suatu pelajaran berisi aktivitas-aktivitas yang menghubungkan antara menyimak dan berbicara serta membaca dan menulis dengan penekanan pada kenyataan dan kebermaknaan komunikasi.
Bertolak dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa keterpaduan dalam keterampilan berbahasa merupakan kegiatan berbahasa yang menyatakan batas-batas antara mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Kegiatan keterapilan berbahasa yang satu berkaitan dengan kegiatan keterampilan yang lain. Aktivitas-aktivitas pembelajaran ditekankan pada pernyataan dan kebermaknaan komunikasi. Keempat keterampilan proses tersebut diajarkan secara terintegrasi. Keterpaduan berbahasa ini disebut keterpaduan intrabidang studi dalam bidang studi.
Ditinjau dari cara memadkan konsep, keterampilan, dan unit tematiknya terdapat beberapa cara merencanakan. Forgaty (1991:15) mengajkan beberapa model pembelajaran terpadu antara lain (1) connected, (2) nested, (3) webbed, dan (4) integrated.
Dari beberapa model pembelajaran terpadu yang cocok untuk pembelajaran menulis adalah penggabungan antara model integrated, nested, webbed, dan connected. Di dalam pembelajaran menulis dapat diawali dengan pemilihan topik yang kemudian disusun sesuai dengan proses menulis. Penyajian pembelajaran menulis dapat dikaitkan dengan keterampilan membaca, berbicara, dan menyimak. Di dalam pembelajaran menulis ini diupayakan pada keterampilan berbahasa yang ditunjukkan untuk memahami isi, menggabungkan daya pikir, dan menggabungkan keterampilan sosial.
Di dalam pendekatan terpadu untuk keterampilan menulis, peneliti menggabungkan beberapa model pembelajaran keterampilan berbahasa ini. Dalam pembelajaran yang dilakukan ditekankan materi pembelajaran menulis dengan pengembangan topik dan pemberian tugas-tugas pada setiap materi tertentu.
Realisasi pembelajaran menulis secara terpadu terikat dua hal, yaitu (1) keseluruhan prosespembelajaran berorientasi pada kebermaknaan dan (2) pembelajaran berorientasi pada pembelajar.
Di dalam pembelajaran ini porsi menulis lebih banyak dibandinkan dengan aspek keterampilan yang lain. Pola-pola pembelajaran menulis dapat bervariasi, antara lain sebagai berikut.
Menyimak – berdiskusi – menulis
Berdiskusi – menulis – membaca
Menulis –melaporkan – membahas
Membaca – menulis – berdiskusi.
Sebaliknya, inti pembelajaran tidak terpadu menurut Forgaty (199114) ialah pemisahan antara satu bidang studi dengan bidang studi yang lain. Pembelajaran ini mrupakan pembelajaran terpisah-pisah sebagai cara-cara tradisional dalam merancang kurikulum dan bahan pembelajaran.
Pembelajaran tidak terpadu dalam bidang bahasa menurut Mulyanto Sumardi, Ed. (1992:97) ialah pembelajaran yang memandang bahasa sebagai suatu kompleksitas yang dapat dipisah-pisah menjadi unsur atau segmen yang terpisah-pisah. Jadi, unsur yang terpisah-pisah seperti fonem, morfrm, dan seterusnya. Oleh karena bahasa dianggap sepeeti itu, maka materi pelajarannya juga diberikan secara terpisah-pisah.
Pembelajaran tidak terpadu memilikikarakteristik tertentu. Wortham (1996:329-230) mengemukakan bahwa beberapa karakteristik pembelajaran tidak terpadu, yaitu (1) tidak kontekstual, (2) tidak menantang, (3) pasif, dan (4) bahan pembelajarannya tidak didiskusikan dengan pembelajar.
Berkaitan dengan pembelajaran tiak terpadu, Forgaty (1991:5) mengemukakan bahwa keunggulan pembelajaran tidak terpadu, yaitu (1) kemurnian setiap bidang studi terjaga, (2) pengajar meiliki keahlian, (3) terdapat nilai tambah dalam penguasaan bidang itu sebagai suatu yang terpusat, (4) pembelajaran menyediakan konsep itu terjaga secara jelas, dan (5) pembelajaran dapat menggunakan penyelia untuk lebih membantu suatu bidang.
Pendekatan pembelajaran tidak terpadu yang diberikan secara bertahap akan lebih mudah ditangkap oleh pembelajar yang memiliki konsentrasi terpusat. Ia lebih mudah menangkap materi pelajaran yang tidak dikaitkan dengan yang lain. Misalnya, materi matematika dipisahkan dengan materi bahasa.
Kelemahan pembelajaran tidak terpadu, menueut Forgaty (1991:9) adalah (1) pembelajaran kehilangan sumber daya yang terdapat dalam dirinya untuk membuat keterpaduan antara konsep yang bersamaan satu dengan yang lain, (2) terjadi konsep, keterampilan, sikap yang tumpang tindih dan tidak jelas antara satu bidang studi yang satu dengan yang lain, dan (3) pengalihan pembelajaran terhadap situasi baru sangat jarang terjadi.
Baik pendekatan terpadu maupun tidak terpadu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Pendekatan tidak terpadu memberikan materi pelaran secara terpisah-pisah dan tidak dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Antara mata pelajaran yang satu terpisah dengan yang lain dan sama sekali tidak bersinggungan. Pendekatan tidak terpadu tidak memperhatikan masalah-masalah sosial yang dihadapi pembelajar dalam pengalaman umat manusia masa lampau. Selain itu, pendekatan itu hanya memusatkan pada perkembangan intelektual, kurang mengembangkan kemampuan berpikir, cenderung statis dan ketinggalan zaman, dan bahan pelajaran hanya bergantung dari buku-buku yang digunakan dari tahun ke tahun tanpa perubahan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi keterampilan menulis mahasiswa adalah penguasaan struktur bahasa. Penguasaan struktur bahasa merupakan kemampuan dasar dalam membuat karangan yang baik. Penguasaan terhadap struktur bahasa berarti kemampuan untuk memahami dan mengetahui struktur yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Penguasaan struktur bahasa menrupakan penguasaan terhadap unsur-unsur bahasa yangmencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Di dalam ilmu bahasa, konsep penguasaan struktur bahasa tidak terlepas dari konsep kompetensi dan performansi yang dikemukakan oleh Chomsky. Chomsky (1965:4) membedakan antara performansi dan kompetensi. Kompetensi merupakan pengetahuan seorang penutur mengenai kaidah-kaidah bahasa, sedangkan performansi merupakan penggunaan bahasa itu dalam situasi konkret. Savignon (1983:9) mengistilahkan kompetensi ialah apa yang penutur ketahui, sedangkan performansi ialah apa yang penutur lakukan.
Kompetensi sebagai penguasaan kaidah tidak sama dengan pengetahuan tentang bahasa. Memiliki pengetahuan bahasa tidak otomatis mampu menggunakan bahasa, tetapi kemampuan menggunakan bahasa memerlukan penguasaan kaidah-kaidah bahasa sebagai bagian kompetensi banyak perubahan.
Pengujian struktur bahasa menurut Harris (1994:74) yang dipetingkan ialah pola-pola kaidah bahasa. Pengujian terhadap penguyasaan struktur bahasa berarti pengujian terhadap pengetahuan dan pemahaman pola-pola kaidah struktur bahasa tersebut. Dengan kata lain, pengujian struktur bahasa tersebut untuk mengukur kompetensi pembelajar dalam membentuk satuan-satuan bahasa (fonem, kata, dan kalimat) sesuai dengan kaidah bahasa tersebut.
Sasaran pengujian struktur bahasa mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis. Sasaran pengujian fonologi secara umum meliput penguasaan seluruh sistem, baik dalam bentuk mengenal dan memahami bunyi bahasa dan penggunaan bunyi bahasa tersebut. Selain itu, termasuk juga intonasi, tekanan kata dan kalimat, serta lagu kalimat. Dalam tes bunyi bahasa ini termasuk juga tes ejaan dan tanda baca yang menguji kecermatan pembelajar dalam memahami penggunaan ejaan dan tanda baca.
Di dalam pengujian bentuk kata dan kalimat, secara garis besar meliputi pemahaman dan penggunaan pembentukan kata, frasa, dan kalimat. Selain itu, termasuk juga pembentukan kata yang kadang-kadang terjadi sebagai akibat dari tersusunnya kata-kata dalam frasa dan kalimat.
Secara rinci cakupan morfologi meliputi kata asal, kata kompleks, kata berimbuhan, dan kata majemuk (Ramlan, 1983:36). Dengan demikian, penguian morfologi mencakup kata yang belum mengalami proses morfologis, telah mengalami proses morfologis, pembentukan dengan cara afiksasi, reduplikasi, dan proses persenyawaan. Secara garis besar pengujian morfologi mencakup morfem, kata, dan imbuhan.
Cakupan sintaksis menurut Ramlan (1983:36) yaitu frasa dan kalimat. Oleh karena itu, pengujian sintaksis meliputi frasa dan kalimat. Frasa mencakup tipe dan struktur frasa, sedangkan kalimat mencakup mancakup macam-macam kalimat, struktur kalimat, dan arti struktur kalimat.
Pengujian struktur bahasa yang dilakukan menurut Hughes (1990:142) mengacu kepada materi yang diajarkan. Di dalam penelitian ini pengujian struktur bahasa mengacu kepada materi kaidah fonologi, morfologi, dan sintaksis yang telah diajarkan pada Program studi PGSD FKIP UNS.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dibangun kerangka berpikir sebagai berikut: (1) diduga keterampilan menulis mahasiswa dengan menggunakan pendekatan pembelajaran terpadu lebih baik daripada dengan pendekatan tidak terpadu, (2) diduga keterampilan menulis mahasiswa antara kelompok yang memiliki penguasaaan struktur yang tinggi, yang belajar dengan pendekatan terpadu lebih baik, keterampilan menulisnya daripada yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu, (3) diduga keterampilan menulis kelompok mahasiswa yang memiliki penguasaan struktur rendah, keterampilan menulisnya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu, dan (4) diduga terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan penguasaan struktur terhadap keterampilan menulis.

METODE
Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. penelitian dilaksanakan di kampus Program Studi PGSD FKIP UNS selama enam bulan atau satu semester (Agustus 2007-Januari 2008). Populasi penelitian adalah semua mahasiswa mahasiswa PGSD FKIP UNS. Populasi terjangkau adalah mahasiswa semester I tahun akademik 2007/2008. Kerangka sampling beranggotakan 108 orang mahasiswa. Kerangka sampling penguasaan struktur tinggi 53 mahasiswa dan kerangka sampling untuk penguasaan struktur rendah 55 orang. Masing-masing kelas pendekatan terpadu dan tidak terpadu.ditetapkan 40 orang yang terdiri dari 20 orang mahasiswa penguasaan struktur tinggi dan 20 orang mahasiswa penguasaaan struktur rendah. Penetapan sampel ini secara purporsif berjumlah sama antara jumlah mahasiswa penguasaan struktur tinggi dan penguasaan struktur rendah untuk mempermudah analisis dengan menggunakan uji Tukey.
Sampel penguasaan struktur tinggi diambil secara acak dari kerangka sampling penguasaan struktur tinggi sebanyak 20 orang mahasiswa untuk kelas pendekatan terpadu tanpa pengembalian dari kerangka sampling 53 orang. Sampel penguasan struktur rendah untuk kelas pendekatan tidak terpadu diambil secara random (acak sederhana) tanpa pengembalian masing-masing sebanak 20 orang dari kerangka sampling penguasaan struktur rendah 55 orang. Mahasiswa yang memilii penguasaan struktur tinggi dan rendah digabung satu kelas untuk pendekatan terpadu, demikian juga untuk kelas pendekatan tidak terpadu.
Di dalam penelitian ini mahasiswa dikelompokkan menjadi dua kelompok, semua mahasiswa diberi tes penguasaan struktur bahasa. Dari hasil tes tersebut ditetapkan 27% kelompok tinggi dan 27% kelompok rendah sehingga diperoleh sejumlah 40 orang kelompok tinggi dan 40 orang kelompok rendah. Penetapan 40 orang untuk penguasaan struktur tinggi dan rendah mengacu kepada pendapat Conny Semiawan (1982:3346) bahwa kelompok tinggi dan kelompok rendah berkisar antara 27-33,3%. Dengan cara ini diyakini sangat tegas perbedaanmahasiswa yang memiliki penguasaan struktur tinggi dan rendah.
Untuk mengumpulkan data keterampilan menulis digunakan instrumen yang berupa tes mengarang, sedangkan data penguasaan struktur bahasa diguakan instrumen yang berupa tes objektif. Sebelum digunakan tes tersebut perlu diujicobakan terlebih dahulu. Dari uji coba itu diperoleh koefisien reliabilitas (1) keterampilan menulis sebesar 0,942 dan (2) instrumrn penuasaan struktur bahasa sebesar 0,84.
Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah dengan analisis varians (Anava) dua jalan dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Semua perhitungan analisis data menggunakan taraf signifikansi = 0,05 (Sudjana, 1992:423).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data lengkap rangkuman skor keterampilan menulis mahasiswa dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Rangkuman Data Keterampilan Menulis Mahasiswa PGSD FKIP UNS
Pendekatan Pembljrn

Penguasaan Struktur
Pendekatan Terpadu
Pendekatan
Tidak Terpadu
Jumlah

Tinggi n = 20
X = 71,80
SD = 5,95 n = 20
X = 60
SD = 6,08 N = 40
X = 65,9
SD = 8,43
Rendah n = 20
X = 60,86
SD = 5,00 n = 20
X = 62,33
SD = 5,73 N = 40
X = 61,59
SD = 5,95
Jumlah N = 40
X = 66,33
SD = 8,13 N = 40
X = 61,16
SD = 6,03 N = 40
X = 63,59
SD = 7,61
Keterangan:
n = besar sampel
X = Nilai rata-rata
N = Total bagian sampel
SD = Simpangan baku (standart deviasi)

Tabel 2. Rangkuman Hasil Perhitungan Anava
Sumber Variansi Jk dk RJK Fhitung Ftabel
0,05 0,01
Antarkelompok
Antarbaris
Interaksi
Dalam kelompok 400,41
277,35
659,95
2139,54 1
1
1
76 400,41
277,31
659,95 10,48**
7,27**
17,26**
4,00 7,02
4,00 7,02
4,00 7,02
Total 3477,25 79

Keterangan:
** = sangat signifikan pada taraf signifikansi = 0,05
Jk = Jumlah kelompok
Dk = derajat kebebasan
RJK = Rerata jumlah kuadrat
Fhitung = Harga varians perhitungan
Ftabel = Harga F pada tabel
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Anava dua jalan diperoleh harga 10,48, sedangkan harga F tabel = 4,00 pada taraf signifikansi 0,05. jadi, Fhitung > Ftabel berarti hipotesis nol ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan keterampilan menulis antara mahasiswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan terpadu dengan pendekatan tidak terpadu.
Mahasiswa kelompok pendekatan terpadu lebih dapat menuangkan gagasan dan pikrannya ke dalam karangan. Di dalam pebelajaran ini mahasiswa berpeluang untuk memahami apa yang dipelajari, bahkan tidak sekadar menerima informasi saja. Kecuali itu, mahasiswa dapat mengembangkan ketrampilan berpikirnya dalam pembelajaran ini.
Mereka dapat dengan mudah dan leluasa mengembankan ide dengan latihan-latihan yang cukup dan dapat mengerjakan tugas-tugas tersebut dengan lebih bersemangat karena sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari.pembelajaran dengan pendekatan terpadu ditekankan pada tindakan nyata, bukan pengetahuan tentang konsep dan teori bahan ajar. Keterlibatan aktif, baik secara individu maupun kelompok membuat mahasiswa makin memahami materi kuliah yang sedang dipelajari sehingga hasilnya menjadi lebih baik.
Perbedaan keterampilan menulis bagi mahasiswa yang memiliki penguasaan struktur tinggi yang belajar dengan pendekatan terpadu dan tidak terpadu, skor rata-rata untuk kelompok pendekatan terpadu adalah 71,80 lebih tinggi dibandingkan dengan skor rata-rata kelompok pendekatan tidak terpadu sebesar 60. hasil perhitungan uji Tukey dengan taraf signifikansi 0,05 menunjukkan qhitung 4,85 > 3,74 sehingga Ho ditolak.
Temuan ini bermakna bahwa mahasiswa yang memiliki penguasaan struktur tinggi yang belajar dengan pendekatan terpadu lebih baik dan teratur dalam menuangkan gagasannya, dalam bentukkomunikasi menentukan jalan pikiran, bukan hanya kata-kata. Hal ini berarti bahwa penguasaan struktur tersebut sebagai pelambang kemampuan jalan pikiran yang dituangkan dalam keterampilan berbahasa tulis. Penguasaan struktur dengan baik merupakan syarat mutlak bagi komunikasi.
Perbedaan keterampilan menulis bagi mahasiswa yang memiliki penguasaan struktur rendah yang belajar dengan pendekatan terpadu rata-ratanya 60,86 lebih rendah dibandingkan dengan skor rata-rata kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu sebesar 62,33. Hasil perhitungan uji Tukey dengan taraf signifikansi = 0,05 menunjukkan bahwa nilai qhitung -0,58 < q tabel 3,74, sehingga Ho diterima. Tidak terujinya hipotesis tersebut bukanlah berarti disebabkan oleh kesalahan dari teori, melainkan ada kemungkinan oleh pengelolaan eksperimennya. Di samping itu, mungkin pelaksanaan penelitian ini belum mampu mendorong mahasiswa terampil mengembangkan keterampilan menulisnya. Mungkin juga dosen yang menggunakan pendekatan pembelajaran belum sepenuhnya paham betul konsep pembelajaran terpadu. Kemungkinan lain karena waktu pertemuan kurang banyak sehingga tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa hasilnya kurang maksimal.
Hal lain yang menyebabkan mungkin karena kurang tertanamnya mahasiswa untuk giat berlatih menulis sesuai dengan topik-topik yang dimunati. Mungkin juga karena kurang sungguh-sungguh dan kurang cermatnya dosen dalam melaksanakan penelitian ini. Di samping itu, ada faktor kelelahan dosen yang mengajar karena ia juga mendapatkan beban mata kuliah lain yang banyak, selain mengajar keterampilan berbahasa Indonesia. Kemungkinan juga bersumber dari dosen pelaksana latihan dan pengarahan yang diberikan serta materi yang disiapkan, namun dengan keterbatasannya, dosen tidak dapat melaksanakan pengajaran sepenuhnya sesuai dengan prosdur yang ditetapkan. Temuan ini bermakna bahwa keterampilan menulis tidak ditentukan oleh tingkat penguasaan struktur, tetapi lebih ditentukan oleh pendekatan pembelajaran.
Kelompok mahasiswa yang memiliki penguasaan struktur tinggi yang belajar dengan pendekatan terpadu memperoleh rata-rata nilai keterampilan menulis sebesar 71,80 lebih besar dibandinkan dengan kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu, yakni sebesar 60.
Perolehan nilai kelompok mahasiswa yang memiliki penguasaan struktur rendaah yang belajar dengan menggunakan pendekatan terpadu memperoleh rata-rata nilai sebesar 60,86 lebih kecil daripada kelompok mahasiswa yang belajar menggunakan pendekatan tidak terpadu sebesar 62,33.
Dari perhitngan dengan analisis varians dua jalan pada taraf signifikansi 0,05 diperoleh Fhitung = 17,27, sedangkan Ftabel sebesar 4,00. hal ini berarti Fhitung > Ftabel. Dengan demikian, hipotesis nol ditolak. Kesimpulan, hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan penguasaan struktur bahasa terhadap keterampilan menulis teruji kebenarannya. Dengan kata lain terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan penguasaan struktur terhadap keterampilan menulis. Untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan menulis mahasiswa lebih baik belajar dngan pendekatan terutama bagi kelompok mahasiswa yang memiliki penguasaan struktur rendah lebih baik belajar dengan pendekatan tidak terpadu.

SIMPULAN DAN SARAN
Simplan yang dapat ditari dari penelitian ini (1) secara keseluruhan keterampilan menulis pada kelompok mahaiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu lebih baik dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu; (2) untuk penguasaan struktur tinggi, keterampilan menulis pada mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu lebih baik dibandingkan dengan yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu; (3) untuk penguasaan struktur rendah, keterampilan menulis antara kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan terpadu tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang belajar dengan pendekatan tidak terpadu, dan (4) di dalam penelitian ini ada pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan pengausaan struktur terhadap keterampilan menulis mahasiswa.
Bertolak dari simpulan di atas, penelitian menyarankan sebagai berikut.
Pertama, dalam upaya meningkatan ketarampilan menulis, hendaklah menyusun karangan secara lebih terarah perlu diberikan kepada mahasiswa
Kedua, bagi dosen mata kuliah keterampilan berbahasa Indonesia, hendaklah menerapkan pendekatan terpadu khususnya dalam keteramplan menulis karena pada dasarnya keempat aspek tersebut tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain.
Ketiga, bagi mahaiswa untuk meningkatkan keterampilan menulisnya hendaknya selalu berlatih menulis secara terus-menerus, banyak mengikuti loba karya tulis mahasiswa, dan aktif mengisi majalah kampus atau penerbitan lain yang sejenis.






DAFTAR PUSTAKA
Allen, Ian. 1986. Learning Throught and Integrated Curriculum, Approach and Guidelines. Victoria: Ministry of Education.

Chomsky, Noam. 1965. Aspect of the Teory of Syntax. Cambridge: The M.I.T. Press.

Conny Semiawan Stamboel. 1982. Prinsip dan Teknik Pengukuran dan Penilaian di dalam Dunia Pendidikan. Jakarta: Mutiara.

Cooper, Charles R. dan Odell Lee. 1977. “Holistic Evaluation of Writing” Evaluating Writing: Describing, Measuring, and Judging.

Forgaty, Robin. 1991. How to Integrate Curricula. Illinois: IKI/Skylight Publishing Inc.

Gilliam dan Dixon, Hazel. 1991. Integrating Learning Planned Curriculum Units. Auastralia: Bookshelt Publishing Australia.

Gorys Keraf. 1984. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia.

Harris, P. 1974. Testing English as a Second Language. New York: Tata McGraw-Hill.

Heaton, J.B. 1983. Writing English Language Texts. Singapore: Longman Gr.

Hughes, Athur. 1990. Testing for Language Teachers. New York: Cambridge University Press.

Imam Syafi’e. 1993. Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Madson, Harold S. 1983. Techniques in Testing. New York: Oxford University Press.

Mansoer Pateda. 1991. Linguistik Terapan. Ende-Flores: Nusa Indah.

McCrimmon, James. 1976. Writing with a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.

Mulyanto Sumardi (ed). 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Morgan, Clifford T. 1986. Introduction Psychology. New York: McGraw-Hill Book Copany.

Oxford, Robecca L. 1996. Integrating The Language. Great Britain: Pergamom.

Ramlan. 1983. “Penyusunan Tata Bahasa Struktural Bahasa Indonesia”. Pedoman Penulisan Tata Bahasa. Ed. Yus Rusyana dan Samsuri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kedbuadayaan.

Sabarti Akhadiah, Maidar G. Arsyad, dan Sakura H. Ridwan. 1996. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom Practise. New York: Addison Wesley Publishing Company Inc.

Makalah Semnas Dies UNS XXXIV

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SUMBANGANNYA
TERHADAP PERSATUAN DAN JATI DIRI BANGSA ¬1)
St. Y. Slamet )
Prodi PGSD FKIP dan PBI Program Pasacasarjana UNS

1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dan pada UUD 1945 kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahwa ”bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Di samping itu, masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa Nusantara yang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu. Penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari patokan seperti jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
Pada Sumpah Pemuda 1928, tepatnya butir ketiga secara eksplisit para pemuda pada saat itu tidak sekadar untuk mengangkat dan menyepakati bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tetapi juga untuk menjunjungnya. Menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan itu secara tersirat mengandung makna yang sangat dalam. Artinya, menggunakan bahasa Indonesia secara cermat sambil tetap memeliharanya agar bahasa Indonesia dapat tumbuh dan berkembang sebagai sarana komunikasi yang mantap dan sekaligus sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia.
Sumpah Pemuda 1928 secara tegas menyatakan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Pernyataan itu telah terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia telah menyatukan bangsa yang terdiri atas bermacam suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing yang tersebar dari Sabang hingga Merauke ke dalam satu kesatuan bangsa Indonesia.
Jika dalam masa perjuangan “menjunjung bahasa persatuan” berati mengangkat bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia, maka pada masa sekarang ini “menjunjung bahasa persatuan” berarti kita harus menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar demi memperkokoh rasa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Selain sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 36, UUD 1945. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara itu, fungsi bahasa Indonesia harus dilihat dan ditempatkan dalam konteks ucaha mencapai tujuan yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Dari sudut pandang itu, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan yang memperlihatkan keterkaitan yang langsung dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional telah berusia 82 tahun dan sebagai bahasa negara 65 tahun. Sebagai suatu bahasa untuk ratusan juta penduduk yang tersebar pada ratusan pulau dengan bahasa daerah yang jumlahnya juga ratusan, kurun waktu yang demikian merupakan usia yang masih muda. Akan tetapi, bahasa Indonesia menanggung beban tugas yang amat sarat karena ia dituntut untuk tetap menjadi sarana komunikasi yang mantap dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam konteks persataun bangsa yang tengah dan terus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, harus tetap mempertahankan dirinya sebagai sarana komunikasi yang efektif dan efisien tanpa kehilangan, apalagi mengorbankan keutuhan jati dirinya.
Dari uraian di atas, dapatlah dipikirkan bahwa bahasa Indonesia bukanlah hanya sekadar alat untuk berkomunikasi, melainkan juga merupakan sesuatu yang sangat berpengaruh dan bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan juga bahwa masa depan bahasa Indonesia berkaitan erat dengan masa depan bangsa dan negara. Barangkali, inilah yang dimaksud dengan ungkapan yang menyatakan, “bahasa menunjukkan bangsa” yang diwariskan oleh para pendahulu kita. Jika hal itu dihubungkan dengan bangsa Indonesia, masalah bahasa Indonesia sekarang dan masa yang akan datang juga tergantung pada sikap bangsa Indonesia terhadap bahasa nasional tersebut. Bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan terhadap masalah pembinaan dan pengembangan bahasa di tanah air kita ini.
Berdasarkan kerangka pemikiran seperti yang dipaparkan di atas, pada makalah ini akan dikemukakan beberapa hal yang diharapkan akan mengantarkan bangsa Indonesia ke arah kehidupan dan peradaban yang modern.

2. Perkembangan Bahasa Indonesia
Tahap petama, perkembangan fungsi bahasa Indonesia terjadi pada masa prakemerdekaan bangsa Indonesia. Pada masa itu terjadi loncatan perkembangan pemikiran pada suatu golongan tertentu masyarakat Indonesia, yaitu golongan terpelajar yang telah bersentuhan dengan sistem pendidikan cara Eropa. Perkembangan pemikiran itu diikuti dan juga kemudian didorong oleh gerakan-gerakan sosial yang memunculkan himpunan, organisasi yang bergerak di bidang budaya, politik, pendidikan, dan ekonomi. Himpunan atau organisasi itulah yang merupakan landasan bagi terwujudnya konsep bangsa Indonesia. Dalam rangka itu, bahasa Indonesia, yang pada waktu masih berada dalam taraf pendefinisian dijadikan instrumen yang ampuh untuk mempercepat proses pembentukan bangsa baru, yaitu bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi bahasa bangsa berdasarkan keputusan atas pilihan. Pada gilirannya, pada waktu itu bahasa Indonesia berfungsi sebagai sarana pembentukan kesadaran akan kesatuan bangsa: kesadaran akan kebutuhan bersatu mengatasi keanekaragaman berbagai suku bangsa yang sama-sama dijajah Belanda, dan juga kesadaran akan perbedaan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa asing di luarnya.
Tahap kedua, perkembangan fungsi bahasa Indonesia terjadi pada kemerdekaan awal. Pada masa itu negara Republik Indonesia telah terbentuk, tetapi masih mengalami masa pancaroba dalam bidang politik dan kemiliteran. Rongrongan-rongrongan terhadap persatuan bangsa dilakukan oleh berbagai pihak musuh. Dalam situasi demikian itu, pelaksanaan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara merupakan peningkatan fungsi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bukan saja merupakan lambang persatuan bangsa, melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan bernegara yang memerlukan pengelolaan tersendiri. Pengelolaan itu didasari oleh suatu strategi tertentu untuk memastikan berfungsinya bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu, serta untuk mendemonstrasikan suatu kenyataan hadirnya sebuah negara baru yang merdeka dan berdaulat, yang mempunyai bahasanya sendiri.
Pada tahap ketiga itulah dilakukan usaha ke arah terwujudnya bahas Indonesia sebagai bahasa resmi. Upaya yang disebut sebagai pembinaan diarahkan kedua tujuan. Tujuan pertama adalah agar bahasa nasional itu sebagai media komunikasi semakin luas dikenal dan dipergunakan di dalam masyarakat Indonesia baru. Tujuan kedua adalah agar bahasa itu sendiri sebagai suatu sistem simbol, menjadi semakin lengkap sebagai suatu perangkat yang utuh. Dalam hal terakhir ini dilakukan upaya-upaya pengkajian dan perumusan kaidah secara berkelanjutan, baik berkenaan dengan ejaan, kosakata, maupun tata bahasa.
Tahap ketiga perkembangan fungsi bahasa Indonesia terjadi ketika kekuatan negara Republik Indonesia semakin mantap, dana untuk pelaksanaan berbagai usaha pun tersedia, dan pakar-pakar Indonesia yang ahli bahasa dan kesusastraan semakin banyak muncul dan berperan dalam bidang keahliannya. Bahasa Indonesia dengan kemajuan-kemajuan dalam perkembangannya, menjadi berfungsi untuk semakin mematapkan jati diri bangsa. Karya ilmiah yang bermutu telah banyak ditulis dalam bahasa Indonesia, dan dalam bidang kesusastraan pun terlihat perkembangannya, melalui karya-karya penulisan, berupa semakin kayanya bahasa Indonesia akan variasi kemungkinan ekspresi di samping itu, semakin disadari pula adanya perbedaan ragam di dalam bahasa Indonesia. Pada tahap ketiga ini, di mana kita sekarang berada, penganekaragaman ini mulai tampil secara nyata, baik melalui perkembangan ilmiahnya di dalam masyarakat maupun melalui kajian serta usaha yang memang terarah ke sana. Di samping kristalisasi ragam bahasa, perluasan perbendaharaan kata pun berjalan terus.

2. Peran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia memeliki peran yang sangat menentukan dalam perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, bahasa Indonesia berhasil membangkitkan diri menggalang semangat kebangsaan dan semangat perjuangan dalam mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan” sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Kenyataan sejarah itu berarti bahwa bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah berfungsi secara efektif sebagai alat komunikasi antarsuku, antardaerah, dan bahkan antarbudaya.
Sebagai akibat dari ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia yang memiliki peran yang sangat menentukan sebagai alat komunikasi dalam peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam hubungan ini, bahasa Indonesia tidak hanya digunakan sebagai bahasa resmi dalam penyelenggaraan kehidupan negara dan pemerintahan, tetapi juga sebagai bahasa pengantar pada jenis dan jenjang pendidikan, sebagai bahasa perhubungan nasional (terutama dalam kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional), sebagai sarana pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara masih harus terus dimantapkan dan dikaji ulang. Pada dasarnya peran atau fungsi bahasa Indonesia dari waktu ke waktu boleh dikatakan tidak mengalami perubahan. Artinya, rincian peran bahasa Indonesia, sekurang-kurangnya yang telah disinggung tadi, boleh dikatakan berlaku sepanjang masa selama bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. Yang perlu dipertimbangkan ialah kemungkinan memberikan perhatian yang lebih khusus pada peran-peran tertentu, sesuai dengan perkembangan iptek, dan sebagai sarana pembinaan kehidupan budaya bangsa.

3. Pembinaan Jati Diri Bangsa
Sebagai salah satu sarana pembinaan jati diri bangsa, bahasa Indonesia senantiasa selalu dibina dan dipelihara oleh seluruh warga masyarakat, yaitu baik pemerintah maupun swasta, baik pakar maupun awam. Pembinaan itu meliputi dua aspek yang perlu berjalan seimbang. Aspek pertama adalah kebahasaan yang meliputi baik ketatabahasaan maupun kosakata, sedangkan aspek kedua adalah kesusastraan. Kedua aspek tersebut memang berkaitan erat, tetapi tetap dapat dipisahkan fungsinya. Pada sisi kebahasaan yang dipentingkan adalah rancang bangunnya atau tingkat kebakuan kaidah-kaidahnya. Termasuk pula ke dalamnya persoalan kosakata. Perwujudan nyata dari penanganan sisi kebahasaan ini adalah kajian linguistik beserta penggunaan-penggunaan terapannya. Pokok kajian linguistik ini, sebagaimana diketahui, meliputi baik kosakata, struktur kebahasaan, tingkah laku pengguna bahasa, maupun pembunyian dan penulisannya. Di sini bahasa ditinjau sebagai suatu sistem tanda. Dalam penggunaan sistem ini bisa terdapat perbedaan antara modus yang tepat dan yang salah. Di antara keduanya terdapat modus yang menyimpang, yang apabila menjadi kebiasaan dapat menjadi suatu penanda ragam bahasa yang khusus.
Pada sisi kesusastraan, pokok pandang yang dipentingkan adalah bagaimana sistem tanda itu dimanipulasi dan dipergunakan sebagai media ekspresi. Baik pengindahan, pelambangan di atas lambang-lambang, maupun kadang-kadang pengingkaran secara sengaja atas kaidah-kaidah umum merupakan kiat-kiat yang dapat digunakan oleh sastrawan. Tujuan karya sastra bukanlah semata-mata menyampaikan pesan, melainkan juga untuk menummbuhkan efek tertentu pada pembacanya.
Bagi setiap pengguna bahasa perlu latihan-latihan berbahasa secara efektif. di samping penggunaan sehari-hari yang bersifat ”apa adanya” dan ”tidak sadar”, diperlukan pula latihan-latihan untuk paling tidak dapat membedakannya dengan modus penggunaan yang ”ilmiah” dan yang ”susastra”. Penggunaan bahasa untuk keperluan ilmiah atau yang sejalan dengannya memerlukan ketepatan dan keterbatasan yang jelas dari setiap kata yang digunakan. Sebaliknya, penggunaan bahasa untuk keperluan berkesusastraan justru mencari daya resonansi dan asosiasi yang memerlukan daya tangkap yang halus dari pembacanya. Kedua modus yang disebut terakhir pelatihan berbahasa sebanyak-banyaknya warga masyarakat Indonesia akan menjadikan bangsa Indonesia ini lebih kuat sebagai bangsa yang cerdas dan arif. Di sinilah letak arti bahasa dalam pembentukan jati diri bangsa.

4. Bahasa Indonesia dan Pembinaan Kehidupan Budaya Bangsa
Kalau dalam hubungannya dengan persatuan dan kesatuan bangsa yang perlu diperhatikan adalah bahasa Indonesia dan bahasa daerah, tetapi dalam hal pengembangan iptek perhatian itu hendaknya dipusatkan pada bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan bahasa asing. Pengaitan bahasa asing itu sekaligus menggambarkan kenyataan bahwa konsep-konsep iptek modern, pada umumnya berasal dari dunia barat, masih tertulis dalam bahasa asing.
Sehubugan dengan pemanfaatan dan kemungkinan pengembangannya, buku-atau tulisan-tulisan tentang iptek modern yang masih diungkapkan dalam bahasa asing haruslah diupayakan penyebarluasannya dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Kedua, mengusahakan agar dalam bahasa Indonesia juga tersedia perangkat peristilahan yang menyangkut bidang iptek tersebut. Cara yang disebutkan pertama akan sangat bergantung pada hasil kerja cara kedua. Artinya, penerjemahan buku-buku iptek ke dalam bahasa Indonesia hanya dapat dilakukan kalau perangkat peristilahan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, upaya yang perlu dilakukan agar pengembangan bahasa Indonesia seimbang dengan gerak laju pembangunan di bidang iptek ialah penyusunan dan pembakuan istilahnya.
Penyusunan dan pembakuan istilah bidang iptek hendaknya dilakukan oleh para ahli di bidang yang bersangkutan bersama-sama dengan para ahli bahasa. Cara yang seperti inilah yang selama ini ditempuh oleh Pusat Bahasadalam rangka pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia, termasuk dalam hal penyediaan perangkat pristilahan di bidang iptek.
Salah satu aspek budaya bangsa yang telah disebutkan pada makalah ini ialah jati diri bangsa. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa jati diri bangsa itu pada gilirannya dapat juga ditafsirkan sebagai pembinaan kehidupan budaya bangsa. Kalau bahasa Indonesia tidak dapat melaksanakan perannya dengan baik sebagai alat komunikasi masyarakat bangsa, maka pertahanan kebangsaan dalam bentuk identitas dan sistem nilai itu akan rapuh. Bahasa indonesia akan makin kehilangan daya rekatnya sebagai alat pemersatu.
Dalam konteks pembinaan kehidupan budaya bangsa ini, interaksi yang perlu diperhatikan tidak saja antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah, tetapi juga antara bahasa Indonesia dan bahasa asing. Dalam hubungannya dengan bahasa daerah, pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang kebudayaan harus dapat memberikan gambaran dan pemahaman yang jelas tentang puncak-puncak kebudayaan daerah yang didasari oleh nilai budaya daerah yang luhur. Persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan mengakibatkan dicorakinya kebudayaan nasional oleh ciri-ciri budaya daerah. Sebaliknya, persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing akan membuat kebudayaan nasional itu agak bercorak mondial.
Berdasarkan kedua kecenderungan itu, bahasa Indonesia yang berperan dalam pembinaan budaya bangsa harus menampilkan diri, baik dalam sistem ketatabahasaannya maupun dalam kenyataan pemakaian bahasanya, sebagai filter yang akan menjaga keutuhan identitas dan sistem nilai yang bercorak nasional itu. Untuk itu, sejauh menyangkut pembinaan dan pengembangan bahasa, bahasa daerah dan bahasa asing harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menetapkan sistem dan pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia. Hal itu berarti bahwa unsur-unsur yang berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing itu, seperti yang telah dikemukakan, haruslah disesuaikan dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.
Pembinaan bahasa Indonesia terus ditingkatkan sehingga penggunaannya secara baik dan benar serta dengan penuh rasa bangga makin menjangkau seluruh masyarakat, memperkukuh persatuan dan kestuan bangsa, serta memantapkan kepribadian bangsa. Penggunaan istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia harus dihindari. Pengembangan bahasa Indonesia juga terus ditinkatkan melalui upaya penelitian, pembakuan peristilahan dan kaidah bahasa, serta pemekaran perbendaharaan bahasa sehingga bahasa Indonesia lebih mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Penulisan karya ilmiah dan karya sastra termasuk bacaan anakyang berakar pada budaya bangsa, serta penerjemahan karya ilmiah dan karya sastra yang memberikan inspirasi bagi pembangunan budaya nasional perlu digalakkan untuk memperkaya bahasa, kesastraan, dan pustaka Indonesia.
Pembinaan bahasa daerah perlu terus dilanjutkan dalam rangka mengembangkan serta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia dan khazanah kebudayaan nasional sebagai salah satu unsur jati diri dan kepribadian bangsa. Perlu ditingkatkan penelitian, pengkajian, daan pembangunan bahasa dan sastra daerah serta penyebarannya melalui berbagai media.
Kemampuan penguasaan bahasa asing perlu ditingkatkan dan dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dengan bangsa lain di segala aspek kehidupan terutama informasi ilmu pengetaahuan dan teknologi. Di samping itu, penguasaan bahasa asing juga memperluas cakrawala pandang bangsa sejalan dengan kebutuhan pembangunan.

5. Bahasa Indonesia dan Sumbangannya terhadap Kehidupan Bangsa
Ungkapan ”bahasa menunjukkan bangsa” memperlihatkan kesalingterikatan yang sangat erat antara bahasa dan kehidupan bangsa. Seberapa jauh tingkat dan intensitas kesalingterkaitan itu berbanding sejajar dengan besarnya sumbangan yang diberikan bahasa terhadap kemajuan bangsa itu sendiri. Kesalingterikatan itu akan diwarnai oleh peran bahasa, terutama dalam pembangunan jati diri dan sistem nilai yang bercorak nasional. Dalam konteks Indonesia, hal itu akan dengan sendirinya tercermin melalui kekuatan atau daya rekat yang dimiliki bahasa Indonesia untuk mempersatuakan berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang etnis, budaya, dan bahasa yang berbeda menjadi kesatuan masyarakat yang lebih besar yang disebut bangsa Indonesia.
Dalam hubungan itu, perlu disinggung hubungan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerahyang jumlahnya ratusan itu. Hubungan itu dapat dilihat sekurang-kurangnya dari dua sisi, yaitu sisi bahasanya dan sisi para pemakainya. Dari segi bhahasanya kita melihat adanya hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam hal pemerkayaan kosakata masing-masing. Bertambah kayanya kosakata bahasa Indonesia, antara lain, berasal dari berbagai bahasa daerah. Demiukian pula sebaliknya, bahasa daerah pun turut diperkaya kosakatanya oleh bahasa Indonesia.
Sumbangan dari setiap bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia itu sudah barang tentu tidak berlangsung berdasarkan atas keadilan dan pemerataan. Asas itu justru harus dikembalikan pada kondisi objektif dari setiap bahasa daerah yang bersangkutan. Atas dasr itu, hanya bahasa daerah yang ’kuat’ yang dapat memberikan sumbangannya terhadap bahasa Indonesia. Faktor kuatnya bahasa daerah itu itu dapat diamati, antara lain, dari jumlah penuturnya, seberapa jauh bahasa daerah itu menjadi sarana pendukung utama kebudayaan kelompok etnis yang bersangkutan, dan seberapa jauh bahasa daerah yang bersangkutan digunakan sebagai sarana komunikasi secara tertulis. Dengan memprhatikan ketiga faktor itu, keberadaan bahasa-bahasa daerah haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk keperluan pemerkayaan kosakata dan pemantapan sistem bahasa Indonesia. Catatan yang patut ditambahkan ialah bahwa kata apa pun yang berasal dari bahasa daerah mana pun tunduk pada aturan atau mengikuti kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.
Hubungan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dilihat dari sisi para pemakainya merupakan masalah pembinaan. Dengan mengecualikan mereka yang belum mampu dapat nerbahasa Indonesia, pada mumnya dapat dikatakan bahwa penduduk Indonesia merupakan penutur yang bilingual karena di samping menguasai bahasa Indonesia, mereka juga dapat menggunakan salah satu bahasa daerah sebagai bahas ibunya. Penguasaan dua bahasa sekaligus oleh seseorang akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya apa yang secara teknis disebut interferensi, baik interferensi yang bercorak gramatikal maupun leksikal.
Pengamatan terhadap kenyataan pemakaian bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa interferensi leksikal lebih menonjol daripada yang gramatikal. Gejala itu jelas menggambarkan kurang cermatnya penutur yang bersangkutan dalam menggunakan bahasa Indonesia dan, apabila secara kebetulan si lawan bicaranya tidak memahaminya, hal itu akan mengganggu kelancaran komunikasi. Kalau hal itu terjadi, bahasa yang diguakan tidak lagi efektif sebagai sarana komunikasi. Dalam skala nasional, cara berbahasa seperti itu hendaknya mendapat perhatian yang layak dari semua pihak yang berkepentingan agar gejala tersebut tidak sampai menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Masalah itu perlu kita sadari bersama karena dalam kerangka pembangunan nasional, jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa merupakan modal dasar kedua setelah kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara.
Peran bahasa Indonesia dalam pembangunan bangsa erat pula kaitannya dengan kualitas penduduknya. Dalam makalah ini kualitas penduduk itu dihubungkan dengan mutu atau tingkat penguasaan bahasa Indonesia. Menurut sensus penduduk 2000 bahwa 82,87% dari penduduk Indonesia sudah dapat berbahasa Indonesia. Tanpa memperhitungkan seberapa jauh mutu atau tingkat penguasaan bahasa Indonesia mereka, karena sama sekali tidak terdapat indikator yang dapat digunakan untuk keperluan itu, dapatlah dikatakan bahwa angka 82,87% itu memperlihatkan banyaknya prosentase penduduk Indonesia yang dapat menyerap dan memahami konsep-konsep dan informasi pembangunan yang disampaikan dengan bahasa Indonesia. Dari kelompok penduduk inilah sumber daya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan bangsa diharapkan dapat ditingkatkan.
Pembanguan sumber daya yang potensial dan produktif dapat pula diikaitkan dengan peran bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar mencerdaskan kehidupan bangsa ini pada dasarnya dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kegiatan dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang potensial dan produktif itu. Setelah memasuki lapangan kerja, mereka juga berhadapan dengan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang digunakan secara lisan atau tertulis dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat menentukan dalam rangka pembangunan bangsa. Agar pembengunan ini berhasil seperti yang direncanakan, bahasa Indonesia yang digunakan sebagai sarana komunikasinya perlu dikuasai secara mantap. Sampai pada tingkat tertentu bahasa Indonesia tidak saja dikatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan sarana pembuka jalan seseorang akan bertanding sejajar dengan bidang tugas atau pekerjaan yang terbuka bagi yang bersangkutan.

6. Penutup
Keberhasilan upaya membahasaindonesiakan seluruh bangsa Indonesia akan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang berarti memantapkan pula jati diri bangsa dan sekaligus meningkatkan ketahanan nasional.
Seberapa jauh pandangan dan harapan yang telah dikemukakan di atas, sehubungan dengan sumbangan bahasa Indonesia dalam pesatuan dan jati diri bangsa, hal itu akan terpulang pada masyarakat pemakaianya secara keseluruhan. Sementara itu, yang perlu ditambahkan pada bagian akhir makalah ini ialah bahwa upaya apa pun yang dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa haruslah didasarkan pada perencanaan bahasa yang telah digariskan secara nasional.
Sebagai akibat dari begitu kompleksnya jaringan masalah kebahasaan di Indonesia karena adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah pada satu pihak, dan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing padapihak yang lain, ditambah pula dengan tuntutan agar bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi yang efektif dan efisien dalam berbagai bidang kehidupan, maka perencanaan bahasa itu tidak semata-mata didasarkan pada eksistensi bahasa Indonesia sebagai sistem fonologi, gramatikal, dan semantis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor nonkebahasaan seperti politik, pendidikan, iptek, kebudayaan, dan ekonomi.

























DAFTAR PUSTAKA

Amran Halim. 1979a. ”Faktor Sosial Budaya dalam Pembakuan Bahasa Indonesia” dalam Pembinaan Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

_______. 1979b. Sikap Bahasa dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Bahasa Nasional” dalam Pembinaan Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

_______. 1981. ”Language, Education, and Nation Building” dalam Amran Halim (Ed.). Bahasa dan Pembangunan Bangsa: 329-337. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Anton M. Moeliono. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

_______. 2000. Pengembangan Laras Bahasa dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern. Jakarta: Pusat Bahasa.

Asim Gunarwan. 2006. Bahasa Asing sebagai Kendala Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Eastman, Carol M. 1991. Language Planning. San Fransisco: Chandler & Sharp Publishers.

Edwards, John. 1985. ”Language Society and Identity. Oxford: Blackwell.

Emil Salim. 1988. “Membangun Bahasa Pembangunan”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia IV.

Hasan Alwi, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan S.R.H. Sitanggang. 1998. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000: Risalah Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Herman Johanes. 1988. ”Usaha Mencari Istilah Ilmiah Indonesia” dalam Adjar Sakri (Ed): 130-142. Ilmuwan dan Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.

Inyo Yos Fernandez. 2005. Perkembangan Pengaruh Bahasa Daerah dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Yayah B. Lumintaintang. 2006. Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Bermasyarakat. Jakarta: Pusat Bahasa.

Mansoer Pateda. 2005. Masa Depan Bahasa Daerah dalam Kaitannya dengan Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Yogie S.M. 1998. “Peranan Bahasa Indonesia dalam Persatuan dan Kesatuan Bangsa” Makalah Kongres Bahasa Indonesia VI.

Artikel Peringatan Ultah Prof. Herman J. Waluyo

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERNALAR DAN KREATIVITAS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

(Suatu Alternatif) [1])

Oleh:

St.Y. Slamet [2])

A. Pendahuluan

Upaya peningkatan kualitas manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia yang akan melaksanakan pembangunan pada masa yang akan datang. Upaya tersebut merupakan salah satu aspek pembangunan sosial budaya melalui sektor pendidikan.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai masyarakat Indonesia merupakan tujuan yang kompleks. Tujuan yang kompleks tersebut tentu saja merupakan tugas besar bagi masyarakat, khususnya para pendidik. Bagaimana wujud pendidikan yang dapat menghasilkan manusia seutuhnya dengan pengertian seperti di atas?

Sehubungan dengan tujuan itu, saya ingin mengangkat ciri ”kepribadian yang mandiri” sebagai pangkal tolak pembahasan saya. Ciri mandiri atau kemandirian meliputi berbagai aspek di antaranya kemandirian secara moral, menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru, melihat permasalahan, serta menemukan cara pemecahan yang nalar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, berpikir secara nalar dan kreatif.

Sifat mandiri itu sangat diperlukan, mengingat semakin kompleksnya permasalahan, serta semakin cepatnya perubahan yang terjadi pada kurun zaman yang akan datang. Dengan kemandirian yang dimilikinya itu, seseorang diharapkan tidak saja mampu menyesuaikan diri dengan perubahan itu, melainkan juga mampu mengarahkan perubahan itu sesuai dengan tujuannya sendiri.

Namun, kemandirian semacam yang dimaksudkan di atas tidaklah lahir dengan sendirinya. Sifat itu harus ditumbuhkan dan dibina sejak usia dini melalui upaya pendidikan. Lalu, pertanyaan yang timbul sekarang, bagaimana wujud pendidikan yang dapat menghasilkan pribadi yang mandiri itu? Selanjutnya, karena kemandirian di sini saya terjemahkan sebagai kemampuan bernalar dan kreativitas maka masalah yang saya bahas ialah bagaimana menumbuhkan kemampuan bernalar dan kreativitas melalui jalur pendidikan formal?

Dalam upaya membahas masalah di atas akan diutarakan hal-hal berikut:

(1) Hakikat Kemampuan Bernalar dan Kreativitas

(2) Bahasa sebagai Sarana Berpikir

(3) Pengembangan Kegiatan Terpadu Melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

(4) Strategi Kemampuan Bernalar dan Kreativitas

(5) Tantangan dan Kendala

(6) Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) sebagai Langkah Awal.

B. Hakikat Kemampuan Bernalar dan Kreativitas

Sebagai sebuah kegiatan berpikir, penalaran itu antara lain bersifat logis. Kegiatan berpikir bersifat logis adalah suatu kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Logika menurut Leonard adalah ilmu bernalar secara tepat. Hal ini berarti bahwa ilmu bernalar berusaha dan menyatakan kaidah-kaidah sesuai dengan kegiatan berpikir yang dapat dinilai baik atau buruk, benar atau salah, atau masuk akal atau tidak (Leonard, 1997). Hal yang sama juga dikemukakan Copi (1978) yang menyatakan bahwa logika adalah studi tentang metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dan penalaran yang tidak benar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Oleh sebab itu, bisa saja terjadi, suatu kegiatan berpikir dinyatakan logis ditinjau dari suatu logika tertentu, tetapi menjadi tidak logis jika ditinjau dari sudut logika yang lain.

Pencapaian pengetahuan melalui penalaran terjadi secara tak langsung, yaitu melalui mediasi. Ciri mediasi ini membedakan penalaran dari jenis pemikiran asosiatif dan persepsif. Ciri lain yang penting ialah bahwa penalaran dilakukan secara sadar dengan tujuan tertentu.

Vinacke (1974) mengemukakan bahwa secara tradisional pemikiran mencakup penalaran dan imajinasi. Pemikiran mengacu kepada pemecahan masalah secara logis. Pemecahan masalah ini memerlukan penataan dan penataan kembali pengalaman masa lampau serta pengetahuan yang sudah diperoleh, tidak hanya sekedar memberikan respons yang sudah menjadi kebiasaan.

Penalaran mempunyai peranan penting dalam pemecahan masalah. Untuk keperluan analisis yang saya bahas dalam uraian ini, saya menggarisbawahi pengertian penalaran sebagai kegiatan berpikir yang dilakukan dengan sadar, secara sistematis terarah dan bertujuan dalam menghasilkan kesimpulan yang sahih dan benar. Salah satu jenis penalaran yang penting ialah penalaran ilmiah. Penalaran ini merupakan sintesis antara penalaran induktif yang empiris dan penalaran induktif yang rasional (Suriasumantri, 1997), serta bersifat logis dan analisis. Sifat logis menunjukkan bahwa penalaran dilakukan menurut pola pemikiran (logis) tertentu, sedangkan sifat analisis menunjukkan bahwa penalaran dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai konsekuensi digunakannya pola pemikiran itu.

Kemampuan berpikir secara nalar bukan merupakan kemampuan statis dibawa sejak lahir. Kemampuan itu berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan kemampuan berpikir secara nalar itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa teori yang berkaitan dengan anak usia SD.

Teori Piaget tentang prkembangan kognitif sampai sekarang menempati kedudukan yang penting. Meskipun telah banyak pendapat lain yang berkembang pada akhir-akhir ini, teori Piaget masih cukup dominan. Agaknya, hal ini disebabkan oleh cakupannya yang luas yaitu perkembangan sejak masa bayi sampai dewasa. Teori Piaget mengacu kepada topik-topik yang selama berabad-abad merupakan permasalahan orang tua, guru, serta para ahli filsfat. Pada tahapan yang lebih khusus teori-teori itu membicarakan perkembangan konsep tentang waktu, ruang, bilangan, dan lain-lain yang merupakan pemerolehan intelektual yang mendasar dalam kehidupan manusia. Pada sisi ini teori Piaget sampai sekarang masih merupakan pencapaian intelektual yang sangat bermakna.

Secara umum, inti teori Piaget membahas perkembangan intelegensi anak. Menurut Piaget (1976) perkembangan kognitif itu mengikuti empat tahapan, yaitu sensor motoris (0-2 tahun), praoperasional (2-6 tahun), operasional konkret (7-11 tahun atau 12 tahun), dan operasional formal (di atas 11 atau 12 tahun). Dalam setiap tahapan selalu terjadi perubahan-perubahan pemahaman tentang berbagai konsep yang penting seperti konservasi, klasifikasi, dan hubungan atau relasi.

Perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses penting yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asumsi mengacu kepada cara anak menginterpretasikan informasi yang diterimanya menurut struktur mental yang dimilikinya. Akomodasi adalah cara yang ditempuh anak untuk memahami dunia dengan mengubah struktur mental yang dimilikinya guna merespons pengalaman baru. Ekuilibrasi merupakan tiga tahapan yang mencakup asimiliasi dan akomodasi: pertama, anak berada pada keadaan ekuilibrum (keseimbangan); kedua, ketika anak menerima informasi baru dan mengalami kegagalan untuk mengakumulasikannya, ia menjadi sadar akan kekurangan pemahaman yang dimilikinya; akhirnya struktur mentalnya menyesuaikan diri dengan informasi baru itu dengan membentuk keadaan ekuilibrum yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan cara demikian kemampuan kognitifnya berkembang.

Pada tahap perkembangan sensoris motoris seorang anak “mempelajari” gerakan-gerakan yang makin lama makin kompleks. Ia juga mempelajari konservasi sederhana; ia menyadari ketepatan suatu objek. Ia juga mulai memahami klasifikasi dan hubungan sederhana. Selanjutnya pada tahap praoperasional ia mempelajari fungsi-fungsi semiotik yang memungkinkannya mempelajari bahasa dan kegiatan mental lainnya. Menurut Piaget (1976), anak praoperaional biasanya belum dapat memahami konservasi, pengelompokan, dan relasi karena masih lebih terikat persepsi daripada transformasi, pada sifatnya egosentrik, dan masih terpaku pada satu dimensi saja. Namun, pada akhir tahap ini pula ia mencapai kemajuan yang sangat pesat dalam pemerolehan bahasa.

Baru pada tahap operasional konkret, anak dapat memahami konsep-konsep yang tidak dapat dipahaminya pada tahap sebelumnya karena ia telah mencapai kemampuan operasi yang sesungguhnya. Operasi-operasi ini memungkinkannya memahami konsep-konsep serta melakukan transformasi. Operasi ini dapat dibolak-balik dan digabungkan menjadi sistem operasi yang lebih banyak berpikir secara induktif.

Tahap terakhir perkembangan kognitif ialah tahap operasional. Pada tahap ini ia tidak saja telah mampu memahami konsep-konsep yang abstrak. Ia tidak lagi terikat pada keadaan “di sini” dan “sekarang”. Ia lebih dapat membedakan dengan tegas antara kenyataan dan kemungkinan serta harapan. Dengan demikian, mereka pun mampu berpikir secara nalar di samping secara induktif.

Bagaimana kemampuan berpikir secara nalar untuk anak usia SD? Yang dimaksud dengan anak usia SD di sini ialah usia antara 6 sampai 12 tahun. Dengan demikian, mungkin anak usia SD mengalami dua tahapan perkembangan, yaitu pada awal masa sekolah ia berada pada akhir tahapan praoperasional kemudian berkembang ke arah tahapan operasional konkret. Mungkin juga ia berada pada awal tahapan operasional formal. Bagaimanapun juga ia telah memiliki kemampuan-kemampuan kognitif dasar yang dicapainya pada tahapan praoperasional dan telah memiliki kemampuan berbahasa yang “sempurna” dalam arti telah menguasai kaidah-kaidah dasar bahasa ibunya. Pada umur antara 4-7 tahun, di dalam ia berbicara ia tidak lagi bersifat egosentrik. Semuanya itu merupakan modal dasar untuk perkembangan selanjutnya. Piaget menganggap bahwa tahap praoperasional merupakan tahap peletakan dasar-dasar operasi yang memungkinkan anak menggambarkan peristiwa-peristiwa secara internal. Pada tahap operasional anak mampu memanipulasikan gambaran internal ini. Dengan demikian ia menyadari akan potensi pemikiran yang luwes dan kuat.

Hal yang pokok pada tahapan operasional konkret ialah pemerolehan berbagai operasi yang disebut juga tindakan terinternalisasikan. Operasi ini meningkatkan kemampuan berpikir anak. Dengan kemampuan itu pada tahap ini ia dapat memahami serta memecahkan soal-soal yang tidak dapat dipahami atau dipecahkan pada tahap sebelumnya. Berikut ini akan dikemukakan uraian tentang berbagai kemampuan yang telah dikuasai anak.

1. Konservasi

Pada tahap praoperasional dan awal operasional konkret anak menyadari bahwa kualitas tertentu pada objek bersifat tetap meskipun bentuknya berubah. Pada akhir tahapan operasional konkret anak menyadari bahwa pada objek banyak dimensi yang bersifat tetap meskipun mengalami transformasi yang mengubah bentuk atau rupanya.

Menurut Piaget pada tahapan operasional konkret penalaran anak tidak hanya mengenai satu dimensi objek, tetapi masih belum dapat secara konsisten (ajek) menggunakan cara berpikir yang baru dan kerap kali masih ragu-ragu, serta belum mantap dalam menggunakan cara memecahkan persoalan.

2. Klasifikasi dan Hubungan

Piaget mengemukakan bahwa pada tahapan operasional konkret, anak menganggap kelas dan hubungan sebagai bagian kebulatan suatu sistem. Pada umur antara 9-10 tahun ia telah dapat memecahkan soal tentang klasifikasi ganda dengan baik.

Menurut teori Piaget penalaran anak sesuai dengan tahapan yang dialaminya. Jika seorang anak memiliki penalaran operasiaonal konkret, dapat dikatakan bahwa di dalam banyak hal ia menerapkan ciri-ciri tahapan itu. Seorang anak yang berumur 8 tahun secara ideal akan memahami semua konsep tahapan operasional konkret, yaitu konservasi kuantitas zat cair, klasifikasi, serasi, dan seterusnya, dan akan gagal dalam memahami soal-soal konsep untuk tahapan operasional, seperti berpikir tentang semua gabungan yang mungkin ada, konservasi gerak dan sebagainya. Secara teoretis konsep tentang konservasi bilangan, konservasi kuantitas zat padat, dan konservasi berat dikuasai anak secara serentak; seorang anak akan memahami semua konservasi bilangan sekitar umur 6 tahun, konservasi kuantitas zat padat sekitar umur 8 tahun, dan konservasi berat sekitar umur 10 tahun.

Tingkat konsistensi penalaran anak dalam berbagai soal bergantung kepada siapa, mengenai apa, dan bila kita melakukan observasi. Dalam hal ini faktor-faktor kepribadian, topik, kondisi fisik dan lingkungan, kondisi psikis, serta nilai-nilai yang berlaku turut mempengaruhi. Dapatkah kita melakukan percepatan dalam perkembangan kognitif? Piaget mengemukakan bahwa hal itu tidak mungkin. Namun, penelitian Muuss memperlihatkan bahwa sampai batas-batas tertentu percepatan dapat dilakukan, antara lain dengan berbagai variasi teknik instruksinal.

C. Bahasa sebagai Sarana Berpikir

Batas bahasaku adalah batas duniaku (Wittgenstein, 1992). Manusia untuk dapat melakukan kegiatan berpikir dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dengan menguasai bahasa maka seseorang akan menguasai pengetahuan.

Tiada kemanusiaan tanpa bahasa, tiada peradaban tanpa bahasa tulis. Manusia tidak berpikir hanya dengan otaknya (Laird, 1989). Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan bahasa bagi perkembangan manusia. Bahasa juga memberikan urunan yang besar dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa. Dengan bantuan bahasa, anak tumbuh dari suatu organisme biologis menjadi suatu pribadi di dalam kelompok, yaitu suatu pribadi yang berpikir, merasa berbuat, serta memandang dunia dan kehidupan sesuai dengan lingkungan sosialnya.

Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasanya. Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan bastrak, seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mugkin dapat dilakukan. Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini maka manusia tidak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.

Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistematis. Tranformasi objek faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat perbendahaan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa (informatif dan emotif) ini tercermin dalam bahasa yang kita gunakan. Artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif.

Bahasa mengkomunikasikan tiga hal, yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap. Seperti yang dinyatakan Kneller (dalam Kemeny, 1990) bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbatas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Namun, dalam praktiknya hal ini sukar untuk dilaksanakan. Berbeda dengan informasi yang terdapat dalam buku pedoman telepon dari Telkom misalnya, informasi atau petunjuk nomor telepon yang ada di dalamnya mudah dicari.

Max Muller (dalam Sabarti, Maidar, dan Sakura, 1999) mengatakan bahwa tak ada bahasa tanpa nalar dan tak ada nalar tanpa bahasa. Yang jelas, sulit sekali memisahkan kegiatan penalaran dan bahasa sebagai sasarannya.

Huxley (dalam Suriasumantri, 1997) mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran pemakainya mempunyai kekuatan membentuk pikiran itu serta meyalurkan perasaan, mengerahkan kehendak dan perbuatan. Sampai tingkat tertentu, bahasa mengendalikan pemikiran. Pengaruh tersebut sangat kuat pada usia muda.

Secara umum Halliday (1978) mengemukakan sejumlah fungsi bahasa, di antaranya adalah sebagai sarana untuk menafsirkan pengalaman, untuk mengklasifikasikan fenomena yang tak terbatas jumlahnya. Baik di dalam maupun di sekitar manusia serta untuk menyatakan berbagai relasi khusus yang mendasar sifatnya.

Mengenai bahasa anak-anak, Halliday (1978) menunju tujuh fungsi awal yaitu fungsi-fungsi instrumental, regulatoris, interaksional, personal, penjelajahan, imajinatif, dan informatif. Fungsi-fungsi itu menunjukkan bahwa anak dapat menggunakan bahasa, baik sebagai sarana berpikir secara nalar maupun secara kreatif.

Fungsi-fungsi di atas mudah terpenuhi karena bahasa merupakan sistem simbol. Simbol-simbol yang pada dasarnya berupa bunyi bahasa itu teryata sangat praktis, dapat dikombinasikan menjadi “kata-kata baru”. Gabungan kata-kata menghasilkan frasa dan kalimat yang tak terbilang jumlahnya. Dengan satu kalimat, anak dapat menggambarkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang mungkin hanya dapat diandalkan. Anak bahkan dapat bermain dengan bunyi-bunyi dan kata-kata.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa materi bahasa dapat digunakan sebagai materi berpikir secara nalar maupun secara kreatif. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dapat dijadikan sarana pengembangan kemampuan bernalar dan secara kreatif. Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan sebuah gagasan kecil seperti yang diuraikan berikut ini.

D. Pengembangan Kegiatan Terpadu Melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Pengembangan kemampuan bernalar dan kreativitas dapat dilakukan melalui kegiatan terpadu antara “membaca - sambil berpikir – dan menulis”.

Kegiatan ini dilandasi dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Berpikir nalar bersifat konvergen, menuju kepada suatu kebenaran, bersifat biologis dan analitis, serta menggunakan pola berpikir deduktif dan induktif, sedangkan berpikir kreatif adalah berpikir secara bebas, divergen, lancar, rasional, terinci, dan sensitif.

2. Pengembangan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif di SD merupakan tahap awal, pengembangan yang memberikan kemampuan intelektual, sikap, serta nilai-nilai dasar yang diperlukan untuk pengembangan selanjutnya.

3. Semua pokok bahasan dalam pembelajaran bahasa dapat digunakan sebagai sarana pengembangan. Namun, yang paling potensial ialah pokok bahasan membaca dan menulis.

4. Kegiatan membaca sambil berpikir yang dipadukan dengan kegiatan menulis kreatif harus dapat mendorong tumbuhnya motivasi membaca, serta berkembangnya sikap dan nilai-nilai intelektual, sosiokultural, dan moral.

5. Kegiatan berpikir yang dilakukan sambil membaca mencakup kegiatan berpikir secara nalar dan kreatif.

6. Sikap dan nilai-nilai intelektual, sosiokultural, dan moral yang perlu dikembangkan di SD ialah sikap positif dalam berbahasa, jujur, ingin tahu, rendah hati, kritis, terbuka, luwes, cermat, serta kebiasaan menunda penghakiman.

7. Untuk mengetahui pencapaian membaca–sambil berpikir-dan menulis, perlu disusun alat evaluasi yang memenuhi persyaratan dan mudah digunakan.

Susunan kegiatan tidak mencerminkan urutan proses belajar-mengajar. Proses divergen dan konvergen terjadi terus-menerus selama kegiatan. Untuk melaksanakannya dapat digunakan berbagai teknik.

E. Strategi Pengembangan Kemampuan Bernalar

Pengembangan kemampuan bernalar lewat jalur pendidikan formal dapat dilakukan melalui berbagai mata pelajaran dan kegiatan belajar. Sabarti, Maidar, dan Sakura (1999) yang mengembangkan taksonomi pertanyaan berdasarkan atas taksonomi Bloom, menduga bahwa siswa dapat dilatih berpikir jika diberi “pertanyaan-pertanyaan”. Pertanyaan tersebut mencakup semua jenis tugas dan latihan intelektual seperti pemecahan masalah yang ditekankan pada penggunaan gagasan yang tidak berhenti pada taraf ingatan saja. Sesuai dengan taksonomi Bloom, kategori pertanyaan yang dikemukakan Sabarti meliputi pertanyaan ingatan, terjemahan interpretasi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kecuali pertanyaan ingatan, pertanyaan yang lain, jika disususn dengan cermat, dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Kategori tersebut dapat diterapkan pada semua tingkatan sekolah. Perbedaannya terletak pada kompleksitas permasalahan.

Pengembangan kemampuan bernalar secara ilmiah tidak hanya mengenai ranah kognitif saja, melainkan juga secara tak langsung mengenai ranah afektif. Melalui pembiasaan berpikir secara ilmiah diharapkan akan timbul sikap-sikap ilmiah, seperti selalu ingin tahu, rendah hati, objektif, tidak memihak, jujur, tekun, dan cermat.

Pada tahun 2003 dalam rangka penelitian untuk menyusun disertasi saya, saya mencoba mngembangkan model pengajaran untuk meningkatkan kemampuan bernalar secara ilmiah yang saya kaitkan dengan keterampilan menulis. Materi tersebut mencakup konsep-konsep dasar fakta dan bukan fakta, pembagian dan pengelompokan, kesimpulan umum, perbandingan, hubungan sebab akibat, deduksi, induksi, dan salah nalar (Slamet, 2004).

Melalui pembelajaran di sekolah, pengembangan kemampuan berpikir dapat dilakukan lewat program membaca. Stauffer dalam Sabarti, Maidar, dan Sakura (1999) menciptakan kegiatan “directed reading thinking activity” (DRTA) yang digunakan untuk kemampuan berpikir kritis. Program ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa anak-anak dapat:berpikir, bertindak dengan sadar, menyelidik, menggunakan pengalaman dan pengetahuannya, menilai fakta dan menarik menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta, dan menghakimi atau membuat keputusan. Selain itu mereka terlibat secara emosional, memiliki berbagai minat, mampu belajar, dapat membuat generalisasi, dan mampu memahami sesuatu.

Kegiatan DRTA menekankan kegiatan berpikir pada waktu membaca. Anak-anak dilatih memeriksa, membuat hipotesis, menemukan bukti, menunda penghakiman, dan mengambil keputusan berdasarkan atas pengalaman dan pengetahuannya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam pengajaran kelompok dan individual.

Kegiatan DRTA dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Bahan yang digunakan dapat berupa cerita fiktif atau tulisan nonfiktif.

Langkah-langkahnya mencakup:

(1) Pengembangan tujuan membaca. Tujuan membaca setiap individu dan kelompok ditentukan oleh pengalaman, kecerdasan, pengetahuan bahasa, minat serta kebutuhan siswa.

(2) Penyesuaian antara kecepatan membaca dengan tujuan yang ingin dicapai dengan taraf kesulitan bahan. Penyesuaian ini menghasilkan berbagai jenis membaca.

(3) Pengamatan bacaan. Pengamatan ini mencakup kegiatan memperhatikan kesanggupan untuk menyesuaikan kecepatan membaca dengan tujuan dan kesulitan bacaan, konsep, dan keperluan untuk membaca ulang.

(4) Pengembanagn pemahaman

(5) Kegiatan latihan keterampilan dasar yang mencakup diskusi, membaca lebih lanjut, dan menulis.

Strategi Pengembangan Kreativitas

Pengembangan berpikir kreatif harus dimulai sejak usia muda. Seperti telah dikemukakan, kreativitas secara potensial ada pada setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda. Namun, jika tidak dipupuk, potensi itu tidak berkembang.

Selama dekade terakhir ini di negara kita, perhatian terhadap kemampuan berpikir kreatif makin besar. Di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) misalnya pada tahun 1984 dibuka Pusat Pengembangan Kreativitas Anak, sebagai wadah untuk penyaluran serta peningkatan kreativitas. Akan tetapi perkembangan melalui jalur pendidikan formal belum menampakkan tanda-tanda yang menggembirakan. Dari pengamatan terhadap pelaksanaan pengajaran membaca di SD di wilayah eks-Karesidenan Surakarta dan sekitarnya belum digarap secara nyata (Slamet, 2006).

Sehubungan dengan upaya pengembangan kemampuan berpikir kreatif, Treffinger (1990) mengemukakan model pengembangan berpikir kreatif melalui proses belajar kreatif. Proses belajar ini memungkinkan anak-anak menjadi lebih efisien dalam menghadapi masalah-masalah mereka kelak, yaitu pada waktu orang tua dan guru tidak lagi berada di dekat mereka untuk memberikan pertolongan, dukungan, atau saran-saran. Melalui proses belajar kreatif, anak-anak mempelajari kemampuan-kemampuan dan nilai-nilai yang tetap berharga dan berguna. Dengan demikian, mereka memiliki kemungkinan untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul pada zamannya. Selain itu, proses berpikir kreatif memberikan kegembiraan dan kepuasan batin kepada anak-anak.

Beberapa hal yang penting di dalam proses belajar kreatif :

(1) Respons anak lebih penting daripada bahan atau kurikulum. Dalam hal ini, perlu diperhatikan frekuensi, intensitas, kompleksitas, dan keterarahan respons.

(2) Proses belajar kreatif menghendaki pemudahan penghakiman atau keputusan.

(3) Proses belajar kreatif menghendaki kesinambungan, sebab belajar kreatif bukanlah tinkah laku yang acak-acakan, tak bertujuan, ataupun tak terkendali.

(4) Proses belajar kreatif adalah proses belajar yang sistematis dan terencana.

(5) Proses belajar kreatif menghendaki peran serta sepenuhnya dari anak didik.

Piaget (1976) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan pada dasarnya ialah menghasilkan individu yang kreatif, serta mampu mencipta dan menemukan sesuatu yang baru. Berpikir kreatif merupakan kemampuan yang kerap kali dihubungkan dengan pemikir-pemikir seperti para ilmuwan dan seniman yang telah menciptakan karya besar serta menghasilkan temuan baru yang orisinil dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Sebenarnya, berpikir kreatif bukanlah milik orang-orang tertentu saja. Kemampuan itu ada pada setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda: ada yang kurang kreatif dan ada pula yang sangat kreatif.

Sebagai kemampuan, kreativitas mengandung segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berpikir kreatif adalah sejenis berpikir yang mencakup proses berpikir lancar, luwes, orisinil, terinci, dan sensitif. Ciri efektif muncul sebagai rasa ingin tahu, perasaan tertantang, keberanian mengambil risiko, dan sifat menghargai (Munandar, 1997). Senada dengan pendapat Munandar, Conny Semiawan (1986) memandangnya sebagai salah satu ranah kemampuan manusia yang bersinggungan dengan ketiga ranah lainnya. Dalam hal ini banyak orang yang menganggap kreativitas sebagai sarana kognitif.

Pada hakikatnya, kreativitas merupakan perwujudan kemampuan atau kegiatan berpikir kreatif. Vinacke memandang berpikir kreatif sebagai ciri suatu kepribadian sekaligus sebagai cara berpikir tertentu. Pemikiran kreatif terletak di antara pemikiran artistik dan realistik serta memiliki ciri-ciri pemecahan masalah maupun fantasi. Namun, penyelesaian masalah di sini tidak menuntut penyelesaian yang benar. Pemikiran ini bersifat divergen, lebih menekankan pada kualitas penyelesaian atau jawaban yang mungkin dipikirkan atau diandalkan. Karena itu, sering kita lihat dalam kegiatan berpikir kreatif, meskipun atas dasar data dan informasi yang ada seakan-akan “bermain-main” dengan berbagai gagasan yang timbul. Menurut pandangan tradisional, proses kreativitas mencakup beberapa fase. Wallace menyebutkan ada empat fase, yaitu fase persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi (Vinacke, 1974).

F. Tantangan dan Kendala

Untuk melakukan pembelajaran membaca – sambil berpikir- dan menulis terpadu diperlukan kondisi yang menunjang, di antaranya menyangkut:

(1) Guru SD yang mampu melaksanakan program yaitu yang memiliki kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif.

(2) Materi pembelajaran membaca dan menulis yang disusun secara terpadu yang juga betujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif.

(3) Jumlah siswa di dalam kelas yang memungkinkan guru melaksanakan kegiatan kelompok maupun individual.

(4) Kondisi sosiokultural sebagian besar anak Indonesia dewasa ini kurang mendorong tumbuhnya kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif. Sebagian besar orang tua tinggal di desa-desa dengan latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Kebiasaan membaca belum membudaya di kalangan mereka.

Hal-hal di atas merupakan tantangan bagi pengambil kebijaksanaan, para perencana, dan para pendidik di lapangan. Adalah sangat tepat tindakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan SD melalui Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Diharapkan melalui progam ini dapat dihasilkan guru-guru SD yang memiliki penguasaan kemampuan akademik dan keprofesionalan (Ditjen Dikti, 1996/1997a). Selanjutnya khusus mengenai pembelajaran bahasa Indonesia dinyatakan:

(1) Pembelajaran bahasa Indonesia di SD bertujuan untuk mengembangkan kemampuan (keterampilan) serta sikap berbahasa yang menyangkut fungsinya sebagai alat komunikasi dan penalaran.

(2) Pembelajaran bahasa Indonesia di SD tidak hanya sekadar memberikan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga harus dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa (Diten Dikti, 1996/1997b).

G. Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) sebagai langkah Awal

Seperti telah dikemuakan kondisi sosiokultural tumbuhnya kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif pada anak. Banyak orang tua yang terpaksa menghabiskan hari-harinya di luar rumah untuk mencari nafkah. Mereka tidak mempunyai waktu untuk membaca maupun memberikan pengalaman intelektual kepada anak-anaknya. Kondisi sosiokultural ini sulit diubah. Terobosan yang singkat ialah dengan menjadikan jenjang pendidikan dasar sebagai pusat kebudayaan generasi yang akan datang menjadi pelaksana pembangunan pada abad yang akan datang. Untuk itu diperlukan guru-guru yang berkualitas memadai yang tanggap akan perubahan-perubahan yang terjadi, serta mampu merespons perubahan-perubahan itu secara positif.

Mulai tahun akademik 1990/1991 yang lalu, pengadaan guru SD dilaksanakan melalui Program Diploma Dua (D2) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Mulai dari PGSD inilah upaya peningkatan kualitas lulusan sekolah dasar yang merupakan pengalaman pertama pendidikan dasar, dimulai. Ini berarti bahwa materi serta proses belajar-mengajar, khususnya dalam mata kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia di PGSD harus dapat membekali mahasiswa calon guru dengan kemampuan professional yang memadai, serta mendorong tumbuhnya sikap dan nilai-nilai intelektual dan moral.

H. Penutup

Dari uraian tentang pengembangan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif yang dipaparkan di atas, dapatlah ditarik simpulan sebagai berikut:

(1) Kemampuan bernalar dan kreativitas ada pada semua anak dengan kadar yang berbeda-beda. Kemampuan itu harus dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.

(2) Pengembangan kemampuan bernalar dan berpikir kreatif melalui sekolah dilakukan secara bertahap, terarah, dan terencana sesuai dengan perkembangan anak, tujuan, dan jenjang pendidikan.

(3) Pengembangan kemampuan bernalar dan berpikir kreatif dapat dilakukan melalui bahasa Indonesia. Pokok bahasan yang paling potensial sebagai sarana pengembangan kreativitas dan kemampuan bernalar ialah pokok bahasan membaca dan menulis yang dilaksanakan secara terpadu.

(4) Upaya pengembangan kemampuan bernalar dan berpikir kreatif di SD melalui pembelajaran bahasa Indonesia memerlukan tersedianya guru SD yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan tugas pengembangan itu.

(5) Salah satu alternatif kegiatan yang dapat digunakan sebagai sarana pengembangan kemampuan berpikir secara nalar dan kreatif ialah kegiatan membaca-sambil berpikir-dan menulis.

(6) PGSD merupakan wadah penyiapan tenaga guru SD yang professional melalui proses pembelajaran yang digunakan, mampu mengembangkan kreativitas, kemampuan bernalar, dan mendorong tumbuhnya sikap serta nilai-nilai intelektual, sosiokultural, dan moral pada anak didiknya.

Referensi

Black, Max. 1966. Critical Thinking. New York: LiHefield, Englewood Cliffs.

Cony Semiawan. 1996. Pengembangan Kurikulum Berdiferensiasi, Laporan Penataran Guru Anak Berbakat. Jakarta: Gramedia.

Copi, Irving M. 1978. Introduction to Logic. New York: Mcmillan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996/1997a. Kemampuan Akademik dan Keprofesionalan Guru. Jakarta: Ditjen Dikti JAB -1.

_________. 1996/1997b. Kurikulum Pendidikan Guru Sekolah Dasar Prajabatan: Bahasa Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti JAB-2.

Halliday, MAK. 1978. Language as Social Semiotic: A Social Interpretation of Language as Meaning. London: Edward Arnold.

Jujun Suriasumantri. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Pouler. Jakarta: Sinar Harapan.

Kemeny, John GA. 1990. A Philosopher Looks at Science. New York:Van Nostrand.

Laird, Charlton. 1989. The Miracle of Language. Greenwich: Fawcett.

Leonard, Henry S. 1997. Principles of Reasoning: n Introduction to Logic. Methodology and the Teory of Signs. New York: Dover Publication. Inc.

Piaget, J. 1976. Play, Dreams, and Imitation in Childhood. New York: Norton.

Sabarti Akhadiah, Maidar G. Arsjad, dan Sakura H. Ridwan. 1999. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

St.Y. Slamet. 2004. “Pengaruh Orientasi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran terhadap Keteramplan menulis Bahasa Indonesia”. Disertasi. Jakarta: PPs UNJ.

_________. 2006. “Studi Kemampuan Membaca Kritis dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Dasar”. Jurnal Widyaparwa. Nomor Balai Bahasa Yogyakarta.

Stubbs, Michael. 1993. Discourse Analysis, the Sosiolinguistics Analysis of Nutural Language. Axford: Basil Blackwell.

Treffinger, D.J. 1990. Encouraging Creative Learning for the Gifted and Talented. Vetura: California.

Undang-Undang. Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Utami Munandar, SC. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia.

Vinacke, W.Edgar. 1974. The Psychology of Thinking. New York: McGraw-Hall Book Company.

Wettgenstein, Ludwig. 1992. Tractatus Logoco-Philosophicus. New York: The Humanities Press.

Curriculum Vitae

St.Y.Slamet dilahirkan di Klaten, 08 Desember 1946. Ia merupakan anak kedua dari Wiryosumarto. Menamatkan Sekolah Rakyat Negeri Ngaran tahun 1959, SMP Kanisius Klaten (1963), SPG Negeri Surakarta (1967), PGSLP Negeri Surakarta Jurusan Bahasa Indonesia (1968), Sarjana Muda IKIP Negeri Surakarta Juruan Bahasa dan Sastra Indonesia (1974), Sarjana (S1) pada Jurusan yang sama di IKIP Veteran Sukoharjo (1986), Magister Pendidikan (S2) Jurusan Pendidikan Bahasa di IKIP Negeri Jakarta (1998), dan Doktor (S3) pada jurusan yang sama di Universitas Negeri Jakarta (2004). Pernah menjadi guru SD (1967-1979), guru Bahasa Indonesia SMP dan SMA (1975-1980), dan guru SPG (1980-1990). Menjadi dosen Universitas Sebelas Maret (Prodi PGSD) tahun 1980- sekarang. Sejak tahun 2005 membantu mengajar di Pascasarjana UNS pada Prodi PBI. Ia memperoleh kenaikan jabatan fungsional tertinggi sebagai Guru Besar tetap FKIP dalam Bidang Bahasa Indonesia sejak tanggal 01 Desember 2007. Pernah menjadi Sekretaris Prodi S3 Linguistik UNS (2006-2007) dan Sekretaris Prodi S3 PBI (2008-2012). Ia tercatat sebagai anggota HPBI cabang Surakarta (1991-sekarang) dan pengurus HPBI (2000- sekarang). Anggota Komisariat MLI Cabang UHS (1992-sekarang). Pengurus ISPI Cabang Surakarta (2006-sekarang). Ia juga banyak meneliti bidang bahasa, sastra, dan pengajarannya yang sebagian mendapatkan dukungan dana dari Proyek penelitian Direktorat Pembinaan Penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Dikti. Menulis artikel ilmiah di berbagai jurnal ilmiah, di antaranya Jurnal Paedagogia dan Dwijawacana (FKIP UNS), Jurnal Pendidikan (IKIP PGRI Madiun), Jurnal Widyaparwa (Balai Bahasa Yogyakarta), Jurnal Fenolingua (Unwidha Klaten), Jurnal Widyasari (UKSW Salatiga). Buku-buku yang pernah ditulis di antaranya: Dasar-dasar Keterampilan Berbahasa Indonesia (2006), Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar (2007), Metodologi Penelitian Kuantitatif (2007), Metodologi penelitian Kualitatif (2007), Penulisan Karya Ilmiah (2008), semuanya diterbitkan oleh UNS Press.



[1] ) Artikel Ilmiah dalam rangka Peringatan Ulang Tahun Ke-65 Prof. Dr. Herman J. Waluyo

[2] ) Guru Besar Tetap FKIP Universitas Sebelas Maret